Senin, 17 Februari 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (24): Demaskulinisasi Wajah Agama


Meluruskan Makna Jihad (24)
Demaskulinisasi Wajah Agama
Oleh: Nasaruddin Umar

Ada yang mengatakan agama bagaikan nuklir. Ia bisa memberi manfaat yang luar biasa kepada manusia, tetapi pada saat bersamaan bisa menjadi ancaman bagi manusia. Saya lebih suka mengibaratkan agama sebagai sebuah mata uang yang memiliki dua sisi yang berbeda, yaitu wajah maskulin dan wajah feminin. Wajah agama seperti ini mengikuti "wajah" Tuhan yang juga memiliki dua wajah, oleh kaum spiritual disebut dengan wajah ketegaran (Jalaliyyah/Yang) dan wajah kelembutan (Jamaliyyah/Yin).

Tidak heran jika umat beragama juga menampilkan dua wajah, yaitu wajah keras dan wajah lembut. Idealnya kedua komponen ini sama dan sebangun. Dalam Islam, keutuhan kedua komponen ini ditampilkan oleh Nabi Muhammad, yang dilukiskan di dalam Al-Quran: Asyidda' 'ala al-kuffari ruhamaau bainahum (Bersikap tegas terhadap kaum kafir dan bersikap lembut terhadap orang seisi dengannya).

Dualitas wajah agama sesungguhnya merupakan turunan dari dualitas kualitas Ilahi yang memiliki kualitas feminin dan maskulin. Dualitas ini mempunyai makna yang sangat mendasar dalam dunia kemanusiaan. Seseorang tidak boleh sembrono di dalam menjalani kehidupannya, karena meskipun Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tetapi dalam kualitas-Nya yang lain Tuhan juga Maha Pemaksa (al-Qahhar) dan Maha Pendendam (al-Muntaqim).

Wajah dan kualitas maskulin dan feminin pada diri Tuhan ternyata juga ikut menghiasi kualitas manusia. Secara personal manusia memiliki dualitas di dalam dirinya, paralel dengan dua wajah Tuhan dan dua wajah agama tadi. Manusia memiliki kualitas kejantanan dan ketegaran (masculinnity/struggeling) dan kualitas kelembutan dan kepengasihan (femininity/nurturing).

Di dalam nama-nama indah Allah yang dikenal dengan al-Asma' al-Husna yang berjumlah 99, dapat dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu Jalaliyyah dan Jamaliyyah. Hanya saja nama-nama dan sifat-sifat Tuhan yang diperkenalkan dalam Al-Quran lebih menonjolkan sifat-sifat Jamaliyyah. Tuhan bukan hanya memiliki sifat-sifat maskulin ("The Father of God"), tetapi juga memiliki, bahkan lebih dominan dengan sifat-sifat feminin ("The Mother of God").

Suatu masyarakat fikih oriented seperti sering diatributkan kepada umat Islam Indonesia, sifat-sifat maskulinitas Tuhan lebih ditonjolkan, seperti Tuhan Maha Besar (al-Kabir), Maha Perkasa (al-'Aziz), dan Maha Pembalas/Pendendam (al-Muntaqim), bukannya menonjolkan sifat-sifat feminitas-Nya, seperti Tuhan Maha Penyayang (al-Rahman), Maha Lembut (al-Lathif), dan Maha Pema'af (al-'Afuw), sehingga Tuhan lebih menonjol untuk ditakuti dari pada dicintai.

Efek psikologis yang muncul karenanya, manusia menyembah dan sekaligus mengidealkan identifikasi diri dengan "The Father of God", yang mengambil ciri dominan, kuasa, jauh, dan struggeling, bukannya dengan "The Mother of God", yang mengambil ciri berserah diri, kasih, dekat, dan nurturing. Idealnya, komposisi kualitas maskulin dan feminin menyatu di dalam diri manusia, sebagaimana halnya keutuhan kedua kualitas itu menyatu di dalam Diri Tuhan, seperti tercermin di dalam al-asmaul husna.

Memang idealnya manusia yang memiliki kapasitas sebagai hamba dan khalifah mengadopsi kedua kualitas tersebut secara proporsional. Sebagai hamba manusia tidak sepantasnya merasa dan menonjolkan sifat-sifat maskulin dan kejantanan di hadapan Tuhan Yang Maha Kuasa. Manusia harus menonjolkan sikap feminin dan kelembutan di hadapan Tuhan.

Sebagai khalifah, manusia tentu harus memiliki sikap maskulin dan ketegaran. Sebab bagaimana manusia bisa sukses mengelola alam semesta tanpa ketegaran.

Dosis penampilan kualitas maskulin tidak pernah boleh meninggalkan kualitas feminin, sebagaimana Tuhan sendiri mencontohkannya. Dalam Q.S. al-Fatihah, Tuhan sebagai pribadi adalah Maha Pengasih dan Penyayang (Bi ism Allah al-rahman al-rahim) dan kapasitas diri-Nya sebagai Tuhan juga Maha Pengasih dan Maha Penyayang (Rab al-'alamin, al-rahman al-rahim). Karena itu, kita harus mencontoh sifat dan karakter Tuhan tersebut. []

DETIK, 04 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar