Palestina Melawan AS dan Israel
Oleh: Zuhairi Misrawi
Langkah Amerika Serikat memuluskan proposal "kesepakatan abad
ini" langsung ditolak mentah-mentah oleh Palestina. Presiden Palestina
Mahmoud Abbas menegaskan secara terbuka sudah memutus hubungan diplomasi dengan
AS dan Israel, termasuk hubungan dalam soal keamanan. Palestina akan melakukan
perlawanan secara terhormat atas manuver AS dan Israel. Hatta, jika negara-negara
Arab lainnya tidak mendukung langkah Palestina, maka Palestina akan tegak
berdikari melawan kesewenang-wenangan AS dan Israel. Palestina tidak percaya
lagi pada AS dan Israel: talak tiga!
Secara prinsip, Mahmoud Abbas juga menegaskan bahwa Palestina tidak untuk dijual murah dengan kesepakatan yang sebenarnya bertujuan delegitimasi Palestina. Jerusalem dan Masjid al-Aqsha adalah milik Palestina, dan akan menjadi ibu kota Palestina saat merdeka nanti. Selamanya.
Sebelumnya, Arab Saudi, Uni Emirate Arab, dan Bahrain secara terbuka menyatakan dukungan terhadap proposal AS dan Israel dengan menghadiri momen Presiden AS, Donald Trump saat menyampaikan proposal "kesepakatan abad ini" di Gedung Putih. Mahmoud Abbas mengkritik keras langkah ketiga negara tersebut yang dianggap telah memberikan stempel terhadap AS dan Israel.
Namun sikap ketiga negara tersebut berubah setelah pertemuan yang digelar oleh Liga Arab di Kairo, 1 Februari lalu. Para Menteri Luar Negeri negara-negara Arab menghadiri pertemuan darurat, termasuk Arab Saudi, Uni Emirate Arab, dan Bahrain. Mereka sepakat mengeluarkan keputusan bersama yang menegaskan bahwa proposal AS dan Israel tidak akan mendorong perdamaian yang berkeadilan, karena bertentangan dengan hukum internasional dan resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa. Bahkan, proposal AS dan Israel pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap proses perundingan perdamaian yang sudah berlangsung lebih dari tiga dekade.
Menurut Liga Arab, AS secara nyata telah mengambil langkah unilateral di luar koridor hukum internasional dan resolusi PBB, yang di dalamnya hak-hak dan kedaulatan Palestina sesuai kesepakatan 1967. Jerusalem Timur, khususnya Masjid al-Aqsha akan menjadi ibu kota Palestina dan para pengungsi Palestina mempunyai hak untuk kembali ke tanah kelahirannya.
Liga Arab sendiri akan mengacu pada kesepakatan para Menteri Luar Negeri yang digelar di Tehran dan Arab Saudi pada 2018, serta konferensi di Tunisia pada 2019. Maknanya, negara-negara Arab akan bersama Palestina menolak proposal AS dan Israel. Klaim AS dan Israel, bahwa mereka mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab dengan sendirinya telah dianulir setelah pertemuan Liga Arab.
Negara-Negara Arab sepakat bahwa Palestina akan menjadi isu sentral. Jerusalem Timur dan Masjid al-Aqsha sebagai ibu kota Palestina merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Palestina juga berdaulat penuh terdapat wilayahnya di Tepi Barat yang selama ini diduduki Israel melalui pembangunan pemukiman ilegal. Langkah Israel menduduki 30% dari wilayah Palestina di Tepi Barat merupakan pelanggaran, termasuk langkah Israel menguasai perbatasan udara, darat, dan laut merupakan penjajahan.
Proposal AS dan Israel bukan memberikan kedaulatan yang semestinya kepada Palestina, melainkan justru menginjak-injak harkat, martabat, dan kedaulatan Palestina. Karenanya, negara-negara Arab tidak akan bekerjasama dengan AS dan Israel dalam memuluskan misi busuknya.
Sebenarnya AS dan Israel bisa mengacu pada perundingan 2002 yang memandatkan kepada Israel agar menghentikan pembangunan pemukiman ilegal di Tepi Barat sesuai kesepakatan 1967, termasuk hak kembalinya para pengungsi Palestina. Karenanya, AS dan Israel bisa melakukan perundingan secara terbuka untuk mewujudkan solusi dua negara hidup berdampingan secara damai, serta mampu menegakkan keadilan, khususnya bagi Palestina.
Sejak pertemuan Liga Arab belum muncul sikap resmi AS dan Israel. Trump sendiri sadar bahwa langkahnya tidak akan berjalan mulus, bahkan layu sebelum berkembang. Palestina pada akhirnya mendapatkan dukungan penuh dari negara-negara Arab dan dunia Islam, termasuk negara-negara Eropa dan Amerika Latin.
Semua tahu bahwa langkah AS dan Israel dalam "kesepakatan abad ini" hanya sekadar langkah politik untuk menyelamatkan muka Donald Trump di mata pemilihnya yang sedang menghadapi pemakzulan dan kepercayaan publik yang terus menurun, serta menyelamatkan muka Netanyahu yang sedang menghadapi kasus korupsi dan dukungan terhadap dirinya yang terus merosot tajam. AS dan Israel sama-sama akan menghadapi pemilu pada tahun ini, dan proposal tersebut digunakan sebagai instrumen politik untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap Trump dan Netanyahu.
Netanyahu diam-diam terus menggalang dukungan dari Sudan dan Uganda. Ia ingin membuktikan pada warga Israel, bahwa ia ingin agar proposal tersebut mendapatkan dukungan dari negara-negara Arab dan Afrika, sehingga bisa dilaksanakan pada tataran praksis dalam beberapa tahun yang akan datang. Dan proposal itu bisa dilaksanakan jika partainya menang dalam pemilu dan ia terpilih kembali menjadi Perdana Menteri.
Walakin, langkah Netanyahu tidak akan mudah, karena organisasi kerja sama negara-negara Islam juga sudah menegaskan sikapnya bersama Palestina. Tidak ada ruang lagi bagi AS dan Israel untuk bermanuver dalam memaksakan kehendaknya. Apalagi Turki, Iran, dan Hezbullah Libanon secara terang-terangan akan mendukung langkah Palestina, termasuk jika harus menggunakan langkah-langkah militer. Jerusalem Timur dan Masjid al-Aqsha adalah garis merah yang tidak bisa diotak-atik oleh Israel.
Dan yang terpenting, semua faksi politik Palestina yang selama ini cenderung mempunyai sikap yang berseberangan justru bersatu padu menentang proposal AS dan Israel. Hal ini merupakan modal yang luar biasa bagi Palestina, karena mereka mempunyai kesadaran yang sama bahwa AS dan Israel merupakan pihak yang tidak bisa dipercaya dalam memecahkan masalah kedaulatan dan kemerdekaan Palestina. Langkah yang paling tepat adalah menekan AS dan Israel agar tunduk pada hukum internasional dan resolusi PBB.
Maka dari itu, negara-negara Eropa minus Inggris adalah pihak yang bisa dijadikan mediator dalam menyelesaikan masalah Palestina. AS dan Inggris sudah tidak bisa dipercaya karena cenderung memihak pada Israel. Negara-negara Eropa lainnya masih bisa dipercaya untuk memastikan kemerdekaan Palestina berdasarkan hukum internasional dan resolusi PBB. Semua wilayah Tepi Barat milik Palestina, Jerusalem Timur, dan Masjid al-Aqsha jadi ibu kota Palestina; Palestina berdaulat penuh atas wilayahnya sesuai kesepakatan 1967, serta para pengungsi Palestina mempunyai hak kembali ke Palestina. Hanya itu solusi yang adil bagi Palestina. []
DETIK, 06 Februari 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan
Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah The Middle East
Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar