Jumat, 21 Februari 2020

KH Wahab Chasbullah soal Perumpaan Kehidupan Ikan di Laut


KH Wahab Chasbullah soal Perumpaan Kehidupan Ikan di Laut

Ijtihad keagamaan, kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan senantiasa diperlihatkan Nahdlatul Ulama secara bijak dan lapang dada. Bukan bermaksud mengekor pada sistem yang diterapkan oleh pemerintah, tetapi untuk kepentingan yang lebih luas. Karena dengan masuk sistem, justru kesempatan memperbaiki akan lebih mudah dan diterima ketimbang teriak-teriak di luar sistem dan dianggap memberontak.

Sejumlah pro dan kontra menyelimuti tubuh kiai dan pengurus NU ketika dihadapkan pada kebijakan pemerintah seperti ajakan Muhammad Hatta kepada NU untuk mengisi kabinet. Sedangkan para kiai tidak mau karena Kabinet Hatta mendukung Persetujuan Renville sedangkan para kiai tidak. Begitu juga ketika Soekarno menggagas Nasakom. NU juga ikut di dalamnya.

Ketidaksetujuan terhadap Perjanjian Renville tidak akan bisa disalurkan tanpa NU menerima pinangan Bung Hatta. Begitu juga jika NU menolak sistem Nasakom, maka keputusan Soekarno hanya akan didominasi para nasionalis dan komunis. NU masuk sistem agar setiap kebijakan Bung Karno tidak terpengaruh orang-orang PKI.

Politik jalan tengah tersebut digelorakan oleh KH Wahab Chasbullah. Dengan alasan strategis, apapun yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno sebisa mungkin diterima dengan tangan terbuka. Keterbukaan politik bagi NU memang sangat dijunjung tinggi. Hal ini untuk menghalau pergerakan politik PKI yang kala itu menjadi bagian dari sistem. Keterbukaan tersebut bukan berarti hanyut dalam kegelapan dan mengorbankan prinsip. Sikap demikian ditegaskan oleh Kiai Wahab Chasbullah:

“Jadilah seperti ikan yang hidup. Ikut itu selagi dia masih hidup, masih mempunyai ruh atau nyawa. Biar dua ratus tahun hidup di laut yang mengandung garam, dia tetap saja tawar dagingnya, tidak menjadi asin. Sebabnya karena dia mempunyai ruh, karena dia hidup dengan seluruh jiwa. Sebaliknya, kalau ikan itu sudah mati, tidak mempunyai nyawa, tiga menit saja taruh dia di kuali yang bergaram, maka dia akan menjadi asin rasanya.” (Chiroul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 301)

Fatwa Kiai Wahab yang kala itu menjabat Rais ‘Aam PBNU itu dikemukakan berkali-kali saat NU menghadapi konstelasi politik yang tidak menentu. Hal itu menujukkan bahwa NU berupaya mempunyai sikap akomodatif, menampung dan menghadapi segala persoalan politik yang berkembang ketika itu, dengan penuh lapang dada.

Sikap seperti ini memang tidak mudah jika tidak mempunyai ilmu, kepiawaian, dan kekuatan. Kiai Wahab memberikan pelajaran bagi Nahdliyin bahwa NU mempunyai kekuatan kokoh, baik ilmu maupun karakter sejak dahulu. Persisnya saat santri dan kiai mampu menghalau para penjajah, baik Belanda, Jepang maupun tentara Sekutu.

Karena itu, mudah dipahami jika NU juga menunjukkan sikap lunak ketika menghadapi pembentukan DPR-GR, DPAS, dan DEPERNAS. Meski pada awalnya di tubuh NU sendiri terjadi pro dan kontra dalam menghadapi persoalan tersebut, sikap dan perilaku politik tetapi berupaya fleksibel. Sikap semacam NU ditempuh NU antara lain agar lebih mudah mendapatkan kesempatan dan memanfaatkannya secara efektif, setidaknya untuk mengimbangi politik PKI.

Hal ini dikemukakan KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (2013) tentang Sosialisme Indonesia, Landreform, dan Pancasila. Tokoh-tokoh PKI di Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) menghendaki sosialisme Indonesia sebagai sosialisme komunis ala Moskow dan Peking (Beijing). Begitu pula Landreform, PKI menghendaki pembagian tanah sama rata, sama rasa, dan meniadakan hak milik.

Sejarah membuktikan, politik jalan tengah NU memberikan dampak positif bagi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara, baik pada masa pra-kemerdekaan maupun pasca-kemerdekaan Indonesia. Politik dijalankan oleh NU tidak semata-mata untuk kepentingan kekuasaan belaka, namun perhatian NU secara luas untuk kepentingan rakyat, bangsa dan negara. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar