KH Wahab Chasbullah
soal Perumpaan Kehidupan Ikan di Laut
Ijtihad keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan senantiasa diperlihatkan Nahdlatul Ulama secara bijak dan lapang dada. Bukan bermaksud mengekor pada sistem yang diterapkan oleh pemerintah, tetapi untuk kepentingan yang lebih luas. Karena dengan masuk sistem, justru kesempatan memperbaiki akan lebih mudah dan diterima ketimbang teriak-teriak di luar sistem dan dianggap memberontak.
Sejumlah pro dan
kontra menyelimuti tubuh kiai dan pengurus NU ketika dihadapkan pada kebijakan
pemerintah seperti ajakan Muhammad Hatta kepada NU untuk mengisi kabinet.
Sedangkan para kiai tidak mau karena Kabinet Hatta mendukung Persetujuan
Renville sedangkan para kiai tidak. Begitu juga ketika Soekarno menggagas
Nasakom. NU juga ikut di dalamnya.
Ketidaksetujuan terhadap
Perjanjian Renville tidak akan bisa disalurkan tanpa NU menerima pinangan Bung
Hatta. Begitu juga jika NU menolak sistem Nasakom, maka keputusan Soekarno
hanya akan didominasi para nasionalis dan komunis. NU masuk sistem agar setiap
kebijakan Bung Karno tidak terpengaruh orang-orang PKI.
Politik jalan tengah
tersebut digelorakan oleh KH Wahab Chasbullah. Dengan alasan strategis, apapun
yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno sebisa mungkin diterima dengan tangan
terbuka. Keterbukaan politik bagi NU memang sangat dijunjung tinggi. Hal ini
untuk menghalau pergerakan politik PKI yang kala itu menjadi bagian dari
sistem. Keterbukaan tersebut bukan berarti hanyut dalam kegelapan dan
mengorbankan prinsip. Sikap demikian ditegaskan oleh Kiai Wahab Chasbullah:
“Jadilah seperti ikan
yang hidup. Ikut itu selagi dia masih hidup, masih mempunyai ruh atau nyawa.
Biar dua ratus tahun hidup di laut yang mengandung garam, dia tetap saja tawar
dagingnya, tidak menjadi asin. Sebabnya karena dia mempunyai ruh, karena dia hidup
dengan seluruh jiwa. Sebaliknya, kalau ikan itu sudah mati, tidak mempunyai
nyawa, tiga menit saja taruh dia di kuali yang bergaram, maka dia akan menjadi
asin rasanya.” (Chiroul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 301)
Fatwa Kiai Wahab yang
kala itu menjabat Rais ‘Aam PBNU itu dikemukakan berkali-kali saat NU
menghadapi konstelasi politik yang tidak menentu. Hal itu menujukkan bahwa NU
berupaya mempunyai sikap akomodatif, menampung dan menghadapi segala persoalan
politik yang berkembang ketika itu, dengan penuh lapang dada.
Sikap seperti ini
memang tidak mudah jika tidak mempunyai ilmu, kepiawaian, dan kekuatan. Kiai
Wahab memberikan pelajaran bagi Nahdliyin bahwa NU mempunyai kekuatan kokoh,
baik ilmu maupun karakter sejak dahulu. Persisnya saat santri dan kiai mampu
menghalau para penjajah, baik Belanda, Jepang maupun tentara Sekutu.
Karena itu, mudah
dipahami jika NU juga menunjukkan sikap lunak ketika menghadapi pembentukan
DPR-GR, DPAS, dan DEPERNAS. Meski pada awalnya di tubuh NU sendiri terjadi pro
dan kontra dalam menghadapi persoalan tersebut, sikap dan perilaku politik
tetapi berupaya fleksibel. Sikap semacam NU ditempuh NU antara lain agar lebih
mudah mendapatkan kesempatan dan memanfaatkannya secara efektif, setidaknya
untuk mengimbangi politik PKI.
Hal ini dikemukakan
KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) tentang Sosialisme
Indonesia, Landreform, dan Pancasila. Tokoh-tokoh PKI di Dewan Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS) menghendaki sosialisme Indonesia sebagai sosialisme
komunis ala Moskow dan Peking (Beijing). Begitu pula Landreform, PKI
menghendaki pembagian tanah sama rata, sama rasa, dan meniadakan hak milik.
Sejarah membuktikan,
politik jalan tengah NU memberikan dampak positif bagi keberlangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara, baik pada masa pra-kemerdekaan maupun
pasca-kemerdekaan Indonesia. Politik dijalankan oleh NU tidak semata-mata untuk
kepentingan kekuasaan belaka, namun perhatian NU secara luas untuk kepentingan
rakyat, bangsa dan negara. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar