Diskusi Imam Syafi’i dan
Sufyan ats-Tsauri soal Kulit Binatang
Jika belajar kitab-kitab fiqih mazhab Imam
Syafi’i, kita akan mendapatkan pembahasan yang berkaitan tentang kebolehan
menyamak kulit hewan kecuali anjing dan babi atau yang lahir dari salah satu
dari keduanya, sebagaimana yang tercantum dalam kitab Fathul Qarîb al-Mujîb fî
Syarh Alfâdhit Taqrîb:
(وجلود الميتة) كلها (تطهُر بالدباغ) سواء في ذلك ميتة مأكول اللحم
وغيره
Artinya: “Semua kulit bangkai dapat suci
dengan proses penyamakan, entah dari hewan yang boleh dimakan dagingnya maupun
yang tidak. (Syekh Muhammad bin Qasim, Fathul Qarîb al-Mujîb fî Syarh Alfâdhit
Taqrîb, Beirut, Daar Ibn Hazm, 2005, halaman 28)
Pembahasan ini cukup masyhur dalam mazhab
Imam Syafi’i karena letak pembahasannya pun di awal, yaitu dalam bab bersuci
(thaharah). Namun, meski demikian, ternyata pada awalnya Imam Syafi’i adalah
salah satu ulama yang berpendapat tidak dibolehkannya menyamak kulit hewan.
Konon beliau pernah berdiskusi dengan imam Sufyan ats-Tsauri tentang masalah
ini.
Kitab Syarh al-Yâqût an-Nafîs karya Muhammad
bin Ahmad bin Umar Asy-Syathiri , Jedah, Darul Minhaj, 2007, halaman 63) pernah
memaparkan kisah tentang perbedaan argumentasi yang terjadi di antara dua ulama
besar tersebut.
Semula Imam Syafi’i berpendapat bahwa kulit
hewan tidak bisa disucikan meskipun disamak. Beliau menggunakan dalil pada
surat yang dikirimkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Juhaimah:
إنِّي
كُنْتُ رَخَّصْتُ لَكُمْ فِي جُلُودِ الْمَيْتَةِ فَإِذَا جَاءَكُمْ كِتَابِي
هَذَا فَلَا تَنْتَفِعُوا مِنَ الْمَيْتَةِ بِإِهَابٍ وَلَاعَصَبٍ
Artinya: “Sesunguhnya aku telah memberi
kemudahan kepada kamu dalam hal kulit bangkai, maka apabila surat ini sampai
kepadamu maka jangan kamu ambil manfaat dari kulit bangkai, baik dengan disamak
atau dengan membalut .” (Mu'jam al-Ausath)
Sedangkan Imam Sufyan ats-Tsauri berpendapat
bahwa kulit bangkai bisa disucikan dengan cara disamak. Dalil yang beliau
gunakan sebagai dasar pendapat tersebut adalah hadits Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ وَجَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاةً مَيِّتَةً أُعْطِيَتْهَا مَوْلَاةٌ لِمَيْمُونَةَ مِنْ
الصَّدَقَةِ فَقَالَ النَّبِيّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَلَّا
انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا قَالُوا إِنَّهَا مَيْتَةٌ قَالَ إِنَّمَا حَرُمَ
أَكْلُهَا
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh
ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menemukan bangkai domba yang
diberikan kepada bekas budaknya Maimunah sebagai sedekah. Lalu Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda, ‘Kenapa kulitnya tidak engkau manfaatkan?’ Mereka
berkata: Itu bangkai, wahai Rasulullah. Beliau menjawab: “Sesungguhnya yang
haram itu hanya memakannya.” (Shahihul Bukhari)
Adapun kesimpulan dari diskusi kedua imam
fiqih itu adalah masing-masing dari mereka mencabut statemennya. Kemudian Imam
Sufyan ats-Tsauri mengikuti pendapat Imam Syafi’i, yaitu tidak ada bagian yang
suci sama sekali dari bangkai hewan, sementara Imam Syafi’i mengikuti pendapat
Imam Sufyan ats-Tsauri yang berpendapat bahwa kulit dapat disucikan dengan cara
disamak.
Dengan demikian, kita dapat melihat kedua
ulama besar ini tidak fanatik terhadap pendapatnya masing-masing. Mereka
menggunakan pendapat teman diskusi untuk menyempurnakan kekurangan pendapat
sendiri. Demikianlah seharusnya orang berdebat: masing-masing berangkat dari
motivasi ingin mencari kebenaran, bukan sekadar pembenaran.
Begitupun pada masa ini, mencari pembenaran
bukanlah suatu hal yang terpuji dalam memegang suatu pendapat, apalagi sampai
memaksakan pendapatnya agar diikuti orang lain, cukup kita tengok tradisi ulama
kita sejak dahulu kala, betapa mereka toleransinya terhadap perbedaan pendapat
dan tidak memonopoli kebenaran secara sepihak saja.Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar