Beda Pendapat Ulama soal
Dua Shalat Jumat dalam Satu Desa
Saat masih kecil, penulis sering menyaksikan
perdebatan antara penduduk desa terkait hukum dua shalat Jumat dalam satu desa.
Pasalnya, di desa sebelah terdapat dua masjid; masjid barat dan masjid timur.
Kedua masjid sama-sama besar dan memiliki takmir masing-masing. Takmir kedua
masjid merasa berhak untuk menyelenggarakan shalat Jumat.
Untuk menghentikan polemik tersebut, para
perangkat desa, takmir kedua masjid, dan tokoh masyarakat berkumpul serta
bermusyawarah. Kemudian mereka sepakat untuk menggunakan salah satu masjid
sebagai tempat shalat Jumat, sebab menurut keyakinan mereka tidak boleh ada dua
shalat Jumat dalam satu desa.
Menurut hemat penulis, kejadian semacam ini
tidak hanya dialami oleh penduduk desa dimaksud, melainkan banyak penduduk desa
yang lain. Karenanya, kita perlu memahami hukum dua shalat Jumat atau lebih
dalam satu desa.
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum
permasalahan ini. Pertama, Imam Abu Hanifah, Amr bin Dinar dan ulama
mazhab Dzahiriyyah menegaskan bahwa melaksanakan dua atau lebih shalat Jumat
dalam satu desa hukumnya boleh.
Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu
wata’ala:
وَمَا
جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
Dan dia tidak menjadikan kesukaran untukmu
dalam agama. (QS. Al-Haj: 78).
Ayat ini menyatakan, segala kesulitan dalam
beragama dihilangkan, terutama terkait aturan yang menyangkut orang banyak,
seperti shalat Jumat. Sementara, mewajibkan umat Islam berkumpul di satu tempat
untuk melaksanakan shalat Jumat merupakan sebuah kesulitan, apalagi bagi orang
yang tinggal jauh dari masjid. Karenanya, kesulitan itu harus dihilangkan
dengan memperbolehkan mendirikan shalat Jumat lebih dari satu.
Selain itu, mereka juga berpegangan pada
ucapan Ali radhiyallahu anhu:
لَا
جُمْعَةَ إِلَّا فِيْ مِصْرٍ جَامِعٍ
Tidak ada shalat Jumat kecuali di pemukiman
(desa) yang ada masjidnya (Abdullah bin Abi Syaibah, Al-Mushnaf, Darul
Fikr, Juz 2, Halaman 545).
Hadis di atas menjelaskan, shalat Jumat
dianggap sah jika dikerjakan di pemukiman. Artinya, shalat Jumat tetap dihukumi
sah, sekalipun didirikan di dua tempat atau lebih, selama tempat-tempat itu
berada di pemukiman penduduk.
Kedua, menurut Imam Abu
Yusuf dan Imam Syafi’i dalam salah satu riwayat yang kuat, tidak boleh ada dua
shalat Jumat atau lebih dalam satu desa. Mereka berpedoman pada firman Allah
subhanahu wata’ala:
وَالَّذِينَ
اتَّخَذُوا مَسْجِدًا ضِرَارًا وَكُفْرًا وَتَفْرِيقًا بَيْنَ الْمُؤْمِنِينَ
وَإِرْصَادًا لِمَنْ حَارَبَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ مِنْ قَبْلُ وَلَيَحْلِفُنَّ
إِنْ أَرَدْنَا إِلَّا الْحُسْنَى وَاللَّهُ يَشْهَدُ إِنَّهُمْ لَكَاذِبُونَ. لَا
تَقُمْ فِيهِ أَبَدًا.
Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada
orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada
orang-orang mukmin), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang
mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan
Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak
menghendaki selain kebaikan." dan Allah menjadi saksi bahwa Sesungguhnya
mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang
dalam masjid itu selama-lamanya. (QS. At-Taubah: 107-108).
Ayat ini menjelaskan keharaman membangun
masjid berdekatan dengan masjid lain, sebab dapat memecah belah umat Islam.
Sedangkan, mendirikan dua shalat Jumat dalam satu desa juga berpotensi memecah
belah umat Islam, maka tidak boleh.
Di samping itu, mereka juga berpegangan pada
riwayat Bukair bin al-Asyaj:
عَنْ
بُكَيْرِ بْنِ الأَشَجّ قَالَ: حَدَّثَنِي أَشْيَاخُنَا: أَنَّهُمْ كَانُوا
يُصَلُّوْنَ فِي تِسْعِ مَسَاجِدَ فِي عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يَسْمَعُوْنَ أَذَانَ بِلَالٍ، فَإِذَا كَانَ يَوْمُ
الْجُمْعَةِ حَضَرُوا كُلُّهُمْ مَسْجِدَ رَسْوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ
Dari Bukair bin al-Asyaj, ia berkata:
Guru-guru kami bercerita kepadaku bahwa pada masa Rasulullah shallallahu
a’laihi wasallam masih hidup, mereka mengerjakan shalat di Sembilan masjid,
padahal mereka mendengar azan Bilal. Tetapi, setiap hari Jumat datang, mereka
semua datang ke masjid Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam.
(Baihaki, Makrifatus Sunan wal Atsar, Juz 5, halaman 157).
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan
bahwa para sahabat senantiasa mengerjakan shalat Jumat di masjid Nabi
shallallahu a’laihi wasallam meskipun ada banyak masjid lain. Dari sini dapat
difahami bahwa melaksanakan dua shalat Jumat dalam satu desa tidak boleh. Seandainya
hal ini terjadi, maka shalat Jumat pertama dianggap sah dan yang kedua dianggap
batal.
Ketiga, menurut Imam Malik,
Imam Ahmad, dan pendapat yang benar dalam mazhab Syafi’i, dalam satu desa tidak
boleh ada lebih dari satu shalat Jumat, kecuali ada kebutuhan (hajat), seperti:
Masjid sempit dan tidak mungkin diperluas, desa sangat luas, jarak yang sangat
jauh antara satu masjid ke masjid lainnya, dan adanya permusuhan antar
penduduk.
Mereka berpedoman pada firman Allah subhanahu
wata’ala:
يُرِيدُ
اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.
Ayat ini menegaskan bahwa Allah menghendaki
kemudahan bagi kaum Muslimin. Sementara, membolehkan mendirikan dua shalat Jumat
karena ada kebutuhan merupakan bentuk kemudahan yang dikehendaki oleh Allah.
Mereka juga berpedoman pada fatwa (atsar)
Atho’ yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij:
عَنِ
ابْنِ جُرَيْجٍ قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاء: أَرَأَيْتَ أَهَلَ الْبَصْرَةِ لَا
يَسَعُهُمُ الْمَسْجِدُ الْأَكْبَرُ كَيْفَ يَصْنَعُوْنَ؟ قَالَ: لِكُلِّ قَوْمٍ مَسْجِدٌ يُجَمِّعُوْنَ فِيْهِ، ثُمَّ
يُجْزِئُ ذَلِكَ عَنْهُمْ
Dari Ibnu Juraij, ia berkata: Aku berkata
kepada Atho’: Apakah kamu melihat penduduk Bashrah, masjid paling besar tidak
muat untuk mereka,apa yang mereka perbuat ? Ia berkata: Setiap kaum memiliki
masjid tempat mereka berkumpul (untuk shalat Jumat). Lalu bagi mereka, hal itu
sudah cukup.
Pada atsar di atas, Atho’ membolehkan
mendirikan dua shalat Jumat sebab ada hajat dan darurat, yaitu masjid terbesar
di Bashrah tidak mampu menampung seluruh jama’ah. (Lihat: Hasyim Jamil, Masa’il
Minal Fiqhil Muqaran, Damaskus, Darus Salam, halaman 164-168).
Dari ketiga pendapat di atas, tampaknya
pendapat ketiga yang menyatakan kebolehan mendirikan dua shalat Jumat dalam
satu desa, karena ada hajat atau darurat, merupakan pendapat yang kuat. Sebab,
pendapat ini selaras dengan prinsip al-taysir (memberikan kemudahan)
dalam Islam. Pendapat ini juga lebih membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin,
dan syiar Islam, mengingat saat ini jumlah masjid semakin banyak. Wallahu
a’lam. []
Ustadz Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung,
dan Pengurus LDNU Jombang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar