Calon Istri Dilarang Hadir
di Majelis Ijab Kabul?
Sepasang pengantin baru mengeluh ke penghulu
yang bertugas mencatat perkawinan mereka. Pasalnya keduanya sangat ingin duduk
berdampingan ketika proses ijab kabul namun hal itu tidak diperkenankan oleh
penghulu yang hadir. Keinginan keduanya untuk duduk bersanding pada saat akad
nikah bukan tanpa alasan, ingin didokumentasikan sebagai kenangan. Namun sang
penghulu tetap saja tak mengizinkan pengantin perempuan hadir di majelis akad
nikah. Ia bahkan memintanya untuk kembali masuk ke bagian dalam rumah.
Di lain waktu sang penghulu bukan saja tidak
mengizinkan mempelai perempuan hadir di majelis akad tapi juga meminta kaum
perempuan lainnya untuk tidak berada di majelis tersebut. Tentunya hal ini
menjadikan mereka kecewa karena keinginan untuk menyaksikan ijab kabul
perkawinan anggota keluarganya tak terwujud.
Permasalahan seperti ini sangat sering
terjadi di Indonesia manakala prosesi ijab kabul pernikahan akan dilaksanakan.
Mereka yang tidak mengizinkan hadirnya mempelai perempuan bukan saja seorang
penghulu tapi juga tokoh agama. Tidak semuanya memang, di beberapa tempat
mempelai perempuan dibiarkan duduk bersanding dengan calon suaminya pada saat
proses ijab kabul berlangsung. Tidak hanya itu, bahkan kepala keduanya juga
ditutupi dengan sehelai kain tipis, layaknya proses pernikahan di banyak
sinetron.
Lalu bagaimana sebenarnya fiqih mengatur hal
ini, apakah hadirnya mempelai perempuan dan kaum perempuan di majelis akad
nikah memang dilarang oleh agama? Apakah kehadiran kaum hawa ini berakibat pada
tidak sahnya akad nikah?
Sebelumnya perlu diketahui bahwa di dalam
prosesi akad nikah hanya ada 4 (empat) pihak yang harus hadir di majelis
tersebut. Keempat pihak itu adalah mempelai laki-laki, wali pengantin
perempuan, dan dua orang saksi. Selebihnya tak ada yang wajib hadir pada
majelis akad nikah, termasuk pengantin perempuan. Ini sebagaimana dituturkan
oleh Abu Bakar Al-Hishni di dalam kitab Kifâyatul Akhyâr:
يشْتَرط
فِي صِحَة عقد النِّكَاح حُضُور أَرْبَعَة ولي وَزوج وشاهدي عدل
Artinya: “Disyaratkan dalam sahnya akad nikah
hadirnya empat orang, yakni wali, suami, dan dua orang saksi yang adil.” (Abu
Bakar Al-Hishni, Kifâyatul Akhyâr, [Bandung: Al-Ma’arif, tt.], juz II,
hal. 49)
Dari keterangan di atas maka jelas dapat
dipahami bahwa pengantin perempuan tidak wajib hadir dan ada di majelis tempat
dilaksanakannya akad nikah. Namun demikian, apakah ketidakharusan hadirnya
pengantin perempuan dapat diartikan ketidakbolehannya hadir di majelis itu,
hingga ketika ia hendak disandingkan dengan calon suaminya saat akad nikah
banyak pihak yang melarangnya?
Bila kita mencermati teks-teks fiqih dalam
berbagai kitab ulama terdahulu—sebatas pengetahuan penulis—belum ditemukan teks
yang secara jelas melarang hadirnya pengantin perempuan dan kaum perempuan di
majelis akad nikah. Pun teks yang secara nyata menetapkan ketidakabsahan akad
nikah yang dihadiri oleh kaum hawa, belum ditemukan.
Hanya saja pada bab yang lain banyak ulama
membahas tentang tidak diperbolehkannya pencampuran (ikhtilâth) antara
laki-laki dan perempuan bila dikhawatirkan akan timbulnya fitnah. Misalnya apa
yang disampaikan oleh Imam Bujairami yang mengutip sebuah penjelasan dari kitab
Syarhur Raudl:
أَمَّا
النَّظَرُ وَالْإِصْغَاءُ لِصَوْتِهَا عِنْدَ خَوْفِ الْفِتْنَةِ أَيْ: الدَّاعِي إلَى جِمَاعٍ، أَوْ خَلْوَةٍ، أَوْ نَحْوِهِمَا
فَحَرَامٌ
Artinya: “Adapun memandang dan mendengarkan
suara perempuan ketika dikhawatirkan terjadinya fitnah—yakni yang mengundang
kepada persetubuhan, bersepian atau yang semisalnya—maka hukumnya haram.”
(Sulaiman Al-Bujairami, Hâsyiyah Al-Bujairami ‘alâ Syarhil Minhaj,
[Al-Halabi, 1950], juz III, hal. 325)
Bila membaca teks di atas kiranya bisa
dipahami bahwa pencampuran laki-laki dan perempuan masih bisa diperbolehkan
bila tidak ada kekhawatiran terjadinya fitnah (godaan, red). Pencampuran itu
baru dihukumi haram bila ada kekhawatiran timbulnya fitnah tersebut.
Artinya bila dapat dipastikan tidak akan
menimbulkan fitnah maka sah-sah saja hadirnya mempelai perempuan dan perempuan
lainnya pada majelis akad nikah.
Pada saat prosesi akad nikah biasanya banyak
dihadiri oleh kaum laki-laki baik dari keluarga mempelai perempuan ataupun dari
keluarga mempelai laki-laki. Di daerah tertentu bahkan mereka yang hadir dari
pihak laki-laki sebagian besar adalah kaum muda yang menjadi teman bermainnya.
Dalam kondisi seperti ini keberadaan pengantin perempuan di tengah-tengah
majelis akad nikah dikhawatirkan dan sangat dimungkinkan akan menimbulkan
fitnah di antara kaum laki-laki itu. Fitnah itu bisa berupa pandangan kaum
lelaki kepada pengantin perempuan, condongnya hati kepada apa-apa yang dilarang
atau hal-hal lain yang dilarang oleh agama dan yang semestinya tidak terjadi di
majelis akad nikah.
Realitas di masyarakat seringkali ditemukan
fitnah-fitnah yang dikhawatirkan tersebut. Saat pengantin perempuan keluar
menuju tempat akad para hadir yang sebagian besar kaum muda seringkali
melakukan aksi-aksi tak pantas seperti bersiul-siul, bersorak sorai menggoda
kedua mempelai, dan ungkapan-ungkapan lain yang tak layak yang semestinya tidak
terjadi di majelis akad nikah yang sakral.
Barangkali dengan alasan-alasan ini sejumlah
pihak tidak mengizinkan pengantin perempuan keluar dan duduk berdampingan
dengan calon suaminya sebelum selesainya akad nikah.
Lebih lanjut, sebagaimana disinggung di atas
bahwa dalam akad nikah diharuskan hadirnya dua orang saksi yang adil. Sifat
adil ini secara sederhana dapat dipahami sebagai sifat tidak fasik atau tidak
banyak melakukan perbuatan dosa. Ke-adil-an dua orang saksi ini menjadi salah
satu syarat bagi keabsahan akad nikah merujuk pada sabda Rasulullah shallallâhu
‘alaihi wa sallam:
لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ
Artinya: “Tidak sah pernikahan kecuali dengan
hadirnya wali dan dua orang saksi yang adil.”
Di masa sekarang ini mendapatkan saksi yang
benar-benar adil sangatlah sulit. Maka dari itu para ulama menyarankan
agar sebelum akad nikah dimulai para hadir yang ada di majelis itu beristighfar
bersama dalam rangka bertaubat dari perbuatan-perbuatan dosa yang selama ini
dilakukan. Dengan demikian harapannya adalah pada saat prosesi ijab kabul
mereka yang hadir tidak berstatus fasik sehingga lebih yakin dalam mendapatkan
keabsahan akad nikah.
Hadirnya pengantin perempuan di tengah-tengah
majelis akad nikah disamping akan terjadi ikhtilath antara laki-laki dan
perempuan dan terjadinya fitnah di antara mereka juga dikhawatirkan akan
menumbuhkan kefasikan pada diri para saksi.
Muhammad Ali As-Shabuni dalam kitab Rawâi’ul
Bayân Tafsîr âyâtil Ahkâm mengutip pendapat Imam Ibnu Kasir:
وذهب
ابن كثير رَحِمَهُ اللَّهُ إلى أن المرأة منهية عن كل شيء يلفت النظر إليها، أو
يحرك شهوة الرجال نحوها
Artinya: “Ibnu Katsir rahimahullâh berpendapat
bahwa seorang perempuan dilarang dari segala hal yang yang menjadikan pandangan
mengarah kepadanya atau menggerakkan syahwat para lelaki padanya.” (Muhammad
Ali As-Shabuni, Rawâi’ul Bayân Tafsîr âyâtil Ahkâm, [Beirut: Darul Fikr,
tt.], juz II, hal. 167)
As-Shabuni sendiri dalam kitab yang sama
menegaskan:
ينبغي
على الرجال أن يمنعوا النساء من كل ما يؤدي إلى الفتنة والإغراء، كخروجهن بملابس
ضيقة، أو ذات ألوان جذابة
Artinya: “Seyogianya kaum laki-laki mencegah
para perempuan dari segala yang mendatangkan fitnah dan godaan, seperti mereka
keluar dengan pakaian yang ketat atau memiliki warna yang menarik.” (Muhammad
Ali As-Shabuni, Rawâi’ul Bayân Tafsîr âyâtil Ahkâm, [Beirut: Darul Fikr,
tt.], juz II, hal. 167)
Bisa digambarkan, ketika pengantin perempuan
hadir di majelis akad dengan hiasan dan riasan yang begitu menawan, yang
menjadikan ia tampil lebih cantik dari biasanya, terlebih bila ia mengenakan
gaun pengantin ala barat yang memperlihatkan sebagian auratnya, tentunya hal
itu akan mengundang kekaguman para hadir yang ada. Kecantikannya mampu menawan
pandangan para hadir hingga mereka menikmati pemandangan yang ada. Dan pada
akhirnya tidak dipungkiri hati mereka akan condong kepada perasaan-perasaan
yang tidak semestinya.
Bila ini semua terjadi pada diri para saksi
pada saat proses ijab kabul berlangsung itu berarti mereka menjadi saksi dalam
keadaan bermaksiat yang bisa jadi menghilangkan sifat ke-adil-an mereka.
Lalu apakah yang demikian dapat mencegah
keabsahan akad nikah?
KH Subhan Makmun, salah satu Rais Syuriah
PBNU, dalam satu kesempatan menjelaskan bahwa hal itu tidak sampai menjadikan
akad nikah tidak sah. Akad nikah tetap sah. Hanya saja adanya saksi yang
menyaksikan akad nikah dalam keadaan bersyahwat sebagaimana digambar di atas dapat
mengurangi sifat wira’i (kehati-hatian) dalam berakad yang imbasnya akan
mengurangi kewira’ian dan adab sang anak dari hasil pernikahan tersebut.
Alhasil, tidak diperkenankannya pengantin
perempuan dan para perempuan lain hadir di tengah majelis akad nikah oleh
sebagian pihak adalah merupakan satu langkah kehati-hatian agar akad nikah yang
menjadi gerbang pertama dan utama sebuah perkawinan dapat benar-benar
mengantarkan kedua mempelai pada kehidupan rumah tangga yang sakinah, tidak
hanya bahagia bersama di dunia saja tapi juga sampai kelak di akherat. Wallâhu
a’lam. []
Ustadz Yazid Muttaqin, santri alumni Pondok
Pesantren Al-Muayyad Surakarta, kini aktif sebagai Penghulu di lingkungan
Kantor Kementerian Agama Kota Tegal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar