Ilmu Laduni Syekh Abdul Qadir Al-Jailani dan
Ketawadhuan Sayyidina Ali
Ada sebuah pepatah bahasa Arab yang mengatakan ‘Ilmu yang tidak diamalkan ibarat pohon yang tidak berbuah.’ Pepatah di atas menunjukkan bahwa selain memiliki kewajiban mencari ilmu, seseorang dituntut pula untuk menyebarkan dan mengamalkan ilmu yang dimilikinya. Mengapa demikian? Karena dengan mengamalkan, hakikatnya secara tersirat ia juga belajar.
Dalam Al-Quran, Allah swt memberikan jaminan
kepada orang yang mengamalkan ilmunya, dia akan memperoleh ilmu yang tidak
tertulis di dalam kertas atau yang sering biasa kita sebut dengan Ilmu Ladunni.
Sebagaimana Allah berfirman dalam Surat al-Baqarah ayat 282, “Dan bertakwalah
kepada Allah, maka Allah akan memberikan pengajaran kepada kalian, dan Allah
Maha mengetahui segala sesuatu.”
Menurut sebagian al-`Arifin (orang yang dekat
dan mengenal Allah) tafsiran dari ayat di atas adalah bahwa barang siapa yang
menempati maqam takwa, maka dia pantas dan layak menerima warisan ilmu Allah
yaitu Ilmu Ladunni.
Menurut sebagian ulama Ilmu Ladunni merupakan
ilmu yang diletakkan oleh Allah di dalam hati para kekasih-Nya (waliyullah),
dan inilah yang dilakukan oleh Sulthanul Auliya Syekh Abdul Qadir al-Jailani
dalam berdakwah menyebarkan ilmunya.
Ada banyak kisah tentang Syekh Abdul Qadir
al-Jailani yang tidak dijelaskan di dalam kitab-kitab ulama zaman dahulu, namun
diceritakan di dalam kitab-kitab karangan habaib dan ulama Hadlramaut, Tarim,
Yaman.
Negeri Yaman sering dijuluki Baldatun Auliya
(negerinya para wali). Jadi wajar saja apabila banyak dijumpai kisah tentang
karomah para wali dan ulama yang tidak dijelaskan secara detail dalam
kitab-kitab lain, termasuk ketika Rasulullah dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib
meludahi mulut Syekh Abdul Qadir al-Jailani di saat mau berdakwah menyebarkan
ilmu dikarenakan keder di hadapan para jamaahnya.
Kisah ini juga diungkap dalam kitab al-Fawāid
al-Mukhtārah Lisāliki Ṭarīq al-Ākhirah karya Habib Ali bin Hasan Baharun,
seorang santri yang berguru kepada Habib Zain ibn Ibrahim ibn Smith di
Hadlramaut, Tarim, Yaman.
Alkisah, suatu ketika Syekh Abdul Qadir
al-Jailani melihat kehadiran Rasulullah mendatanginya sebelum melaksanakan
Shalat dzuhur. Seketika itu ia kaget bukan main dan tidak jadi melanjutkan
shalat. Tak lama kemudian, Rasulullah bertanya;
“Wahai anakku, mengapa kamu takut berbicara
di hadapan orang banyak?”
“Wahai ayahku, aku ini tumbuh dan besar di
tengah-tengah penduduk yang tidak pandai berbicara. Lantas bagaimana aku mau
berbicara dihadapan penduduk Kota Baghdad yang pandai berbicara, ditambah lagi
ulamanya banyak yang alim?” jawab Syekh Abdul Qadir dengan rasa malu.
Mendengar jawaban Syekh Abdul Qadir
al-Jailani, Rasulullah langsung memerintahkan beliau untuk membuka mulutnya.
Lalu Rasulullah meludahi mulut Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebanyak tujuh
kali. Kemudian beliau bersabda, “Sekarang, pergilah dan bicaralah di hadapan
manusia. Berdakwalah dan ajak mereka ke jalan Allah, berikan mereka
nasihat-nasihat yang baik.”
Begitulah kasih sayang Rasulullah terhadap
Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Sebagai keturunannya, Rasulullah terus menerus
membimbingnya dalam berdakwah menyebarkan ilmu kepada seluruh manusia. Setelah
kejadian tersebut, Syekh Abdul Qadir al-Jailani melaksanakan Shalat Dzuhur dan duduk
sambil memikirkan bagaimana caranya untuk berdakwah di hadapan penduduk Kota
Baghdad yang memiliki banyak ulama sangat alim. Mengingat dirinya bukanlah
orang yang pandai berbicara.
Selang beberapa saat, penduduk Kota Baghdad
berbondong-bondong mendatangi Syekh Abdul Qadir al-Jailani di dalam masjid.
Mereka meminta Syekh Abdul Qadir al-Jailani untuk memberikan pengajian kepada
mereka. Sontak saja beliau bingung apa yang harus disampaikan kepada mereka,
saat itu sekujur tubuhnya gemetar dan keder menghadapi penduduk Baghdad.
Disaat Syekh Abdul Qadir al-Jailani
kebingungan, tiba-tiba Ali bin Abi Thalib datang dan masuk ke dalam masjid
sambil berdiri di hadapannya. Sayyidina Ali bertanya kepada Syekh Abdul Qadir
al-Jailani seperti apa yang telah ditanyakan Rasulullah.
“Wahai anakku, mengapa kamu takut berbicara
dihadapan orang banyak?”
“Wahai ayahku, aku tidak bisa, tubuhku dari
tadi gemetar dan aku gerogi dihadapan sekian banyak orang ini,” jawab Syekh
Abdul Qadir al-Jailani menjawab tanpa rasa malu.
Tak ingin menunggu lama, Sayyidina Ali
memerintahkan Syekh Abdul Qadir al-Jailani untuk kembali membuka mulutnya
sebagaimana perintah Rasulullah sebelumnya. Lalu Sayyidina Ali meludahi
mulutnya sebanyak enam kali. Hal itu membuat Syekh Abdul Qadir al-Jailani
heran.
“Mengapa engkau (Sayyidina Ali) hanya
meludahi mulutku enam kali, sedangkan Rasulullah tujuh kali?” tanya al-Jailani.
“Ini merupakan adab kepada Rasulullah dengan tidak melebihi darinya,” jelas
Sayyidina Ali.
Setelah kejadian tersebut, Sayyidina Ali
bersembunyi dan mengintip apakah Syekh Abdul Qadir al-Jailani masih takut dan
gemetar berbicara dihadapan penduduk Kota Baghdad ataukah tidak. Mungkin berkah
dari ludah Rasulullah dan Sayyidina Ali, akhirnya beliau mulai berbicara dan
berdakwah di hadapan mereka tanpa ada lagi rasa gemetar dan takut dalam
dirinya.
Jika kita memahami alur kisah inspiratif di
atas, ada hal yang sangat menarik yang perlu kita contoh yaitu mengapa
Sayyidina Ali hanya meludahi mulutnya Syekh Abdul Qadir al-Jailani enam kali.
Di sinilah kita perlu melihat betapa adabnya Sayyidina Ali begitu mulia, hingga
‘masalah sepele’ saja ia tidak mau melebihi apa yang telah dilakukan oleh
Rasulullah.
Itulah mengapa begitu sangat pentingnya adab
dalam kehidupan sehari-hari, karena dengan adab lah derajat seseorang akan
diangkat oleh Allah. Terbukti seperti adab Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Allah
angkat derajatnya dan menjadikannya ‘Raja dari Seluruh Para Wali’.
Lantas bagaimana dengan ilmu, bukankah itu
juga merupakan elemen penting dalam kehidupan sehari-hari? Ilmu juga merupakan
unsur yang sangat penting, namun itu setelah adab. Dahulukanlah adab dari pada
ilmu. Setinggi apapun ilmu seseorang, tetapi jika ia menjadikan akhlah sebagai
elemen yang kedua setelah ilmu, maka sungguh tidak berharga ilmu tersebut. []
Hilmi Ridho, santri Ma`had Aly Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi`iyah Sukorejo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar