Sikap Adil
Rasulullah Terhadap Non-Muslim
“Dan janganlah
sekali-kali kebencian kalian terhadap sesuatu kaum mendorong kalian untuk
berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada
takwa..,” (QS Al-Maidah: 8).
Rasulullah
betul-betul menjadi suri teladan bagi seluruh umat manusia. Beliau menjalankan
semua yang diperintahkan Allah dan menjauhi segala larangan-Nya. Termasuk
menjalankan perintah Allah dalam ayat di atas, yaitu berbuat adil. Sebuah sikap
yang tidak mudah dilaksanakan manusia karena kebencian dan ‘perbedaan’ yang ada
diantara mereka.
Biasanya, seseorang
akan berlaku adil manakala situasi dan kondisinya menguntungkan diri, keluarga,
sahabat atau pun kelompoknya. Akan tetapi, jika keadaannya merugikan dirinya
maka niscaya ia akan berat –bahkan tidak- berlaku adil.
Hal itu tidak berlaku
bagi Rasulullah. Rasulullah adalah seorang yang berlaku adil kepada semuanya;
kepada dirinya, keluarganya, sahabatnya, dan umat Islam sendiri. Rasulullah
menjadikan keadilan sebagai sebuah hukum dan sistem yang harus ditegakkan dalam
setiap situasi dan kondisi apapun.
Dalam sebuah hadits,
Rasulullah bersabda: Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku
pasti memotong tangannya. Pada saat itu, hukuman dari seorang pencuri adalah
potong tangan. Melalui hadits itu, Rasulullah menegaskan bahwa keadilan harus
ditegakkan setegak-tegaknya. Apabila salah, maka harus dihukum. Tidak peduli
yang melakukan kesalahan itu keluarganya sendiri, bahkan putri tercintanya.
Tidak hanya itu,
Rasulullah juga menegakkan keadilan kepada mereka yang tidak se-iman atau tidak
se-agama. Iya, keadilan Rasulullah meliputi non-Muslim. Merujuk
buku Rasulullah Teladan untuk Semesta Alam (Raghib as-Sirjani,
2011), dikisahkan bahwa suatu ketika al-Asy’ats bin Qais dan seorang Yahudi
menghadap Rasulullah. Al-Asy’ats mengadu dan meminta keadilan kepada Rasulullah
karena tanahnya diambil seorang Yahudi tersebut.
Setelah mendengar
curhatan dan keluh kesah al-Asy’ats, Rasulullah tidak langsung menyalahkan
seorang Yahudi dan memintanya untuk mengembalikan tanah yang diperebutkan
tersebut kepada al-Asy'ats. Rasulullah malah bertanya kepada al-Asy’ats apakah
dirinya memiliki bukti kepemilikan atas tanah tersebut. Al-Asy’ats mengaku
tidak memilikinya.
Rasulullah kemudian
meminta seorang Yahudi tersebut untuk bersumpah bahwa tanah itu memang
miliknya, bukan milik al-Asy’ats sebagaimana yang dituduhkan. Rupanya
al-Asy’ats keberatan dengan cara Rasulullah itu. Ia mengklaim, kalau seandainya
disuruh bersumpah untuk memenangkan persengketaan tanah itu maka seorang Yahudi
tersebut akan melakukan hal itu dan mengambil tanahnya.
Keberatan al-Asy’ats
itu langsung dijawab Allah dengan turunnya Al-Qur’an Surat Ali Imran ayat
77: Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan
sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapatkan
bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata dengan mereka dan
tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat dan tidak (pula) akan
menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.
Dalam kasus itu,
Rasulullah menegakkan keadilan dengan dua cara. Pertama, orang yang
menuntut atau mengaku memiliki hak (al-Asy’ast) harus bisa menghadirkan bukti
kepemilikan tanah. Kedua, orang yang dituntut (seorang Yahudi) harus
bersumpah kepada Tuhan bahwa ia tidak melakukan apa yang dituduhkan orang
mengaku memiliki hak (al-Asy’ast). Jika orang yang menuntut tidak mampu
memberikan bukti-bukti kepemilikannya, maka tanah itu menjadi milik orang yang
dituntut.
Begitu lah sikap adil
Rasulullah. Beliau tetap berlaku adil meski pun itu terhadap non-Muslim. Beda
agama tidak menjadikan Rasulullah berbuat tidak adil. Sikap adil Rasulullah itu
seharusnya menjadi pegangan dan teladan bagi umat Islam agar berlaku adil dalam
situasi dan keadaan apapun, termasuk kepada non-Muslim sekalipun. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar