Meluruskan Makna Jihad (30)
Memahami "Munasabah" Ayat
Oleh: Nasaruddin Umar
Yang dimaksud dengan munasabah ialah sebuah konsep di dalam Ulum al-Qur'an
yang membahas tentang pemahaman makna ayat secara komprehensif dengan
menghubungkan antara ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, antara pembuka ayat dan
penutup ayatnya, dan antara ayat dengan nama surah yang menjadi tema
sentralnya.
Konsep munasabah amat penting bagi para mufassir,
karena orang yang yang tidak memahami munasabah sebuah ayat lalu fokus hanya
memahami ayat itu berpeluang terjadi salah penerapan (miscontext).
Sebagai contoh dalam ayat: ...bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai
mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat
pengintaian. (Q.S. at-Taubah/9:5).
Potongan ayat tersebut sering diperkenalkan oleh kelompok radikal,
khususnya kaum teroris, sebagaimana yang sering ditemukan di dalam buku-buku
doktrin mereka. Sepintas ayat ini kelihatan sangat menyeramkan. Apalagi kata al-musyrikun
diartikan dengan non-muslim.
Itu artinya ada izin membunuh non muslim di mana pun dan kapan
pun. Tidak perlu ada rasa bersalah dan berdosa, karena ayat ini menjadi dasar
bolehnya membunuh dengan cara apapun mereka yang non-Islam, apalagi yang
nyata-nyata memerangi Islam. Padahal, ayat tersebut hanyalah potongan tengah
ayat. Ayat seutuhnya ialah:
Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka
bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan
tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika
mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah
kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (Q.S. at-Taubah/9:5)
Pemahaman yang bisa diperoleh melalui potongan tengah ayat,
dipisahkan dengan kata yang mengawali dan kata yang mengakhiri ayat itu,
ditambah lagi tidak dihubungkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat
tersebut, dan lebih parah lagi, tidak menyebut atau memahami sabab nuzul
ayat tersebut. Pemahaman ayat dengan cara demikian bisa membuat orang, khususnya
orang yang telah mengalami proses doktrin, bisa melakukan berbagai tindakan
nekat, radikal, dan terorisme.
Tetapi, jika dibaca ayat tersebut secara utuh, lalu dihubungkan
dengan konteks ayat sebelum dan sesudahnya, kemudian menyimak sabab nuzul
ayatnya, maka pemahaman dan sikap yang bisa muncul sangat berbeda dengan
sebelumnya. Ayat tersebut di atas sesungguhnya lebih menonjol sebagai ayat
dakwah ketimbang sebagai ayat jihad atau peperangan.
Perhatikan permulaan ayatnya diawali dengan kata idza
(apabila), berarti bersifat kondisional. Bagian penutup ayatnya diakhiri dengan
penekanan sifat Allah yang paling dominan di dalam Al-Quran, yaitu: Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kata al-Rahim (Maha Penyayang) adalah sifat Allah paling dominan
di dalam Al-Quran, terulang sebanyak 114 kali. Bandingkan dengan kata al-Muntaqim
(Maha Pendendam) dan al-Mutakabbir (Maha Angkuh) hanya terulang
masing-masing sekali di dalam Al-Quran.
Perhatikan juga dengan ayat sebelumnya (ayat 4) ada syarat yang
menetapkan jenis musyrik pengkhianat perjanjian yang disasar ayat 5 di atas.
Selanjutnya ayat sesudahnya (ayat 6) ada jenis musyrik yang justru harus
dilindungi dan dikasihani.
Sedangkan sabab nuzul ayat tersebut di atas menurut
Al-Sayuthi berkenaan dengan pelanggaran perjanjian damai yang dilakukan kaum
musyrikin di Madinah pada saat bulah Muharam (umat Islam dilarang berperang).
Setelah bulan haram lewat, maka turun ayat ini mengizinkan umat Islam untuk
berperang jika mereka dikhianati.
Dengan demikian, ayat yang dijadikan contoh di atas justru untuk
menekankan Islam sebagai agama kasih sayang dan penuh toleransi, bukannya agama
yang menakutkan dan menebarkan rasa takut dengan ancaman pembunuhan dan
kekerasan. Pemahaman munasabah ayat bisa mengeliminasi pemahaman
radikal terhadap ayat. []
DETIK, 13 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid
Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar