Menolak Kombatan NIIS
Oleh: A Helmy Faishal Zaini
Riuh perdebatan soal wacana pemulangan kombatan Negara Islam di
Irak dan Suriah (NIIS) ke Tanah Air menguras energi kita.
Pertanyaan mendasarnya, apa yang jadi pertimbangan utama dalam
menyikapi wacana ini? Jawabannya memang tak mudah, tetapi dengan peranti
metodologi berpikir yang jernih dan argumentatif, saya rasa persoalan ini akan
bisa dilihat secara jernih. Jika kita berkaca pada sejarah,
serangan-serangan yang dilakukan NIIS atau ISIS (Islamic State of Iraq and Syria)
menyebabkan ribuan jiwa meregang nyawa.
Sejak berdiri, NIIS telah meneror tidak kurang dari 33 negara,
lebih dari 228 kali melakukan serangan dan telah menewaskan tidak kurang dari
3.000 jiwa. Data ini bisa dijadikan argumen kuat sesungguhnya bibit radikalisme
bisa bersemai di mana saja. Dari negeri yang paling fasis sampai negeri yang
menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis.
Pada negeri yang terakhir ini, menarik untuk kembali mengungkapkan
hasil temuan Jack Snyder (1999), seorang guru besar Universitas Columbia. Ia
dalam bukunya yang bertajuk From
Voting to violence: Democratization and Nationalist Conflict mengatakan
bahwa sejarah demokrasi adalah bentangan sejarah konflik, kekerasan, dan juga
radikalisme.
Perang-perang yang merupakan puncak kekerasan di dunia, seperti
perang Napoleon (1803-1815), perang Kaisar Wilhem (1914-1918), dan juga perang
Adolf Hitler (1939-1945), sebagian besar disebabkan oleh usaha untuk menuju
demokratisasi itu sendiri.
Tesis Snyder ini bisa dijadikan landasan kuat bahwa sesungguhnya
kekerasan itu bisa bersemai di mana saja, termasuk di negara demokratis
sekalipun. Bahkan lebih jauh soal radikalisme ini, Karen Armstrong (2007) dalam
the Battle for God
mengatakan bahwa radikalisme ada di hampir semua agama.
Di setiap kepercayaan, apa pun itu bentuknya terlebih agama,
hampir bisa dipastikan ada barang satu atau dua gerakan yang lebih bersikap
fundamentalis yang kemudian gerakannya diekspresikan dengan cara-cara kekerasan
(radikalisme).
Bahaya radikalisme teroris
Pada tataran inilah saya ingin memberikan garis demarkasi antara
fundamentalisme dan radikalisme yang dalam bahasa agama kerap diistilahkan
sebagai ”Syiddah Al-Tanattu”. Dalam hemat saya, fundamentalisme adalah
abstraksi pemahaman yang domain wilayahnya ada di pikiran. Sementara itu,
radikalisme adalah tindakan turunan yang dilahirkan dari pola pikir
fundamentalis itu. Artinya, fundamentalisme itu soal pikiran, sementara
radikalisme itu soal tindakan.
Lebih jauh soal radikalisme, Said Aqil Siroj (2014) pernah
mengemukakan analisis menarik. Ia berpendapat sesungguhnya radikalisme hari ini
telah terfragmentasi menjadi minimal tiga bentuk dan varian.
Pertama, radikalis puritan. Radikalis macam ini lebih
menitikberatkan kegiatannya dalam rangka memurnikan ajaran Islam dari
tradisi-tradisi yang lokal. Kedua, radikalis sekuler. Radikalis ini banyak
mengonsentrasikan gerakannya untuk mengislamkan segala sistem sekuler, seperti
demokrasi, sistem politik, dan juga bentuk negara. Terakhir, radikalis teroris yang
mengejawantahkan seluruh konsep dan pikiran serta pandangannya dengan cara
pemaksaan yang dibungkus dengan kekerasan.
Sesungguhnya jika kita telaah lebih jauh, dua bentuk pertama dari
fragmentasi radikalisme itu, kita akan menemukan bahwa gerakan radikalisme
hanya berada sebatas pada konsep dan alam pikir pengikutnya semata. Mungkin
kedua bentuk itu juga diwujudkan dalam bentuk gerakan, tetapi tak sampai
menggunakan kekerasan sebagai alat gerakannya.
Pada kedua bentuk itu kadar serta taraf bahaya radikalisme tak
sebesar yang ada pada radikalisme dalam bentuk ketiga, yakni radikalisme
teroris yang selalu istikomah menjadikan teror dan kekerasan sebagai
pengejawantahan gerakan serta cara untuk menerjemahkan gagasannya. Pada bentuk
ketiga inilah, NIIS memanifestasikan gerakannya.
Lebih menyedihkannya, paham terorisme tersebut jika kita cermati
dengan teliti, sesungguhnya mereka bisa berkembang dengan sangat cepat justru
dengan cara memanfaatkan lahan subur yang bernama kebebasan yang dikenal dalam
sistem demokrasi. Kebebasan argumentasi dan juga kebebasan berekspresi yang
menjadi salah satu ciri utama demokrasi itulah yang menjadi medan pacu landas
serta alasan kemunculan paham radikalisme yang berwujud terorisme tersebut di
negara-negara yang menganut paham demokrasi.
Gerakan radikalisme seperti apa pun dan dalam bentuk bagaimanapun
tidak pernah dibenarkan oleh agama. Atas dasar itulah, Nahdlatul Ulama (NU)
menjadi garda depan yang menolak paham-paham Islam radikalis seperti NIIS
berkembang di Indonesia. Apalagi sejak dini kami mengenal diktum hubbul wathon minal iman,
cinta Tanah Air adalah sebagian bentuk dari keimanan, maka jelas kami lebih
mencintai Indonesia dibandingkan Irak dan Suriah.
Dua pendekatan
Lebih jauh, dalam konteks wacana pemulangan kombatan NIIS,
setidaknya ada dua pendekatan yang bisa digunakan dalam melihat persoalan ini.
Pertama, pendekatan legal formal dengan peranti undang-undang (UU). Dalam
konteks wacana pemulangan kombatan NIIS ini, jika merujuk pada UU No 12 Tahun
2006 tentang Kewarganegaraan, pada Pasal 23 disebutkan secara eksplisit bahwa
”warga negara Indonesia kehilangan kewarganegaraan jika masuk dalam dinas
tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari Presiden”.
Konteks Pasal 23 UU No 12 Tahun 2006 ini dalam hemat saya selaras
dengan yang sedang kita hadapi bersama hari ini. Jelas bahwa status
kewarganegaraan para kombatan tersebut sudah tanggal sejak mereka berbaiat ke
NIIS.
Di samping itu, pendekatan kedua, dalam hemat saya, kita bisa
menggunakan apa yang disebut sebagai kerangka metodologi berpikir ala
pesantren. Pendekatan ini terdiri dari rangkaian dan susunan argumen yang bisa
dijadikan alas pikir dan alas landas untuk mengambil keputusan terbaik.
Satu, di dalam Al Quran surat Al-Ahzab Ayat 60 Allah berfirman,
”Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang
berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di
Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi)
mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam
waktu yang sebentar”.
Titik tekan ayat ini ada pada pengertian dan perintah kepada Nabi
Muhammad SAW untuk mengusir mereka yang membuat fitnah, keonaran, dan juga
termasuk teror, dari kota Madinah. Dalam Islam, melalui ayat ini, kita dapat
mengatakan bahwa tidak ada tempat bagi mereka yang berbuat teror dan mengusik
tatanan kehidupan.
Dua, kita mengenal kaidah
dar’ul mafsid muqaddamun al jalbil mashlih yang berarti: menolak
kerusakan lebih didahulukan dan diutamakan dibandingkan mendatangkan
kemaslahatan. Sikap preventif dan kehati-hatian adalah kunci dalam bertindak.
Maka, dalam konteks wacana pemulangan kombatan NIIS ini, yang lebih kita
dahulukan adalah mencegah datangnya kerusakan atau kemudaratan berupa ancaman
dan potensi teror dibandingkan mendatangkan kemaslahatan dengan pertimbangan
kemanusiaan.
Dengan kerangka berpikir yang jelas dan juga pendekatan yang
komprehensif, saya rasa kita akan bisa lebih jernih melihat persoalan.
Kejernihan melihat persoalan akan menjadi modal penting untuk mendasari
pengambilan kebijakan. Wallahu
a’lam bi showab. []
KOMPAS, 14 Februari 2020
A Helmy Faishal Zaini | Sekretaris Jenderal Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama/PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar