Hukum Mengonsumsi Daging
Buaya
Ketertarikan masyarakat dalam mencoba
berbagai macam kuliner semakin lama tampak semakin meningkat. Banyak dari
mereka yang rela merogoh kocek cukup tinggi hanya untuk mencoba aneka masakan
baru yang jarang ditemui di tempat-tempat makan pada umumnya. Salah satu jenis
masakan yang cukup langka dan hanya dapat ditemui di tempat-tempat tertentu
adalah masakan daging buaya.
Hal yang patut dipertanyakan, apakah daging
buaya memang tergolong sebagai makanan yang halal, sehingga boleh untuk
dimakan? Atau justru tergolong sebagai makanan yang tidak halal, sehingga haram
untuk mengonsumsinya?
Dalam istilah Arab, buaya dikenal dengan nama
timsah. Syekh Kamaluddin ad-Damiri mendeskripsikan hewan ini dengan berbagai
macam sifat yang dijelaskan dalam kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra berikut ini:
التمساح- وهذا الحيوان على صورة الضب وهو من أعجب حيوان الماء ، له
فم واسع وستون ناباً في فكه الأعلى وأربعون في فكه الأسفل ، وبين كل نابين سن
صغيرة مربعة ويدخل بعضها في بعض عند الانطباق . وله لسان طويل ، وظهر كظهر
السلحفاة لا يعمل الحديد فيه ، وله أربع أرجل وذنب طويل
“Timsah (buaya), hewan ini berbentuk seperti
biawak dan tergolong sebagai salah satu hewan menakjubkan yang hidup di air. Ia
memiliki mulut yang lebar dan memiliki 60 gigi taring di rahang atas dan 40
gigi taring di rahang bawah. Di setiap celah di antara dua gigi taringnya
terdapat gigi-gigi kecil berbentuk kotak yang saling masuk satu sama lain
ketika dirapatkan. Ia memiliki lidah yang panjang dan punggung (yang keras)
seperti punggungnya kura-kura yang tak mempan ditusuk besi biasa. Ia memiliki
empat kaki dan ekor yang panjang,” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat
al-Hayawan al-Kubra, juz 1, hal. 237).
Dalam menjelaskan status halal-haramnya
daging buaya ini, Ibnu Ruslan menjelaskan dalam nadzamnya:
وما
بِمِخْلَبٍ ونابٍ يَقْوَى * يَحْرُمُ كالتِّمسَاحِ وابْنِ آوَى
“Hewan yang memiliki kuku (cakar) dan gigi
taring yang kuat, haram (dikonsumsi) seperti buaya dan hewan jakal (anjing
hutan berbulu kuning),” (Ibnu Ruslan, Matan az-Zubad, hal. 43).
Berdasarkan referensi di atas dapat dipahami
bahwa mengonsumsi daging buaya adalah haram dengan alasan berupa adanya gigi
taring yang kuat dalam sosok hewan tersebut. Sebab segala hewan yang memiliki
taring yang kuat maka dihukumi haram untuk dikonsumsi.
Namun demikian, alasan keharaman buaya
rupanya masih menjadi perdebatan di antara ulama. Sebab jika alasan
keharamannya adalah wujudnya gigi yang bertaring kuat dalam hewan tersebut maka
mestinya ikan hiu juga tergolong hewan yang haram untuk dikonsumsi. Padahal
sangat jelas sekali bahwa hewan hiu tergolong sebagai ikan laut yang halal
untuk dikonsumsi. Maka tak heran jika Imam ar-Rafi’i memiliki alasan lain dalam
keharaman buaya, yakni dikarenakan hewan tersebut tergolong sebagai hewan yang
menjijikkan dan membahayakan untuk dikonsumsi. Hal ini seperti dijelaskan dalam
lanjutan referensi di kitab Hayat al-Hayawan al-Kubra di atas:
وحكمه
: تحريم الأكل للعدو
بنابه كذا علله جماعة من الأصحاب . وقال الشيخ محب الدين الطبري ، في شرح التنبيه
: القرش حلال . ثم قال : فإن قلت أليس هو مما يتقوى بنابه . فهو كالتمساح .
والصحيح تحريم التمساح . قلت لا نسلم أن ما يتقوى بنابه من حيوان البحر حرام .
وإنما حرم التمساح كما قال الرافعي في الشرح للخبث والضرر
“Hukum mengonsumsi buaya adalah haram, karena
ia memperkuat diri dengan taringnya, alasan ini merupakan yang disampaikan oleh
sebagian ashab (pengikut Imam Syafi’i). Syekh Muhibbuddin at-Thabari berkata
dalam kitab Syarh at-Tanbih: hiu adalah hewan yang halal (untuk dikonsumsi).
Lalu beliau berkata: jika engkau bertanya ‘Bukankah hiu termasuk hewan yang
mendapatkan kekuatan dari taringnya? Berarti ia seperti buaya, padahal menurut
pendapat yang shahih buaya adalah haram’ maka aku akan menjawab: ‘Aku tidak
menerima kesimpulan bahwa hewan yang menjadi kuat dengan taringnya dari hewan
laut adalah haram, sebab haramnya buaya karena dianggap menjijikkan dan
membahayakan, seperti halnya alasan yang diungkapkan Imam ar-Rafi’i dalam kitab
as-Syarh al-Wajiz,” (Syekh Kamaluddin ad-Damiri, Hayat al-Hayawan
al-Kubra, juz 1, hal. 237).
Sedangkan Imam Ibnu Hajar memiliki alasan
lain mengenai keharaman hewan buaya ini, yakni karena hewan buaya dianggap
mampu untuk hidup di dua alam. Sedangkan hewan yang mampu hidup di dua alam
adalah hewan yang haram untuk dimakan. Dalam kitabnya beliau menjelaskan:
ومنه
القِرْشُ - ولا نظر إلى تقويه بنابه ومن نظر لذلك في تحريم التمساح فقد تساهل
وإنما العلة الصحيحة عيشه في البر
“Termasuk dari bagian ikan laut (yang halal)
adalah ikan hiu. Gigi taring yang dimiliki hiu tidak dipertimbangkan (untuk
dijadikan alasan keharamannya). Ulama yang memandang keharaman buaya dari aspek
tersebut, sungguh ia telah teledor, sebab alasan yang benar tentang keharaman
hewan tersebut adalah kemampuannya untuk hidup di daratan” (Syekh Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 14, hal. 212)
Terlepas dari berbagai perbedaan alasan yang
ada, dapat disimpulkan bahwa mengonsumsi buaya adalah hal yang diharamkan
menurut pandangan mayoritas ulama. Sehingga wajib untuk menghindari mengonsumsi
daging ini. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar