Meluruskan Makna Jihad (23)
Membumikan Ajaran Langit
Oleh: Nasaruddin Umar
Membumikan ajaran langit bagian dari jihad. Tak seorang pun
mengingkari bahwa agama berasal dari langit, khususnya agama-agama anak cucu
Ibrahim, yang biasa disebut
al-din al-samawi. Agama yang kitab sucinya diturunkan dari langit
kemudian diturunkan ke bumi dalam dua proses penurunan, yang dikenal dengan
cara al-inzal dan
al-tanzil.
Sebagai agama langit yang diturunkan ke bumi untuk dijadikan
petunjuk kepada manusia sebagai sasaran agama tersebut, sudah barang tentu
melalui proses tawar menawar antara sang subjek (agama) dengan sang objek
(manusia). Pembumian ajaran sesungguhnya adalah bagian dari rahmat Tuhan untuk
melangitkan kembali manusia.
Manusia yang diciptakan dengan seperangkat kecerdasannya, dibekali
dengan sikap kritis untuk mempertahankan eksistensi dirinya, termasuk bersikap
kritis terhadap ajaran-ajaran agama langit itu. Istimewanya ialah Allah
memahami kenyataan ini. Buktinya, setiap kitab suci-Nya diturunkan dengan cara
berangsur-angsur (tadrij),
menyedikitkan beban (taqlil
al-taklif), dan mengeliminir kesulitan ('adam al-haraj). Ini membuktikan bahwa agama
langit turun ke bumi mengalami proses "pembumian".
Allah yang memiliki kekuatan "kun fa yakun" tidak serentak ajaran
agama-Nya dipaksakan kepada hamba-Nya yang sangat dhaif. Padahal, tak satu pun hambanya yang
bisa menolak seluruh ajaran agama-Nya jika ia menghendaki-Nya. Ini bukan
berarti tuhan mengalah terhadap manusia, tetapi menjadi bukti betapa Tuhan
memanusiakan manusia.
Di dalam membumikan ajaran agama Tuhan mengandung konsekuensi
bahwa manusia pada satu sisih memiliki potensi, otoritas, dan kapasitas
tertentu yang juga semuanya berasal dari-Nya, tetapi sisih lain manusia
memiliki kekurangan yang prinsip sehingga mereka memerlukan bimbingan agar
tidak jatuh terjerumus dengan kelemahan fundamental yang melekat pada dirinya.
Manusia dalam pandangan Islam bukan antroposentris, yang serba
manusia, bukan juga teosentris yang serba Tuhan, tetapi manusia menurut Prof.
S.H. Nasr sebagai teomorfis, yaitu makhluk yang memiliki berbagai kelebihan
tetapi memiliki kelemahan melekat pada dirinya sehingga masih tetap membutuhkan
petunjuk Tuhan. Karena itu, diturunkan kepadanya wahyu (Kitab) dan para Nabi
untuk menjelaskan sekaligus mencontohkan pengamalan bagaimana petunjuk itu
dilaksanakan.
Manusia tidaklah sepantasnya memaksakan kehendak agar manusia lain
mengikuti petunjuk-Nya. Allah tidak melakukannya dan para Nabi-Nya pun tidak
melakukannya. Bahkan Allah menegaskan: Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya. (Q.S.
al-Qashash/28:56).
Dalam ayat lain Allah menyindir orang-orang yang melampaui
kapasitasnya, mau memaksakan keinginannya untuk dan atas nama agama: Dan jikalau Tuhanmu menghendaki,
tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu
(hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya? (Q.S. Yunus/10:99).
Namun perlu diingat bahwa siapapun tidak boleh berlindung dengan
jargon "membumikan agama" untuk menghalalkan yang haram atau
mengharamkan yang halal, atau melakukan penafsiran secara liberal kitab suci
hingga keluar jauh meninggalkan inti ajaran agama. Harus kita ingat bahwa
pembumian agama untuk melangitkan kembali manusia setelah jatuh dalam drama
kosmos, yang dilakukan oleh nenek moyang kita Adam dan Hawa. []
DETIK, 03 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar