Kamis, 20 Februari 2020

Helmy Faishal Zaini: Refleksi Harlah Ke-94: Meneguhkan Kemandirian NU


Refleksi Harlah Ke-94: Meneguhkan Kemandirian NU
Oleh A. Helmy Faishal Zaini

TAK dimungkiri, Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah organisasi sosial keagamaan yang memiliki peran strategis dalam kehidupan umat. NU didirikan paling tidak salah satunya, dalam hemat saya, bertujuan untuk kemaslahatan umat. Kemaslahatan yang dimaksud bukan sekadar kemaslahatan akidah umat, tetapi lebih dalam dari itu, menyangkut aspek-aspek kesejahteraan hidup (mashlahah ammah).

Lintasan sejarah membuktikan bahwa NU memiliki komitmen yang kuat untuk memandirikan sekaligus menyejahterakan kehidupan umat. Pelbagai gerakan sebagai upaya memandirikan ekonomi umat silih berganti dicoba.

Jika kita simak sejarah dengan saksama, kita akan menemukan istilah ecenomiche mobilisatie. Istilah itu sesungguhnya adalah istilah yang hendak ingin menggambarkan bahwa NU adalah organisasi yang tidak hanya mengarahkan umatnya untuk meraih kebahagiaan di akhirat kelak dan mengesampingkan kesejahteraan di dunia. Namun, NU selalu berusaha menyeimbangkan proporsi keduanya. Persis sebagaimana yang ada dalam doa sapu jagat yang sangat familier di kalangan warga NU: rabbana atiina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah.

Pada 1938, NU mendirikan apa yang ketika itu disebut importhandel dan exporthandel yang keduanya diperuntukkan mengurusi kegiatan ekspor impor atau perdagangan luar negeri. Hal itu diputuskan secara resmi di muktamar Menes, Banten.

Setahun pasca keputusan tersebut, yakni pada 1939, dalam forum muktamar yang digelar di Magelang, sebagai sebuah upaya untuk memberikan landasan dalam menjalankan ekonomi dan bisnis, NU merumuskan konsep mabadi khoiru ummah yang berisi tiga poin utama. Yakni, as-shidqu (kejujuran), al-wafa bil ahdi (menepati janji), dan at-ta’awun (saling tolong-menolong). Tiga prinsip tersebut menjadi landasan yang harus dipegang warga NU dalam segala hal, terutama menyangkut kegiatan ekonomi dan bisnis.

Dengan tiga prinsip tersebut, turbulensi dan mekanisme berbisnis warga NU diharapkan bisa berjalan lancar, stabil, dan yang paling utama adalah berkah. Apa yang disebut tekahir, yakni keberkahan, adalah tujuan paling paripurna yang dicita-citakan konseptor mabadi khoiru ummah di atas.

Lebih dari sekadar itu, sebagai bagian dari upaya mengembangkan dan menyempurnakan tiga pilar tersebut, pada 1940 KH Mahfud Shiddiq yang kala itu bertindak sebagai ketua HB NU (istilah sekarang ketua umum PB NU) menambahkan dua prinsip penyempurna yang terdiri atas: al-adalah (keadilan) dan istiqomah (konsistensi).

Maka jelas, pada 1940 mabadi khoiro ummah yang berisi lima prinsip kemandirian ekonomi yang harus diimplementasikan saat berbisnis diharapkan bisa menjadi alas pijak bagi kemandirian ekonomi umat.

Lepas dari itu semua, tantangan hari ini adalah fakta berbicara soal masih sangat banyaknya jumlah warga miskin di Indonesia. Jika kita menggunakan metode random sampling atau katakanlah survei dengan responden acak, mayoritas warga yang tidak berdaya secara ekonomi –untuk mengganti dan menghindari kata miskin– adalah warga NU. Ini adalah tantangan besar yang harus kita jawab bersama. Terlebih, masalah ekonomi merupakan salah satu bidang penting yang diamanatkan Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 2015.

Kondisi yang demikian memaksa kita untuk terus berbenah dan mencari solusi terbaik guna mengangkat kemandirian ekonomi umat. Dalam hemat saya, pada tataran paling elementer, warga NU harus memiliki dua kecerdasan utama. Pertama, kecerdasan spiritual. Kedua, kecerdasan ekonomi.

Dua kecerdasan tersebut penting diungkap mengingat masih banyaknya kalangan yang selalu menjadikan dua kecerdasan itu sebagai seolah-olah dua entitas yang saling berlawanan, berseberangan, atau bahkan bermusuhan satu sama lain sehingga tidak mungkin untuk dipadupadankan atau dikawinkan. Hal tersebut, menurut hemat saya, tidak sepenuhnya benar. Pandangan seperti itu bisa dikatakan tidak saja keliru, tetapi juga salah.

Pada praktiknya memang benar, ekonomi kapitalisme yang ada hari ini cenderung memisahkan aspek ekonomi dengan spiritualitas. Namun, sejatinya hal itu di kalangan warga NU bisa ditepis dengan argumen mabadi khoiro ummah di atas. Lima prinsip yang tertuang dalam mabadi khoiro ummah merupakan aspek spiritualitas yang bisa kita balurkan dalam setiap praktik berbisnis dan menjalankan roda ekonomi sehari-hari.

Apalagi jika kita cek literatur, termasuk salah satunya hadis asyaddunnas adzaban yaumal qiyamati almakhfil albathil yang memiliki arti: sisksaan paling berat pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan hidup menganggur. Ini fakta bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri sangat tidak menyukai orang yang cenderung tidak mandiri dan berpangku tangan dalam menjalani hidup sehari-hari.

Atas alasan mendasar itulah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) berkonsentrasi untuk menekankan spirit kemandirian. Kemandirian di lintas sektor, lintas lini, dan lintas lapisan. Upaya ini merupakan bagian dari menjalankan amanat keagamaan dan amanat kebangsaan yang diemban NU. Salah satu upaya dalam memandirikan ekonomi umat dewasa ini adalah membuka akses seluas-luasnya bagi umat untuk berbisnis dengan tanpa mengesampingkan prinsip dasar berbisnis yang tertuang dalam mabadi khoiro ummah.

Semua bisnis hari ini sesungguhnya trennya adalah bisnis komunitas. Ekonomi digital menjadi kata kunci yang paling menarik untuk diperbincangkan. NU dengan pelbagai programnya juga tidak ketinggalan mencoba melakukan upaya-upaya digitalisasi ekonomi melalui sejumlah gerakan, termasuk digitalisasi program Koin Muktamar.

Banyak kalangan yang menciptakan komunitas baru dalam rangka membuka sindikasi jaringan berbisnis. Sebut saja menjamurnya bisnis online seperti ojek online atau antar jemput online. Semua, dalam bahasa saya, sesungguhnya sedang menciptakan komunitas. Dari komunitas itu, pelan-pelan dibangun trust (kepercayaan/as-shidqu). Dan dari trust (kepercayaan/as-shidqu) itulah bisnis dan roda perekonomian dijalankan.

Di NU, kita sesungguhnya sudah memiliki basis komunitas tanpa perlu membangun dan menciptakan sebagaimana yang dilakukan aneka bisnis berbasis online lainnya. Modal besar berupa sudah tersedianya komunitas tersebut harus dimanfaatkan untuk bisnis komunitas. Inilah yang disebut amal usaha dan usaha amal.

Maka, Harlah Ke-94 NU tahun ini yang mengangkat tema ’’Meneguhkan Kemandirian NU untuk Perdamaian Dunia’’ menemukan titik relevansinya di tengah situasi global yang kian tidak menentu, NU harus mandiri. Selamat Harlah Nahdlatul Ulama. []

JAWA POS, 31 Januari 2020
Helmy Faishal Zaini | Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar