Pilkada
dan Upaya Menjaga Khitah Demokrasi
Oleh: A
Muhaimin Iskandar
Pada 2020
ini akan dilaksanakan sebuah praktik demokrasi lokal dalam wujud pemilihan
kepala daerah langsung serentak di 270 daerah di Indonesia. Di mana makna
strategisnya?
Saya
melihat narasi besar yang ingin kita bangun sebagai sebuah bangsa dengan pilkada
serentak ini ialah bahwa peristiwa ini tak hanya soal efisiensi, akuntabilitas,
atau pemaksimalan fungsi partai politik dalam konteks perpolitikan. Lebih dari
itu semua, pilkada serentak harus menjadi tonggak bagi tegaknya portofolio
desentralisasi secara benar di Indonesia.
Portofolio
tersebut ialah bahwa pilkada harus mampu menghadirkan lebih lekas dan dekat
kedalaman makna demokrasi dan menjadikannya sebagai instrumen penting
menggerakkan akselerasi pembangunan di tingkat lokal. Sederhananya, pilkada
sebagai sebuah instrumen politik harus paralel dan berkorelasi positif dengan
kemakmuran masyarakat.
Esensi
itu saya lihat sebagai khitah demokrasi yang harus terus dijaga. Artinya,
sebagai sebuah perhelatan politik, muara yang hendak dihasilkan dengan pilkada
serentak ini adalah terciptanya sebuah sistem demokrasi yang mampu menghasilkan
kepala daerah yang visioner, transformatif, dan mampu menciptakan pemerataan
ekonomi bagi masyarakatnya.
Abdurrahman
Wahid pernah mengatakan tentang pentingnya mengakhiri keadaan yang
”asal-asalan” (meminjam bahasa Gus Dur) dengan cara memilih pemimpin eksekutif
yang bisa mendorong terciptanya makna demokrasi yang sebenarnya.
Menurut
Gus Dur, langkah itu harus diambil untuk mengimbangi ”demokrasi prosedural”
yang sudah dikritik banyak kalangan karena tak mampu membangun pelembagaan
demokrasi dan tradisi demokrasi secara benar.
Jika
dimaknai dalam konteks pilkada serentak, seruan Gus Dur tersebut tampak ingin
menunjukkan bahwa rancang bangun yang harus dimunculkan dalam pilkada sebagai
praktik demokrasi lokal adalah menjadikan kemakmuran sosial sebagai pengalaman
konkret publik dan tujuan utama yang hendak dicapai.
Poin ini
penting digarisbawahi karena bagaimanapun desentralisasi merupakan ruang
berpartisipasi dan bernegosiasi dari semua aktor demokrasi di level lokal.
Tiga argumen
Menilik
perjalanan panjang kita sebagai bangsa dengan berbagai pengalaman empiris di
lapangan, saya melihat setidaknya ada tiga argumentasi kuat mengapa pilkada
harus dijadikan sebagai basis politik kesejahteraan.
Hal ini
bukan semata soal kompetisi politik lokal. Lebih dari itu, pilkada harus
dijadikan pencapaian konstruktif dalam menerjemahkan nilai-nilai demokrasi
dalam pilihan kebijakan politik di daerah. Inilah sesungguhnya makna khitah
demokrasi dalam pilkada.
Argumentasi
pertama dari sisi strategi perencanaan pembangunan. Pilkada dalam konteks
kebijakan desentralisasi diharapkan mampu melahirkan pemimpin daerah yang bisa
membawa kebijakan pembangunan lebih dekat dengan masyarakat, mendorong
pembangunan ekonomi, serta melahirkan dan menyediakan kebijakan dan layanan
publik.
Kedua,
pelaksanaan pilkada saya kira punya sumbangsih besar dalam memantapkan
legitimasi pemerintah daerah. Dengan legitimasi itulah diharapkan kepala daerah
hasil pilkada punya kesempatan melakukan berbagai inovasi kebijakan serta
menjalankan pembangunan daerah yang prioritasnya sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Ketiga,
dan ini yang saya kira penting, pilkada dengan seluruh instrumen yang
dihasilkan akan mampu mendorong terwujudnya akuntabilitas dan responsibilitas
pemimpin daerah.
Pilkada
langsung yang dikombinasikan dengan kebijakan otonomi akan melahirkan
pemerintahan yang lebih bertanggung jawab dan responsif atas pelbagai persoalan
daerah. Muaranya, akan terjadi pemerataan sosioekonomi dan politik di tingkat
lokal.
Dari
ketiga hal di atas, saya ingin mengingatkan bahwa pilkada serentak sebagai
salah satu pencapaian konstruktif dalam bingkai kebijakan desentralisasi tak
boleh terjebak pada logika bahwa ia semata-mata hanya mekanisme yang dijalankan
untuk menciptakan distribusi kekuasaan birokratis dan kekuatan politik dari
pusat ke tingkat lokal.
Satu
tahapan di atasnya yang justru lebih penting adalah bahwa pelaksanaan pilkada
beserta seluruh hasilnya harus berkaitan dengan alokasi dan distribusi
sumber-sumber ekonomi secara adil. Ia harus berkorelasi dengan pertumbuhan
ekonomi, pemerataan, dan kesejahteraan.
Kompetisi
dalam demokrasi bukan sekadar pemberian kesempatan yang sama. Melangkah lebih
maju, hasil pilkada harus melahirkan daerah dengan perencanaan pembangunan yang
matang.
Meski demikian,
tak bisa dinafikan juga terdapat banyak kompleksitas yang menyertai pelaksanaan
pilkada yang harus terus diperbaiki, bukan hanya prosedur, tetapi lebih pada
soal substansi. Perjumpaan penulis dengan banyak calon eksekutif ataupun
legislatif dalam konteks pilkada tampak sekali kecemasan yang mereka hadapi
dalam setiap kontestasi.
Mulai
soal biaya, ketidakpastian, moralitas, aturan main, hingga soal efek politik
uang yang merusak. Kondisi semacam itu tampaknya yang menyebabkan politisi
merasa ”terjebak” dalam apa yang disebut dengan pertukaran klientelistis
(Aspinall dan Berenschot, 2019).
Klientelisme
politik adalah sebuah kondisi ketika para pemilih, pegiat kampanye, atau aktor
lain menyediakan dukungan elektoral bagi para politisi dengan imbalan uang atau
material lainya. Para kontestan takut jika mereka mengabaikan permintaan itu,
mereka akan kalah dari pesaingnya.
Konteks
inilah yang akhirnya melahirkan fenomena ”demokrasi jual beli”. Sebuah situasi
yang sulit, tapi tetap harus dicari format dan jalan keluar terbaiknya agar
perpolitikan bangsa ini tak terjerumus pada demokrasi pasar bebas dalam
pengertian yang negatif.
Pemerintah,
DPR, dan kalangan masyarakat madani saya kira harus duduk bersama mencari rumus
terbaik keluar dari situasi yang penuh jebakan dan paradoks ini.
Bukan faktor utama
Ada hal
menarik. Teori demokrasi normatif selalu menyatakan bahwa transaksi keuangan
bukanlah faktor utama yang mengatur aspek politik di Indonesia. Namun,
pengamatan di hampir seluruh kontestasi pilkada menunjukkan bahwa pertukaran
materi ditemukan hampir di setiap siklus pemilihan.
Di sisi
lain, perilaku para partisipan secara tak langsung ingin mengatakan bahwa uang
sangat diperhitungkan. Inilah situasi paradoks yang jamak ditemui dalam
perhelatan pemilihan anggota badan legislatif maupun pilkada.
Atas
dasar itulah kemudian muncul gagasan dari sebagian kalangan kecil mengembalikan
sistem pilkada langsung menjadi tidak langsung (dipilih DPRD). Tentu ini bukan
jalan keluar terbaik, setidaknya sampai saat ini.
Penulis
masih meyakini bahwa dalam sistem demokrasi, pilkada langsung akan bisa menjadi
jalan terang bagi tersambungkannya korelasi positif antara demokrasi dan
kesejahteraan.
Seluruh
narasi dan argumentasi di atas ingin menunjukkan bahwa yang diperlukan dalam
menyongsong pilkada serentak adalah mengawal perwujudan demokrasi lokal
tersebut.
Langkahnya,
memastikan bahwa hasil pilkada serentak harus mampu menghasilkan mekanisme
pengelolaan kekuasaan di level lokal serta menyusun variabel pencapaian
pembangunan yang berbasis kesejahteraan sosial dan kemakmuran publik.
Sebagai
salah satu instrumen demokrasi, pilkada harus mampu memberi garansi, setidaknya
memberi harapan baru bagi masyarakat, bahwa pemimpin yang dihasilkannya mampu
meningkatkan anggaran pembangunan, menyediakan pelayanan publik yang
berkualitas pada kebutuhan asasi masyarakat, menghapus kemacetan prosedural,
mengurangi keluhan masyarakat, dan meningkatkan kemampuan untuk mengelola biaya
pembangunan dengan baik.
Mengakhiri
tulisan ini, saya ingin menegaskan bahwa nilai moral tertinggi adalah pilkada
serentak harus mampu membawa publik untuk berada semakin dekat pada area
kemakmuran sosial. Desentraliasi politik dan desentralisasi pembangunan dengan
segala produknya mesti bekerja dalam ranah ini.
Pada
titik inilah proses mengawal pilkada dalam makna yang substantif perlu terus
dicari formula terbaiknya baik dari sisi produk kebijakan, implementasi, maupun
pengawasan. []
KOMPAS,
30 Januari 2020
A Muhaimin Iskandar | Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa,
Wakil Ketua DPR RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar