Kamis, 27 Februari 2020

(Ngaji of the Day) Ini Alasan Ulama Hadits Lakukan Rihlah


Ini Alasan Ulama Hadits Lakukan Rihlah

Ajaran Nabi bisa sampai kepada kita melalui hadits yang diriwayatkan dan dicatat oleh ulama, baik dalam karya kitab mereka maupun dari majelis ke majelis. Hadits yang diriwayatkan lewat sanad itu, melalui proses verifikasi dan penelitian yang detail demi menguji kualitas hadits tersebut, sehingga dapat menjadi sumber hukum agama.

Sedemikian perhatiannya para ulama akan hadits, perjuangan mereka demi bidang ilmu ini tidak sekadar berguru dari ulama di daerah sekitar mereka saja. Kita kerap mendengar kisah ulama hadits rela berekspedisi menuju daerah yang jauh demi mempelajari dan meriwayatkan hadits.

Rihlah para ulama ini biasa diabadikan dalam kitab-kitab rijalul hadits atau biografi perawi hadits. Selain itu, salah satu karya yang secara khusus membahasa perjalanan para perawi hadits adalah Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits karya Imam Al Khatib Abu Bakar Al-Baghdadi.

Salah satu orang yang meneliti kitab tersebut adalah Nuruddin ‘Itr, pakar hadits dari Universitas Damaskus. Nuruddin ‘Itr, dalam pengantarnya sebagai muhaqqiq di Kitab Ar-Rihlah fi Thalabil Hadits terbitan Darul Kutub Al-Ilmiyah, memberikan catatan perihal mengapa hadits di masa lampau dicari dan dipelajari sampai ke negeri-negeri yang jauh. Mulai dari kalangan sahabat, tabi’in, sampai generasi setelahnya rela bertandang ke suatu negeri, demi mendapatkan–atau sekadar memantapkan–sedikit riwayat hadits.

Semangat ini, rupanya tidak semata karena motif ideologis. Hadits memang sumber hukum Islam yang utama setelah Al-Quran, dan keutamaan orang yang mempelajarinya banyak disebutkan dalam hadits. Namun, rupanya di balik kunjungan-kunjungan yang jauh itu, ada tujuan-tujuan yang diungkap oleh Nuruddin ‘Itr. Berikut di antaranya:

1. Mendapatkan Hadits (tahshilul hadits). 

Tujuan ini biasa menjadi motif utama, karena tidak semua hadits bisa didapatkan di satu daerah saja. Kondisi ini terutama saat kitab-kitab hadits belum banyak disusun, sehingga untuk mendapatkan dan mengumpulkan hadits mesti menempuh perjalanan jauh antarnegeri.

Pasca-Nabi wafat, Islam menyebar melalui sahabat Nabi yang diutus menjadi pejabat atau gubernur di luar daerah Madinah. Persebaran ini, membuat hadits yang tidak semua sahabat mendengarkannya dari Nabi, mesti dipastikan ke mereka yang telah berdiaspora itu. Persebaran ini diketahui melalui adanya sahabat yang bermukim di Kufah, Basrah, Mesir, dan beragam tempat lainnya, diikuti dengan hadits-hadits yang banyak diriwayatkan dari sana.

2. Memantapkan Hadits yang Dimiliki (tatsabbut minal hadits). 

Sahabat Abu Ayyub Al-Anshari disebutkan rela jauh-jauh dari Madinah menuju Mesir, untuk memastikan hadits yang konon hanya diriwayatkan sahabat Uqbah bin Amir yang kala itu menjadi pejabat di Mesir.

Begitu pula dilakukan Syu’bah bin Al-Hajjaj, guna memastikan suatu hadits tentang keutamaan wudhu. Sebelumnya, ia mendengar dari Abu Ishaq As-Sabi’i tentang hadits itu, namun hemat Syu’bah, ia merasa ada tadlis atau perawi yang disembunyikan dalam sanad. Setelah berguru ke berbagai negeri, ia mendapat simpulan bahwa dalam sanad hadits tersebut ada perawi yang kurang baik kualitasnya, namun disembunyikan dalam periwayatan.

Pemantapan hadits ini menjadi sarana para pelajar maupun ulama hadits untuk membandingkan riwayat hadits dari guru mereka, baik sanad maupun matan. Ragam riwayat tersebut, membuat mereka bisa menelaah kualitas hadits yang ada sebagaimana kisah Syu’bah bin Al-Hajjaj.

3. Mencari Tingkatan Sanad yang Lebih Tinggi.

Dalam hadits dikenal istilah sanad yang ‘ali dan nazil. Sanad ‘ali adalah sanad yang jumlah perawinya lebih sedikit agar sampai kepada Nabi. Siapa yang tahu ternyata seorang guru di suatu negeri, sanadnya lebih dekat kepada Nabi dibanding perawi di daerah lain. Imam Ahmad bin Hanbal, menyebutkan bahwa mencari sanad yang lebih dekat pada Nabi adalah hal mulia yang dilakukan generasi ulama terdahulu.

Mengapa mesti perlu sanad ‘ali? Dengan sanad ‘ali yang lebih dekat dengan Nabi, setiap perawi lebih mudah dicek syarat keshahihannya, dan memudahkan telaah hadits. Dengan memiliki hadits dengan sanad yang ‘ali, seorang pelajar hadits bisa dengan baik memastikan kualitas hadits yang dimilikinya. Selain itu, sanad yang lebih dekat pada Nabi dipandang lebih “mulia dan berkah”.

4. Mendapat Informasi tentang Kepribadian Perawi. 

Berpergian ke berbagai negeri demi belajar hadits membuat para pelajar maupun ulama bisa mengecek langsung kepribadian guru mereka yang menyampaikan hadits. Bahkan, beberapa ulama yang sudah pakar melakukan rihlah untuk “menguji” kemampuan para perawi yang ada dalam hadits mereka.

Yahya bin Ma’in contohnya, mendatangi seorang ulama bernama Abu Nuaim Al-Fadhl bin Dakkin, untuk menguji keilmuannya. Setelah bersua dengan Syekh Abu Nu’aim, Yahya bin Ma’in bersimpulan bahwa sosok yang ia hadapi itu memang mumpuni ilmunya.

5. Menjadi Sarana Ulama untuk Diskusi dan Menelaah Hadits-Hadits yang Sudah Dimiliki. 

Meskipun telah menjadi sosok yang mumpuni, tetap saja dalam persoalan hadits para ulama kerap memerlukan telaah lebih lanjut dan update seputar hadits, termasuk tentang ilmu ‘illat hadits. Konon ilmu ‘illat hadits ini, sebagaimana dijelaskan para ulama, adalah ilmu yang mensyaratkan penguasaan hadits dan ilmunya pada level tinggi.

Persoalan ‘illat menjadi wilayah diskusi para pakar hadits, yang sangat mungkin berjumpa dalam ekspedisi mereka mencari ilmu. Dikisahkan Sufyan bin Uyaynah yang sudah top sebagai ulama hadits di Makkah, bertandang ke Iraq untuk menjumpai pakar hadits Ali bin Al-Madini.

Begitu pula Imam At Tirmidzi, guna menelaah dan mendiskusikan hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari, perjalanan jauh ke Bukhara ditempuh dan menghasilkan Kitab Al-‘Ilalul Kabir, yang merupakan kritik hadits dalam sekian kitab yang disusun Imam Al-Bukhari. Bahkan, Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa Kitab Sunan At-Tirmidzi yang kita kenal sekarang ini, tidak lepas dari diskusinya dengan Imam Al-Bukhari.

Sekian tujuan di atas adalah motif keilmuan para pelajar ulama hadits terkait dengan keilmuan mereka. Tentu tidak terbatas itu saja. Beberapa tujuan di atas menegaskan bahwa mempelajari hadits memerlukan ketelitian dan semangat tersendiri khususnya pada masa itu. Jika mencari dan mencek hadits saja dibelani mengarungi negeri dan lautan, bagaimana semangat dan tujuan yang saat ini perlu kita miliki dalam belajar? Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar