Pernah Keluar dari Surga,
Bagaimana soal Kemaksuman Nabi Adam?
Dalam kitab ‘Ishmah al-Anbiyâ’, terdapat
pembahasan menarik soal kemaksuman para nabi. Imam Fakhruddin al-Razi (544-606
H) mengumpulkan berbagai pendapat yang ia sebut “syubhat”, karena mempertanyakan
kemaksuman para nabi, terkhusus Nabi Adam ‘alaihissalam. Salah satu kelompok
yang berpendapat demikian adalah sebagian kecil dari sekte Khawarij dan
Rafidah. Imam Fakhruddin al-Razi menulis:
واجتمعت
الأمة علي أن الأنبياء معصومون عن الكفر والبدعة إلا الفُضَيْلية من الخوارج فإنهم
يجوزون الكفر علي الأنبياء عليهم الصلاة والسلام, وذلك لأن عندهم يجوز صدور الذنوب
عنهم, وكل ذنب فهو كفر عندهم, فبهذا الطريق جوزوا صدور الكفر عنهم, والروافض فإنهم
يجوزون عليهم إظهار كلمة الكفر علي سبيل التقية
“Umat Islam telah sepakat bahwa para nabi
terjaga dari kekufuran dan bid’ah kecuali kelompok kecil dari Khawarij. Mereka
berpendapat para nabi bisa saja melakukan kekufuran, (alasan pendapat) tersebut
adalah, karena para nabi dapat melakukan dosa. Bagi kelompok ini, setiap dosa
adalah kekufuran. Dengan cara berpikir (semacam ini), maka kekufuran bisa
terjadi pada para nabi, sementara kelompok Rafidah berpendapat bahwa para nabi
boleh menampakkan ucapan kekufuran dalam rangka taqiyah.” (Imam Fakhruddin
al-Razi, ‘Ishmah al-Anbiyâ’, Kairo: Maktabah al-Tsaqafah al-Diniyyah, 1986, h.
39)
Dua kelompok di atas ini sekadar contoh saja.
Sebenarnya banyak kelompok lain yang memiliki pendapat sama meski dalam
kerangka berbeda. Fokus pembahasan kali ini hanya pada kemaksuman Nabi Adam
agar tidak melebar terlalu jauh. Perihal kemaksuman Nabi Adam, penentangan
mereka berdasarkan enam aspek sebagai landasan argumentasinya. Pertama, Adam
adalah orang yang durhaka berdasarkan firman Allah (QS. Thâhâ: 121): “wa ‘ashâ
adamu rabbahu faghawâ—dan durhakalah Adam kepada Tuhannya dan sesatlah ia.”
Kedua, “annahu tâ’ib wal tâ’ib mudznib—Adam bertaubat, dan orang yang bertaubat
adalah pendosa,” sebagaimana firman Allah (QS. Thâhâ: 121): “Kemudian Tuhannya
memilihnya maka Dia menerima taubatnya dan memberinya petunjuk.” (Imam
Fakhruddin al-Razi, ‘Ishmah al-Anbiyâ’, 1986, h. 49)
Ketiga, “annahu irtikabal manhâ ‘anhu—Adam
telah melanggar larangan,” sebagaimana firman Allah (QS. Al-A’raf: 22):
“Bukankah telah kularang kamu berdua dari pohon kayu itu.” Keempat, “annahu
ta’âlâ sammâhu dhâliman—Allah menamakan Adam sebagai orang zalim,” dalam
firman-Nya (QS. Al-Baqarah: 35): “Yang menyebabkanmu termasuk golongan
orang-orang yang zalim.” Kelima, “annahu i’tarafa bi annahu lawlâ
maghfiratullah ta’âlâ lahu lakâna khâsiran—Adam mengakui jika bukan karena
ampunan Allah untuknya, ia termasuk orang yang merugi,” dalam firmanNya (QS.
Al-A’raf: 23): “Dan jika Kau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada
kami, pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” Keenam, “annahu akhraja
minal jannah bi sababi waswasatis syaitân—Adam dikeluarkan dari surga karena
mengikuti bisikan syaitan.” (Imam Fakhruddin al-Razi, ‘Ishmah al-Anbiyâ’, 1986,
h. 49-50)
Menanggapi pendapat-pendapa di atas, Imam
Fakruddin al-Razi mengatakan, “anna dzalika kâna qablan nubuwwah, falâ yakûnu
wâridan ‘alaina—sesungguhnya semua rangkain tersebut terjadi sebelum masa
kenabian, maka tidak bisa diterapkan pada kita semua.” (Imam Fakruddin al-Razi,
‘Ishmah al-Anbiyâ’, 1986, h. 50). Karena Nabi Adam adalah manusia pertama yang
beriman kepada Allah secara langsung, sehingga belum mempunyai objek dakwahnya
sebagai nabi. Jadi, menurut Imam Fakhruddin al-Razi, enam argumentasi di atas
tidak bisa diterapkan atau dijadikan dalil untuk mempertanyakan konsep
kemaksuman, terkhusus kemaksuman Nabi Adam.
Meski demikian, menggunakan standar logika
yang sama, ia mengurai satu persatu enam argumentasi tersebut. Secara singkat
dapat dirangkum sebagai berikut:
Pertama, mereka berkata, “al-ma’shiyyah
mukhâlafatul amr—kemaksiatan adalah menyalahi perintah,” tapi “amr” (perintah)
tidak melulu berarti kewajiban, bisa jadi sekadar sunnah atau anjuran. Karena
itu, menurutnya, kedurhakaan tidak bisa disandangkan kepada Nabi Adam, sebab
dalam skema logika ini, Nabi Adam hanya meninggalkan anjuran, bukan kewajiban.
Kedua, mereka berkata, “annahu tâ’ib—Adam melakukan taubat.” Harus dipahami
bahwa taubat tidak disyaratkan harus berdosa terelebih dahulu, bahkan bagi
ulama yang meyakini kemaksuman secara mutlak, bahwa sebaik-baiknya taubat
dilakukan tanpa harus berdosa terlebih dahulu. Dalilnya adalah riwayat doa,
“allahummaj’alnâ minat tawwâbîn—ya Allah jadikanlah kami orang-orang yang
bertaubat.” (Imam Fakhruddin al-Razi, ‘Ishmah al-Anbiyâ’, 1986, h. 50-52).
Ketiga, mereka berkata, “fahuwa irtikâb
al-manhâ—Adam melanggar larangan.” Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa
larangan tidak hanya mengarah pada pengharaman saja, tapi juga “musytarak
bainat tahrîm wat tanzîh—gabungan antara pengharaman dan pensucian.” Artinya,
sisi meninggalkan (melakukan sesuatu) lebih diberatkan dari mengerjakan
sesuatu. Imam al-Razi menerima bahwa larangan lebih sering mengarah pada
pengharaman. Hanya saja, jika menggunakan dasar logika mereka, bisa saja
dikatakan Nabi Adam melakukannya dalam keadaan lupa, sebagaimana firman Allah
(QS. Thâhâ: 115: “’azman lahû najid wa lam fanasiya—maka ia lupa (akan perintah
itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat.” Karena itu, ia tidak
berdosa karena taklif (beban agama) diangkat dari orang yang lupa. (Imam
Fakhruddin al-Razi, ‘Ishmah al-Anbiyâ’, 1986, h. 52).
Keempat, mereka mengatakan, “annallaha ta’âlâ
sammâhu dhâliman—Allah ta’ala menyebutnya sebagai orang zalim.” Dalam pandangan
orang-orang yang memegang teguh kemaksuman para nabi, zalim tidak melulu orang
yang melakukan dosa. Bagi mereka, “anna tarkal awlâ dhulmun—meninggalkan
perbuatan yang utama adalah zalim.” Karena ia telah menyampingkan dirinya
sendiri dari melakukan perbuatan utama yang mendatangkan pahala. Orang
tersebut, menurut mereka, laik disebut orang yang zalim terhadap dirinya
sendiri. Sebab, menurut mereka, “li anna haqîqatal dhulmi wadl’usy syai’ fî
ghairi maudli’ihi—hakikat zalim adalah menempatkan sesuatu bukan pada
tempatnya.” (Imam Fakruddin al-Razi, ‘Ishmah al-Anbiyâ’, 1986, h. 53).
Kelima, jawabannya sudah tergambar dari
rangkain jawaban sebelumnya, terutama soal meninggalkan perbuatan yang utama.
Keenam, jawaban argumentasi ini tidak ada dalam ayat (annahu laisa fîl âyah),
kata Imam al-Razi. Baginya, keluarnya Adam dari surga bukan karena mengikuti
bisikan setan, tapi keberaniannya melakukan perbuatan tersebut. Ia mendasarkan
argumentasinya pada rencana Allah menciptakan khalifah di muka bumi sebelum
menciptakan Adam. Jika tujuan utama penciptaan Adam adalah menjadi khalifah di
muka bumi, bagaimana bisa ada orang yang mengatakan, “innahu waqa’a dzalika
‘uqubah was tikhfâfan—keluarnya Adam sebagai bentuk realisasi hukuman dan
peremehan(nya atas ketetapan Allah).” (Imam Fakhruddin al-Razi, ‘Ishmah
al-Anbiyâ’, 1986, h. 53-54).
Itulah sebagian uraian singkat perihal
kemaksuman Nabi Adam. Sebenarnya masih banyak argumentasi yang diajukan
kelompok penentang kemaksuman, dan banyak juga uraian yang diberikan Imam
Fakhruddin al-Razi. Yang ditampilkan di sini sekadar rangkuman singkat yang
mengambil garis lurusnya saja. Karena pada dasarnya, inti dari bantahan Imam
Fakhruddin al-Razi terletak pada pernyataan awalnya, bahwa semua rangkaian
perbuatan Nabi Adam terjadi sebelum adanya masa kenabian, sehingga enam
argumentasi tersebut tidak bisa diterapkan padanya. Di samping itu, Adam bukan
rasul pertama yang diutus Allah untuk umat manusia. Dalam salah satu riwayat
(HR. Imam al-Bukhari) diceritakan, ketika orang-orang mukmin berkumpul pada
hari kiamat, mereka mendatangi Adam dan meminta syafaatnya. Adam menjawab bahwa
ia tidak berhak memberikan syafaat karena telah melakukan kesalahan, kemudian
ia berkata:
وَلَكِنِ
ائْتُوا نُوحًا، فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُولٍ بَعَثَهُ اللَّهُ إِلَى أَهْلِ
الأَرْضِ
“Tetapi datanglah pada Nuh, karena
sesungguhnya dia adalah rasul pertama yang diutus Allah kepada penduduk bumi.”
(HR. Imam al-Bukhari dan Imam Muslim)
Meski demikian, Imam Fakhruddin al-Razi tetap
mengurai satu persatu dari enam argumentasi tersebut, dengan menggunakan
pendekatan yang kurang lebih sama dengan mereka. Paling tidak, uraiannya dapat
memberikan gambaran singkat dari sudut pandang yang lain.
Selain itu, jika poin enam dari uraian Imam
al-Razi diperlebar, keluarnya Adam dari surga memang sudah ditetapkan, karena
Allah ingin menempatkan khalifah-Nya di muka bumi. Jika Adam tetap di surga, ia
tidak bertemu dengan maksud penciptaannya. Menurut Syekh Ahmad Sam’ani dalam
Rauh al-Arwâh fi Syarh Asmâ’ al-Mulk al-Fattâh, Adam diturunkan dari surga bukan
karena kesalahannya. Andaipun ia tidak berbuat salah, ia tetap akan
diturunkan.
Artinya, bisa jadi seluruh rangkain kejadian
tersebut adalah pertunjukan keteladanan sebagai percontohan agar manusia
menjadi makhluk yang baik (khalifatullah fil ardl). Keteladanan membutuhkan
contoh, dan sudah sepantasnya manusia pertama memberikan contohnya. Sepanjang
hidupnya, bisa dikatakan, ia telah mengalami segalanya. Bercengkerama langsung
dengan Tuhannya; mendapatkan pelajaran dari-Nya; menikmati keindahan surga-Nya;
merasai cinta kepada sesamanya (Hawa); mendapatkan kehormatan dari makhluk
lainnya (disujudi); ditentang makhluk lainnya (Iblis); mengalami cinta pada
Tuhannya; mengalami rasa bersalah pada Tuhannya (memohon ampun); menggoda
istrinya; tergoda oleh selainnya; terlempar dari surga; merasakan nikmatnya
diampuni; merasakan perpisahan panjang dari kekasihnya; memiliki anak yang baik
sekaligus yang buruk; mengalami kematian anaknya; berhadapan dengan anaknya
yang saling membunuh; dan seterusnya. Seakan-akan, kehidupan Adam adalah
gambaran dari berbagai keadaan yang akan dialami manusia, dan berbagai watak
yang melingkupinya.
Wallahu a’lam bish shawwab. []
Muhammad Afiq Zahara, alumni Pondok
Pesasntren Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar