Refleksi
Harlah Ke-94: Meneguhkan Kemandirian NU
Oleh A.
Helmy Faishal Zaini
TAK dimungkiri,
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan sebuah organisasi sosial keagamaan yang memiliki
peran strategis dalam kehidupan umat. NU didirikan paling tidak salah satunya,
dalam hemat saya, bertujuan untuk kemaslahatan umat. Kemaslahatan yang dimaksud
bukan sekadar kemaslahatan akidah umat, tetapi lebih dalam dari itu, menyangkut
aspek-aspek kesejahteraan hidup (mashlahah ammah).
Lintasan
sejarah membuktikan bahwa NU memiliki komitmen yang kuat untuk memandirikan
sekaligus menyejahterakan kehidupan umat. Pelbagai gerakan sebagai upaya
memandirikan ekonomi umat silih berganti dicoba.
Jika kita
simak sejarah dengan saksama, kita akan menemukan istilah ecenomiche mobilisatie.
Istilah itu sesungguhnya adalah istilah yang hendak ingin menggambarkan bahwa
NU adalah organisasi yang tidak hanya mengarahkan umatnya untuk meraih
kebahagiaan di akhirat kelak dan mengesampingkan kesejahteraan di dunia. Namun,
NU selalu berusaha menyeimbangkan proporsi keduanya. Persis sebagaimana yang
ada dalam doa sapu jagat yang sangat familier di kalangan warga NU: rabbana
atiina fid dunya hasanah wa fil akhirati hasanah.
Pada
1938, NU mendirikan apa yang ketika itu disebut importhandel dan exporthandel
yang keduanya diperuntukkan mengurusi kegiatan ekspor impor atau perdagangan
luar negeri. Hal itu diputuskan secara resmi di muktamar Menes, Banten.
Setahun
pasca keputusan tersebut, yakni pada 1939, dalam forum muktamar yang digelar di
Magelang, sebagai sebuah upaya untuk memberikan landasan dalam menjalankan
ekonomi dan bisnis, NU merumuskan konsep mabadi khoiru ummah yang berisi tiga
poin utama. Yakni, as-shidqu (kejujuran), al-wafa bil ahdi (menepati janji),
dan at-ta’awun (saling tolong-menolong). Tiga prinsip tersebut menjadi landasan
yang harus dipegang warga NU dalam segala hal, terutama menyangkut kegiatan
ekonomi dan bisnis.
Dengan
tiga prinsip tersebut, turbulensi dan mekanisme berbisnis warga NU diharapkan
bisa berjalan lancar, stabil, dan yang paling utama adalah berkah. Apa yang
disebut tekahir, yakni keberkahan, adalah tujuan paling paripurna yang
dicita-citakan konseptor mabadi khoiru ummah di atas.
Lebih
dari sekadar itu, sebagai bagian dari upaya mengembangkan dan menyempurnakan
tiga pilar tersebut, pada 1940 KH Mahfud Shiddiq yang kala itu bertindak
sebagai ketua HB NU (istilah sekarang ketua umum PB NU) menambahkan dua prinsip
penyempurna yang terdiri atas: al-adalah (keadilan) dan istiqomah
(konsistensi).
Maka
jelas, pada 1940 mabadi khoiro ummah yang berisi lima prinsip kemandirian
ekonomi yang harus diimplementasikan saat berbisnis diharapkan bisa menjadi
alas pijak bagi kemandirian ekonomi umat.
Lepas
dari itu semua, tantangan hari ini adalah fakta berbicara soal masih sangat
banyaknya jumlah warga miskin di Indonesia. Jika kita menggunakan metode random
sampling atau katakanlah survei dengan responden acak, mayoritas warga yang
tidak berdaya secara ekonomi –untuk mengganti dan menghindari kata miskin–
adalah warga NU. Ini adalah tantangan besar yang harus kita jawab bersama.
Terlebih, masalah ekonomi merupakan salah satu bidang penting yang diamanatkan
Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 2015.
Kondisi
yang demikian memaksa kita untuk terus berbenah dan mencari solusi terbaik guna
mengangkat kemandirian ekonomi umat. Dalam hemat saya, pada tataran paling
elementer, warga NU harus memiliki dua kecerdasan utama. Pertama, kecerdasan
spiritual. Kedua, kecerdasan ekonomi.
Dua
kecerdasan tersebut penting diungkap mengingat masih banyaknya kalangan yang
selalu menjadikan dua kecerdasan itu sebagai seolah-olah dua entitas yang
saling berlawanan, berseberangan, atau bahkan bermusuhan satu sama lain
sehingga tidak mungkin untuk dipadupadankan atau dikawinkan. Hal tersebut,
menurut hemat saya, tidak sepenuhnya benar. Pandangan seperti itu bisa
dikatakan tidak saja keliru, tetapi juga salah.
Pada
praktiknya memang benar, ekonomi kapitalisme yang ada hari ini cenderung
memisahkan aspek ekonomi dengan spiritualitas. Namun, sejatinya hal itu di
kalangan warga NU bisa ditepis dengan argumen mabadi khoiro ummah di atas. Lima
prinsip yang tertuang dalam mabadi khoiro ummah merupakan aspek spiritualitas
yang bisa kita balurkan dalam setiap praktik berbisnis dan menjalankan roda
ekonomi sehari-hari.
Apalagi
jika kita cek literatur, termasuk salah satunya hadis asyaddunnas adzaban
yaumal qiyamati almakhfil albathil yang memiliki arti: sisksaan paling berat
pada hari kiamat, adalah bagi orang yang hanya mau dicukupi orang lain dan
hidup menganggur. Ini fakta bahwa Nabi Muhammad SAW sendiri sangat tidak
menyukai orang yang cenderung tidak mandiri dan berpangku tangan dalam
menjalani hidup sehari-hari.
Atas
alasan mendasar itulah, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) berkonsentrasi
untuk menekankan spirit kemandirian. Kemandirian di lintas sektor, lintas lini,
dan lintas lapisan. Upaya ini merupakan bagian dari menjalankan amanat
keagamaan dan amanat kebangsaan yang diemban NU. Salah satu upaya dalam
memandirikan ekonomi umat dewasa ini adalah membuka akses seluas-luasnya bagi
umat untuk berbisnis dengan tanpa mengesampingkan prinsip dasar berbisnis yang
tertuang dalam mabadi khoiro ummah.
Semua
bisnis hari ini sesungguhnya trennya adalah bisnis komunitas. Ekonomi digital
menjadi kata kunci yang paling menarik untuk diperbincangkan. NU dengan
pelbagai programnya juga tidak ketinggalan mencoba melakukan upaya-upaya
digitalisasi ekonomi melalui sejumlah gerakan, termasuk digitalisasi program
Koin Muktamar.
Banyak
kalangan yang menciptakan komunitas baru dalam rangka membuka sindikasi
jaringan berbisnis. Sebut saja menjamurnya bisnis online seperti ojek online
atau antar jemput online. Semua, dalam bahasa saya, sesungguhnya sedang
menciptakan komunitas. Dari komunitas itu, pelan-pelan dibangun trust
(kepercayaan/as-shidqu). Dan dari trust (kepercayaan/as-shidqu) itulah bisnis
dan roda perekonomian dijalankan.
Di NU,
kita sesungguhnya sudah memiliki basis komunitas tanpa perlu membangun dan
menciptakan sebagaimana yang dilakukan aneka bisnis berbasis online lainnya.
Modal besar berupa sudah tersedianya komunitas tersebut harus dimanfaatkan
untuk bisnis komunitas. Inilah yang disebut amal usaha dan usaha amal.
Maka,
Harlah Ke-94 NU tahun ini yang mengangkat tema ’’Meneguhkan Kemandirian NU
untuk Perdamaian Dunia’’ menemukan titik relevansinya di tengah situasi global
yang kian tidak menentu, NU harus mandiri. Selamat Harlah Nahdlatul Ulama. []
JAWA POS,
31 Januari 2020
Helmy
Faishal Zaini | Sekjen Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar