Mengapa Allah Menciptakan
Manusia sehingga Harus Sengsara?
Mengapa Allah menciptakan manusia padahal
manusia tidak pernah meminta untuk diciptakan? Mengapa manusia harus tercipta
sehingga menanggung berbagai penderitaan dalam hidup? Bukankah lebih baik
manusia tak tercipta sehingga tak harus merasakan kesengsaraan?
Pertanyaan semacam ini kerap muncul di benak
sebagian orang yang mengalami berbagai kesulitan dalam hidup. Meskipun
pertanyaan ini sederhana tapi akan memerlukan jawaban yang agak panjang. Kali
ini kita akan membahas pertanyaan semacam ini secara agak detail dengan
berpedoman pada firman Allah sendiri dan sabda Rasulullah Muhammad ﷺ.
Sebagai pendahuluan, harus diketahui bahwa
sebenarnya dalam Al-Qur’an kita diajari untuk tidak menanyakan tentang
perbuatan Allah kenapa begini dan kenapa begitu, tetapi harusnya kita sibuk
mempertanyakan tindakan kita sendiri, apakah sudah tepat atau belum. Allah
berfirman:
لَا
يُسْأَلُ عَمَّا يَفْعَلُ وَهُمْ يُسْأَلُونَ
“Allah tak bisa ditanya tentang apa yang
diperbuatnya, merekalah yang dimintai pertanggungjawaban.” (QS. Al-Anbiya’: 23)
Tindakan Allah sebagai Tuhan yang memiliki
semesta alam adalah mutlak dan tak perlu persetujuan siapa pun. Bila mau dibuat
perbandingan, kita sebagai manusia terbiasa memelihara hewan ternak,
mengembangbiakkannya lalu menyembelihnya sebagai makanan tanpa merasa bersalah
sedikit pun sebab merasa berhak melakukannya. Padahal, kuasa kita pada hewan
ternak itu amatlah sedikit sebab bukan kita yang memberi dan menjamin kehidupan
hewan itu tetapi semuanya dilakukan hanya oleh Allah. Namun anehnya manusia
kerap kali merasa begitu spesial sehingga seolah Tuhan sekalipun harus meminta
persetujuannya padahal dirinya sendiri adalah seutuhnya mutlak milik Tuhan
sehingga Tuhan berhak melakukan apa pun terhadap dirinya.
Kekuasaan mutlak Allah untuk melakukan apa
pun sesuai kehendak-Nya disebutkan dalam Al-Qur’an berkali-kali dengan berbagai
redaksi. Salah satunya adalah sebagai berikut:
إِنَّ
رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
“Sesungguhnya Tuhanmu Maha-Melakukan apa yang
Ia kehendaki.” (QS Hud: 107)
Kekuasaan Allah untuk melakukan apa pun tanpa
meminta persetujuan siapa pun dan tak bisa ditentang siapa pun adalah bukti
kesempurnaan-Nya. Bila Allah masih bisa dimintai pertanggung-jawaban, masih
bisa ditanya kenapa dan mengapa, masih butuh persetujuan pihak lain atau perlu
bermusyawarah tentang apa yang perlu dilakukan dan apa yang tidak, maka itu
berarti Allah tak sempurna dan karena itu bukan Tuhan. Ketuhanan Allah yang tak
diragukan lagi dan Kemahasempurnaan yang dimiliki-Nya menjamin Allah bebas dari
semua itu dan bebas melakukan apa pun.
Karena itulah, ayat-ayat yang berbicara
mengenai penciptaan hampir selalu diikuti dengan pernyataan “apa yang
dikehendaki Allah” sebagai isyarat kebebasan kehendak Allah. Perhatikan ayat-ayat
berikut:
وَرَبُّكَ
يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَيَخْتَارُ مَا كَانَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ سُبْحَانَ اللَّهِ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia
kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. Maha-Suci Allah
dan Maha-Tinggi dari apa yang mereka persekutukan (dengan Dia)." (QS.
Al-Qashash: 68)
اللَّهُ
الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِنْ بَعْدِ ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ
جَعَلَ مِنْ بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفًا وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ
الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang menciptakan kamu dari
keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah keadaan lemah itu menjadi
kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan
beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang
Maha-Mengetahui lagi Maha-Kuasa.” (QS. Ar-Rum: 54).
Penjelasan tentang kebebasan Tuhan untuk
melakukan apa pun yang Ia kehendaki di atas adalah kaidah pokok dalam
pembahasan perbuatan Allah. Kebebasan mutlak ini dikenal sebagai sifat irâdah
yang merupakan salah satu dari sekian banyak sifat yang pasti dimiliki oleh
sosok Tuhan yang benar. Keberadaan sifat irâdah ini berkonsekuensi pada
peniadaan adanya keharusan, larangan, dan intervensi apa pun terhadap tindakan
Tuhan sehingga tindakan-Nya tak bisa ditanya mengapa?
Namun demikian, kita beruntung sebab ternyata
Allah mau memberikan informasi tentang tujuan penciptaan manusia agar
pertanyaan di benak kita hilang. Tujuan tersebut adalah:
1.
Sebagai pengurus (khalifah) bagi planet bumi, sebagaimana dinyatakan dalam
firman Allah:
وَإِذْ
قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّى جَاعِلٌۭ فِى ٱلْأَرْضِ خَلِيفَةًۭ
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman
kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah
di muka bumi". (QS. Al-Baqarah: 30)
2.
Untuk menyembah Allah sebagaimana dalam firman Allah:
وَمَا
خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Al-Dzariyat: 56)
Mengomentari ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir
menjelaskan tafsir ayat itu adalah:
إِنَّمَا
خَلَقْتُهُمْ لِآمُرَهُمْ بِعِبَادَتِي، لَا لِاحْتِيَاجِي إِلَيْهِمْ ... وَمَعْنَى الْآيَةِ: أَنَّهُ تَعَالَى خَلَقَ الْعِبَادَ
لِيَعْبُدُوهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، فَمَنْ أَطَاعَهُ جَازَاهُ أَتَمَّ
الْجَزَاءِ، وَمِنْ عَصَاهُ عَذَّبَهُ أَشَدَّ الْعَذَابِ
“Sesungguhnya Aku menciptakan mereka hanyalah
supaya Aku memerintah mereka menyembahku, bukan karena Aku butuh terhadap
mereka. ... Makna ayat itu adalah bahwa Allah menciptakan manusia supaya
menyembah Dia saja, tak menyekutukan dengan yang lain. Siapa yang taat pada
Allah, maka Allah akan membalasnya dengan balasan yang sempurna. Siapa yang
bermaksiat pada-Nya, Allah akan menyiksanya dengan parah.” (Ibnu Katsir, Tafsîr
Ibnu Katsîr, VII, 425)
3.
Supaya manusia tahu kemahakuasaan Allah, sebagaimana firman Allah:
اللَّهُ
الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَمِنَ الْأَرْضِ مِثْلَهُنَّ يَتَنَزَّلُ
الْأَمْرُ بَيْنَهُنَّ لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan
seperti itu pula bumi. Perintah Allah berlaku padanya, agar kamu mengetahui
bahwasanya Allah Maha-Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah
ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu. (QS at-Thalaq: 12)
4.
Sebagai bukti kelayakan untuk ditempatkan di tempat mana di akhirat. Akhirat
mempunyai dua tempat yang bertolak belakang, yakni surga dan neraka. Allah bisa
saja langsung menciptakan manusia untuk seketika ditempatkan di keduanya tanpa
alasan apa pun, tetapi Allah tak melakukannya. Allah memilih membuat manusia
hidup di dunia terlebih dahulu untuk melihat sendiri amal perbuatannya sehingga
layak di tempat mana. Allah berfirman:
وَلِلَّهِ
مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ لِيَجْزِيَ الَّذِينَ أَسَاءُوا بِمَا
عَمِلُوا وَيَجْزِيَ الَّذِينَ أَحْسَنُوا بِالْحُسْنَى
“Kepunyaan Allah-lah apa yang ada di langit
dan bumi, agar Ia membalas orang-orang yang berbuat buruk sebab apa yang mereka
kerjakan dan membalas orang-orang yang berbuat baik dengan kebaikan.” (QS.
An-Najm: 31)
Dari kemenangan dan kesabaran menghadapi berbagai
kesusahan itulah kita dapat membuktikan “kelayakan” kita untuk menjadi penghuni
surga. Meskipun sebenarnya amal perbuatan manusia tak cukup untuk menebus surga
yang begitu sempurna, namun kemurahan Allah membuat kita tahu bahwa melakukan
amal kebaikan, bersyukur terhadap nikmat dan bersabar terhadap musibah adalah
hal yang dapat membuat kita mendapat balasan surga.
Itulah di antara alasan yang dinyatakan
secara eksplisit dari Al-Qur’an tentang kenapa Allah menciptakan manusia. Dari
informasi itu, kita jadi tahu tujuan hidup di dunia ini untuk apa dan
seharusnya kita fokus untuk memenuhinya dan tak ada opsi lain bagi
manusia.
Adapun segala kesusahan dan kesulitan yang
menimpa manusia sebagai konsekuensi dari hidup, itu tak lepas dari hikmah yang
besar. Setiap sakit, bahkan sekecil apa pun, akan diganti dengan pengampunan
dosa dan pahala. Rasulullah bersabda:
مَا
يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ
أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا
مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidaklah seorang muslim tertimpa suatu
penyakit dan keletihan, kehawatiran dan kesedihan, dan tidak juga gangguan dan
kesusahan bahkan duri yang melukainya melainkan Allah akan menghapus
kesalahan-kesalahannya." (HR. Bukhari)
مَا
مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى مِنْ مَرَضٍ، فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللهُ
بِهِ سَيِّئَاتِهِ، كَمَا تَحُطُّ الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
“Tak seorang pun muslim yang tertimpa
kesusahan berupa sakit atau lainnya, kecuali Allah menggugurkan kesalahannya
sebab hal itu seperti halnya pohon yang menggugurkan daunnya.” (HR Muslim)
Dengan demikian kita tahu bahwa segala yang
terjadi pada diri seorang muslim itu sejatinya adalah jalan baginya menuju
surga. Susah dan bahagia seluruhnya dapat menjadi sebab mendapat surga bila ia
tahu caranya. Rasulullah bersabda:
عَجَبًا
لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ
إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ،
وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ، صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh mengagumkan perkara seorang mukmin
bahwa segala situasinya adalah kebaikan baginya. Itu tak terjadi kecuali bagi
seorang mukmin. Bila ia mendapat kebahagiaan, ia bersyukur sehingga menjadi
kebaikan baginya. Bila ia mendapat kesusahan, ia bersabar sehingga menjadi
kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Dengan menyadari kenyataan ini, maka
bersyukurlah kita sudah tercipta di dunia. Bila kita tak tercipta, maka tak
mungkin kita mendapat potensi untuk kekal di surga. Bertahun-tahun kesengsaraan
di dunia tak ada apa-apanya bila itu diganjar dengan sebuah kebahagiaan yang
abadi.
Semoga ulasan ini bermanfaat. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar