Meluruskan
Makna Jihad (24)
Demaskulinisasi
Wajah Agama
Oleh:
Nasaruddin Umar
Ada yang
mengatakan agama bagaikan nuklir. Ia bisa memberi manfaat yang luar biasa
kepada manusia, tetapi pada saat bersamaan bisa menjadi ancaman bagi manusia.
Saya lebih suka mengibaratkan agama sebagai sebuah mata uang yang memiliki dua
sisi yang berbeda, yaitu wajah maskulin dan wajah feminin. Wajah agama seperti
ini mengikuti "wajah" Tuhan yang juga memiliki dua wajah, oleh kaum
spiritual disebut dengan wajah ketegaran (Jalaliyyah/Yang)
dan wajah kelembutan (Jamaliyyah/Yin).
Tidak
heran jika umat beragama juga menampilkan dua wajah, yaitu wajah keras dan
wajah lembut. Idealnya kedua komponen ini sama dan sebangun. Dalam Islam,
keutuhan kedua komponen ini ditampilkan oleh Nabi Muhammad, yang dilukiskan di
dalam Al-Quran: Asyidda'
'ala al-kuffari ruhamaau
bainahum (Bersikap tegas terhadap kaum kafir dan bersikap lembut
terhadap orang seisi dengannya).
Dualitas
wajah agama sesungguhnya merupakan turunan dari dualitas kualitas Ilahi yang
memiliki kualitas feminin dan maskulin. Dualitas ini mempunyai makna yang
sangat mendasar dalam dunia kemanusiaan. Seseorang tidak boleh sembrono di
dalam menjalani kehidupannya, karena meskipun Tuhan Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, tetapi dalam kualitas-Nya yang lain Tuhan juga Maha Pemaksa (al-Qahhar) dan Maha
Pendendam (al-Muntaqim).
Wajah dan
kualitas maskulin dan feminin pada diri Tuhan ternyata juga ikut menghiasi
kualitas manusia. Secara personal manusia memiliki dualitas di dalam dirinya,
paralel dengan dua wajah Tuhan dan dua wajah agama tadi. Manusia memiliki
kualitas kejantanan dan ketegaran (masculinnity/struggeling)
dan kualitas kelembutan dan kepengasihan (femininity/nurturing).
Di dalam
nama-nama indah Allah yang dikenal dengan al-Asma'
al-Husna yang berjumlah 99, dapat dikategorikan ke dalam dua
kategori, yaitu Jalaliyyah
dan Jamaliyyah. Hanya
saja nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang diperkenalkan dalam Al-Quran lebih
menonjolkan sifat-sifat Jamaliyyah.
Tuhan bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin ("The Father of God"),
tetapi juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin ("The Mother of God").
Suatu
masyarakat fikih oriented
seperti sering diatributkan kepada umat Islam Indonesia, sifat-sifat
maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Maha Besar (al-Kabir), Maha Perkasa (al-'Aziz), dan Maha
Pembalas/Pendendam (al-Muntaqim),
bukannya menonjolkan sifat-sifat feminitas-Nya, seperti Tuhan Maha Penyayang (al-Rahman), Maha Lembut (al-Lathif), dan Maha
Pema'af (al-'Afuw),
sehingga Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti dari pada dicintai.
Efek
psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan
identifikasi diri dengan "The
Father of God", yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan struggeling, bukannya
dengan "The Mother of
God", yang mengambil ciri berserah diri, kasih, dekat, dan nurturing. Idealnya,
komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia,
sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam Diri Tuhan,
seperti tercermin di dalam al-asmaul
husna.
Memang
idealnya manusia yang memiliki kapasitas sebagai hamba dan khalifah mengadopsi
kedua kualitas tersebut secara proporsional. Sebagai hamba manusia tidak
sepantasnya merasa dan menonjolkan sifat-sifat maskulin dan kejantanan di
hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia harus menonjolkan sikap feminin dan
kelembutan di hadapan Tuhan.
Sebagai
khalifah, manusia tentu harus memiliki sikap maskulin dan ketegaran. Sebab
bagaimana manusia bisa sukses mengelola alam semesta tanpa ketegaran.
Dosis
penampilan kualitas maskulin tidak pernah boleh meninggalkan kualitas feminin,
sebagaimana Tuhan sendiri mencontohkannya. Dalam Q.S. al-Fatihah, Tuhan sebagai
pribadi adalah Maha Pengasih dan Penyayang (Bi
ism Allah al-rahman al-rahim) dan kapasitas diri-Nya sebagai Tuhan
juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Rab
al-'alamin, al-rahman
al-rahim). Karena itu, kita harus mencontoh sifat dan karakter
Tuhan tersebut. []
DETIK, 04
Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar