Rabu, 26 Februari 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (30): Memahami "Munasabah" Ayat


Meluruskan Makna Jihad (30)
Memahami "Munasabah" Ayat
Oleh: Nasaruddin Umar

Yang dimaksud dengan munasabah ialah sebuah konsep di dalam Ulum al-Qur'an yang membahas tentang pemahaman makna ayat secara komprehensif dengan menghubungkan antara ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, antara pembuka ayat dan penutup ayatnya, dan antara ayat dengan nama surah yang menjadi tema sentralnya.

Konsep munasabah amat penting bagi para mufassir, karena orang yang yang tidak memahami munasabah sebuah ayat lalu fokus hanya memahami ayat itu berpeluang terjadi salah penerapan (miscontext). Sebagai contoh dalam ayat: ...bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. (Q.S. at-Taubah/9:5).

Potongan ayat tersebut sering diperkenalkan oleh kelompok radikal, khususnya kaum teroris, sebagaimana yang sering ditemukan di dalam buku-buku doktrin mereka. Sepintas ayat ini kelihatan sangat menyeramkan. Apalagi kata al-musyrikun diartikan dengan non-muslim.

Itu artinya ada izin membunuh non muslim di mana pun dan kapan pun. Tidak perlu ada rasa bersalah dan berdosa, karena ayat ini menjadi dasar bolehnya membunuh dengan cara apapun mereka yang non-Islam, apalagi yang nyata-nyata memerangi Islam. Padahal, ayat tersebut hanyalah potongan tengah ayat. Ayat seutuhnya ialah:

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. at-Taubah/9:5)

Pemahaman yang bisa diperoleh melalui potongan tengah ayat, dipisahkan dengan kata yang mengawali dan kata yang mengakhiri ayat itu, ditambah lagi tidak dihubungkan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudah ayat tersebut, dan lebih parah lagi, tidak menyebut atau memahami sabab nuzul ayat tersebut. Pemahaman ayat dengan cara demikian bisa membuat orang, khususnya orang yang telah mengalami proses doktrin, bisa melakukan berbagai tindakan nekat, radikal, dan terorisme.
Tetapi, jika dibaca ayat tersebut secara utuh, lalu dihubungkan dengan konteks ayat sebelum dan sesudahnya, kemudian menyimak sabab nuzul ayatnya, maka pemahaman dan sikap yang bisa muncul sangat berbeda dengan sebelumnya. Ayat tersebut di atas sesungguhnya lebih menonjol sebagai ayat dakwah ketimbang sebagai ayat jihad atau peperangan.

Perhatikan permulaan ayatnya diawali dengan kata idza (apabila), berarti bersifat kondisional. Bagian penutup ayatnya diakhiri dengan penekanan sifat Allah yang paling dominan di dalam Al-Quran, yaitu: Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Kata al-Rahim (Maha Penyayang) adalah sifat Allah paling dominan di dalam Al-Quran, terulang sebanyak 114 kali. Bandingkan dengan kata al-Muntaqim (Maha Pendendam) dan al-Mutakabbir (Maha Angkuh) hanya terulang masing-masing sekali di dalam Al-Quran.

Perhatikan juga dengan ayat sebelumnya (ayat 4) ada syarat yang menetapkan jenis musyrik pengkhianat perjanjian yang disasar ayat 5 di atas. Selanjutnya ayat sesudahnya (ayat 6) ada jenis musyrik yang justru harus dilindungi dan dikasihani.

Sedangkan sabab nuzul ayat tersebut di atas menurut Al-Sayuthi berkenaan dengan pelanggaran perjanjian damai yang dilakukan kaum musyrikin di Madinah pada saat bulah Muharam (umat Islam dilarang berperang). Setelah bulan haram lewat, maka turun ayat ini mengizinkan umat Islam untuk berperang jika mereka dikhianati.

Dengan demikian, ayat yang dijadikan contoh di atas justru untuk menekankan Islam sebagai agama kasih sayang dan penuh toleransi, bukannya agama yang menakutkan dan menebarkan rasa takut dengan ancaman pembunuhan dan kekerasan. Pemahaman munasabah ayat bisa mengeliminasi pemahaman radikal terhadap ayat. []

DETIK, 13 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar