Jumat, 28 Februari 2020

Helmy Faishal Zaini: Menolak Kombatan NIIS


Menolak Kombatan NIIS
Oleh: A Helmy Faishal Zaini 

Riuh perdebatan soal wacana pemulangan kombatan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ke Tanah Air menguras energi kita.

Pertanyaan mendasarnya, apa yang jadi pertimbangan utama dalam menyikapi wacana ini? Jawabannya memang tak mudah, tetapi dengan peranti metodologi berpikir yang jernih dan argumentatif, saya rasa persoalan ini akan bisa dilihat secara jernih. Jika kita berkaca pada sejarah, serangan-serangan yang dilakukan NIIS atau ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) menyebabkan ribuan jiwa meregang nyawa.

Sejak berdiri, NIIS telah meneror tidak kurang dari 33 negara, lebih dari 228 kali melakukan serangan dan telah menewaskan tidak kurang dari 3.000 jiwa. Data ini bisa dijadikan argumen kuat sesungguhnya bibit radikalisme bisa bersemai di mana saja. Dari negeri yang paling fasis sampai negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.

Pada negeri yang terakhir ini, menarik untuk kembali mengungkapkan hasil temuan Jack Snyder (1999), seorang guru besar Universitas Columbia. Ia dalam bukunya yang bertajuk From Voting to violence: Democratization and Nationalist Conflict mengatakan bahwa sejarah demokrasi adalah bentangan sejarah konflik, kekerasan, dan juga radikalisme.

Perang-perang yang merupakan puncak kekerasan di dunia, seperti perang Napoleon (1803-1815), perang Kaisar Wilhem (1914-1918), dan juga perang Adolf Hitler (1939-1945), sebagian besar disebabkan oleh usaha untuk menuju demokratisasi itu sendiri.

Tesis Snyder ini bisa dijadikan landasan kuat bahwa sesungguhnya kekerasan itu bisa bersemai di mana saja, termasuk di negara demokratis sekalipun. Bahkan lebih jauh soal radikalisme ini, Karen Armstrong (2007) dalam the Battle for God mengatakan bahwa radikalisme ada di hampir semua agama.

Di setiap kepercayaan, apa pun itu bentuknya terlebih agama, hampir bisa dipastikan ada barang satu atau dua gerakan yang lebih bersikap fundamentalis yang kemudian gerakannya diekspresikan dengan cara-cara kekerasan (radikalisme).

Bahaya radikalisme teroris

Pada tataran inilah saya ingin memberikan garis demarkasi antara fundamentalisme dan radikalisme yang dalam bahasa agama kerap diistilahkan sebagai ”Syiddah Al-Tanattu”. Dalam hemat saya, fundamentalisme adalah abstraksi pemahaman yang domain wilayahnya ada di pikiran. Sementara itu, radikalisme adalah tindakan turunan yang dilahirkan dari pola pikir fundamentalis itu. Artinya, fundamentalisme itu soal pikiran, sementara radikalisme itu soal tindakan.

Lebih jauh soal radikalisme, Said Aqil Siroj (2014) pernah mengemukakan analisis menarik. Ia berpendapat sesungguhnya radikalisme hari ini telah terfragmentasi menjadi minimal tiga bentuk dan varian.

Pertama, radikalis puritan. Radikalis macam ini lebih menitikberatkan kegiatannya dalam rangka memurnikan ajaran Islam dari tradisi-tradisi yang lokal. Kedua, radikalis sekuler. Radikalis ini banyak mengonsentrasikan gerakannya untuk mengislamkan segala sistem sekuler, seperti demokrasi, sistem politik, dan juga bentuk negara. Terakhir, radikalis teroris yang mengejawantahkan seluruh konsep dan pikiran serta pandangannya dengan cara pemaksaan yang dibungkus dengan kekerasan.
Sesungguhnya jika kita telaah lebih jauh, dua bentuk pertama dari fragmentasi radikalisme itu, kita akan menemukan bahwa gerakan radikalisme hanya berada sebatas pada konsep dan alam pikir pengikutnya semata. Mungkin kedua bentuk itu juga diwujudkan dalam bentuk gerakan, tetapi tak sampai menggunakan kekerasan sebagai alat gerakannya.

Pada kedua bentuk itu kadar serta taraf bahaya radikalisme tak sebesar yang ada pada radikalisme dalam bentuk ketiga, yakni radikalisme teroris yang selalu istikomah menjadikan teror dan kekerasan sebagai pengejawantahan gerakan serta cara untuk menerjemahkan gagasannya. Pada bentuk ketiga inilah, NIIS memanifestasikan gerakannya.

Lebih menyedihkannya, paham terorisme tersebut jika kita cermati dengan teliti, sesungguhnya mereka bisa berkembang dengan sangat cepat justru dengan cara memanfaatkan lahan subur yang bernama kebebasan yang dikenal dalam sistem demokrasi. Kebebasan argumentasi dan juga kebebasan berekspresi yang menjadi salah satu ciri utama demokrasi itulah yang menjadi medan pacu landas serta alasan kemunculan paham radikalisme yang berwujud terorisme tersebut di negara-negara yang menganut paham demokrasi.

Gerakan radikalisme seperti apa pun dan dalam bentuk bagaimanapun tidak pernah dibenarkan oleh agama. Atas dasar itulah, Nahdlatul Ulama (NU) menjadi garda depan yang menolak paham-paham Islam radikalis seperti NIIS berkembang di Indonesia. Apalagi sejak dini kami mengenal diktum hubbul wathon minal iman, cinta Tanah Air adalah sebagian bentuk dari keimanan, maka jelas kami lebih mencintai Indonesia dibandingkan Irak dan Suriah.

Dua pendekatan

Lebih jauh, dalam konteks wacana pemulangan kombatan NIIS, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam melihat persoalan ini. Pertama, pendekatan legal formal dengan peranti undang-undang (UU). Dalam konteks wacana pemulangan kombatan NIIS ini, jika merujuk pada UU No 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan, pada Pasal 23 disebutkan secara eksplisit bahwa ”warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraan jika masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden”.

Konteks Pasal 23 UU No 12 Tahun 2006 ini dalam hemat saya selaras dengan yang sedang kita hadapi bersama hari ini. Jelas bahwa status kewarganegaraan para kombatan tersebut sudah tanggal sejak mereka berbaiat ke NIIS.

Di samping itu, pendekatan kedua, dalam hemat saya, kita bisa menggunakan apa yang disebut sebagai kerangka metodologi berpikir ala pesantren. Pendekatan ini terdiri dari rangkaian dan susunan argumen yang bisa dijadikan alas pikir dan alas landas untuk mengambil keputusan terbaik.
Satu, di dalam Al Quran surat Al-Ahzab Ayat 60 Allah berfirman, ”Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar”.

Titik tekan ayat ini ada pada pengertian dan perintah kepada Nabi Muhammad SAW untuk mengusir mereka yang membuat fitnah, keonaran, dan juga termasuk teror, dari kota Madinah. Dalam Islam, melalui ayat ini, kita dapat mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang berbuat teror dan mengusik tatanan kehidupan.

Dua, kita mengenal kaidah  dar’ul mafsid muqaddamun al jalbil mashlih yang berarti: menolak kerusakan lebih didahulukan dan diutamakan dibandingkan mendatangkan kemaslahatan. Sikap preventif dan kehati-hatian adalah kunci dalam bertindak. Maka, dalam konteks wacana pemulangan kombatan NIIS ini, yang lebih kita dahulukan adalah mencegah datangnya kerusakan atau kemudaratan berupa ancaman dan potensi teror dibandingkan mendatangkan kemaslahatan dengan pertimbangan kemanusiaan.

Dengan kerangka berpikir yang jelas dan juga pendekatan yang komprehensif, saya rasa kita akan bisa lebih jernih melihat persoalan. Kejernihan melihat persoalan akan menjadi modal penting untuk mendasari pengambilan kebijakan. Wallahu a’lam bi showab. []

KOMPAS, 14 Februari 2020
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama/PBNU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar