Selasa, 18 Februari 2020

Cak Imin: Pilkada dan Upaya Menjaga Khitah Demokrasi


Pilkada dan Upaya Menjaga Khitah Demokrasi
Oleh: A Muhaimin Iskandar

Pada 2020 ini akan dilaksanakan sebuah praktik demokrasi lokal dalam wujud pemilihan kepala daerah langsung serentak di 270 daerah di Indonesia. Di mana makna strategisnya?

Saya melihat narasi besar yang ingin kita bangun sebagai sebuah bangsa dengan pilkada serentak ini ialah bahwa peristiwa ini tak hanya soal efisiensi, akuntabilitas, atau pemaksimalan fungsi partai politik dalam konteks perpolitikan. Lebih dari itu semua, pilkada serentak harus menjadi tonggak bagi tegaknya portofolio desentralisasi secara benar di Indonesia.

Portofolio tersebut ialah bahwa pilkada harus mampu menghadirkan lebih lekas dan dekat kedalaman makna demokrasi dan menjadikannya sebagai instrumen penting menggerakkan akselerasi pembangunan di tingkat lokal. Sederhananya, pilkada sebagai sebuah instrumen politik harus paralel dan berkorelasi positif dengan kemakmuran masyarakat.

Esensi itu saya lihat sebagai khitah demokrasi yang harus terus dijaga. Artinya, sebagai sebuah perhelatan politik, muara yang hendak dihasilkan dengan pilkada serentak ini adalah terciptanya sebuah sistem demokrasi yang mampu menghasilkan kepala daerah yang visioner, transformatif, dan mampu menciptakan pemerataan ekonomi bagi masyarakatnya.

Abdurrahman Wahid pernah mengatakan tentang pentingnya mengakhiri keadaan yang ”asal-asalan” (meminjam bahasa Gus Dur) dengan cara memilih pemimpin eksekutif yang bisa mendorong terciptanya makna demokrasi yang sebenarnya.

Menurut Gus Dur, langkah itu harus diambil untuk mengimbangi ”demokrasi prosedural” yang sudah dikritik banyak kalangan karena tak mampu membangun pelembagaan demokrasi dan tradisi demokrasi secara benar.

Jika dimaknai dalam konteks pilkada serentak, seruan Gus Dur tersebut tampak ingin menunjukkan bahwa rancang bangun yang harus dimunculkan dalam pilkada sebagai praktik demokrasi lokal adalah menjadikan kemakmuran sosial sebagai pengalaman konkret publik dan tujuan utama yang hendak dicapai.

Poin ini penting digarisbawahi karena bagaimanapun desentralisasi merupakan ruang berpartisipasi dan bernegosiasi dari semua aktor demokrasi di level lokal.

Tiga argumen

Menilik perjalanan panjang kita sebagai bangsa dengan berbagai pengalaman empiris di lapangan, saya melihat setidaknya ada tiga argumentasi kuat mengapa pilkada harus dijadikan sebagai basis politik kesejahteraan.

Hal ini bukan semata soal kompetisi politik lokal. Lebih dari itu, pilkada harus dijadikan pencapaian konstruktif dalam menerjemahkan nilai-nilai demokrasi dalam pilihan kebijakan politik di daerah. Inilah sesungguhnya makna khitah demokrasi dalam pilkada.

Argumentasi pertama dari sisi strategi perencanaan pembangunan. Pilkada dalam konteks kebijakan desentralisasi diharapkan mampu melahirkan pemimpin daerah yang bisa membawa kebijakan pembangunan lebih dekat dengan masyarakat, mendorong pembangunan ekonomi, serta melahirkan dan menyediakan kebijakan dan layanan publik.

Kedua, pelaksanaan pilkada saya kira punya sumbangsih besar dalam memantapkan legitimasi pemerintah daerah. Dengan legitimasi itulah diharapkan kepala daerah hasil pilkada punya kesempatan melakukan berbagai inovasi kebijakan serta menjalankan pembangunan daerah yang prioritasnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

Ketiga, dan ini yang saya kira penting, pilkada dengan seluruh instrumen yang dihasilkan akan mampu mendorong terwujudnya akuntabilitas dan responsibilitas pemimpin daerah.

Pilkada langsung yang dikombinasikan dengan kebijakan otonomi akan melahirkan pemerintahan yang lebih bertanggung jawab dan responsif atas pelbagai persoalan daerah. Muaranya, akan terjadi pemerataan sosioekonomi dan politik di tingkat lokal.

Dari ketiga hal di atas, saya ingin mengingatkan bahwa pilkada serentak sebagai salah satu pencapaian konstruktif dalam bingkai kebijakan desentralisasi tak boleh terjebak pada logika bahwa ia semata-mata hanya mekanisme yang dijalankan untuk menciptakan distribusi kekuasaan birokratis dan kekuatan politik dari pusat ke tingkat lokal.

Satu tahapan di atasnya yang justru lebih penting adalah bahwa pelaksanaan pilkada beserta seluruh hasilnya harus berkaitan dengan alokasi dan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil. Ia harus berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan.

Kompetisi dalam demokrasi bukan sekadar pemberian kesempatan yang sama. Melangkah lebih maju, hasil pilkada harus melahirkan daerah dengan perencanaan pembangunan yang matang.

Meski demikian, tak bisa dinafikan juga terdapat banyak kompleksitas yang menyertai pelaksanaan pilkada yang harus terus diperbaiki, bukan hanya prosedur, tetapi lebih pada soal substansi. Perjumpaan penulis dengan banyak calon eksekutif ataupun legislatif dalam konteks pilkada tampak sekali kecemasan yang mereka hadapi dalam setiap kontestasi.

Mulai soal biaya, ketidakpastian, moralitas, aturan main, hingga soal efek politik uang yang merusak. Kondisi semacam itu tampaknya yang menyebabkan politisi merasa ”terjebak” dalam apa yang disebut dengan pertukaran klientelistis (Aspinall dan Berenschot, 2019).

Klientelisme politik adalah sebuah kondisi ketika para pemilih, pegiat kampanye, atau aktor lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan uang atau material lainya. Para kontestan takut jika mereka mengabaikan permintaan itu, mereka akan kalah dari pesaingnya.

Konteks inilah yang akhirnya melahirkan fenomena ”demokrasi jual beli”. Sebuah situasi yang sulit, tapi tetap harus dicari format dan jalan keluar terbaiknya agar perpolitikan bangsa ini tak terjerumus pada demokrasi pasar bebas dalam pengertian yang negatif.

Pemerintah, DPR, dan kalangan masyarakat madani saya kira harus duduk bersama mencari rumus terbaik keluar dari situasi yang penuh jebakan dan paradoks ini.

Bukan faktor utama

Ada hal menarik. Teori demokrasi normatif selalu menyatakan bahwa transaksi keuangan bukanlah faktor utama yang mengatur aspek politik di Indonesia. Namun, pengamatan di hampir seluruh kontestasi pilkada menunjukkan bahwa pertukaran materi ditemukan hampir di setiap siklus pemilihan.
Di sisi lain, perilaku para partisipan secara tak langsung ingin mengatakan bahwa uang sangat diperhitungkan. Inilah situasi paradoks yang jamak ditemui dalam perhelatan pemilihan anggota badan legislatif maupun pilkada.

Atas dasar itulah kemudian muncul gagasan dari sebagian kalangan kecil mengembalikan sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung (dipilih DPRD). Tentu ini bukan jalan keluar terbaik, setidaknya sampai saat ini.

Penulis masih meyakini bahwa dalam sistem demokrasi, pilkada langsung akan bisa menjadi jalan terang bagi tersambungkannya korelasi positif antara demokrasi dan kesejahteraan.

Seluruh narasi dan argumentasi di atas ingin menunjukkan bahwa yang diperlukan dalam menyongsong pilkada serentak adalah mengawal perwujudan demokrasi lokal tersebut.

Langkahnya, memastikan bahwa hasil pilkada serentak harus mampu menghasilkan mekanisme pengelolaan kekuasaan di level lokal serta menyusun variabel pencapaian pembangunan yang berbasis kesejahteraan sosial dan kemakmuran publik.

Sebagai salah satu instrumen demokrasi, pilkada harus mampu memberi garansi, setidaknya memberi harapan baru bagi masyarakat, bahwa pemimpin yang dihasilkannya mampu meningkatkan anggaran pembangunan, menyediakan pelayanan publik yang berkualitas pada kebutuhan asasi masyarakat, menghapus kemacetan prosedural, mengurangi keluhan masyarakat, dan meningkatkan kemampuan untuk mengelola biaya pembangunan dengan baik.

Mengakhiri tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa nilai moral tertinggi adalah pilkada serentak harus mampu membawa publik untuk berada semakin dekat pada area kemakmuran sosial. Desentraliasi politik dan desentralisasi pembangunan dengan segala produknya mesti bekerja dalam ranah ini.

Pada titik inilah proses mengawal pilkada dalam makna yang substantif perlu terus dicari formula terbaiknya baik dari sisi produk kebijakan, implementasi, maupun pengawasan. []

KOMPAS, 30 Januari 2020
A Muhaimin Iskandar | Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Wakil Ketua DPR RI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar