Meluruskan
Makna Jihad (32)
Contoh
Penerapan "Munasabah" (2)
Oleh:
Nasaruddin Umar
Salah
satu ayat sering dikemukakan untuk menolak kehadiran non-muslim sebagai
pemimpin ialah potongan ayat sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil
orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
(Q.al-Nisa'/4:144). Ayat ini sering diangkat sedemikian rupa untuk
mendiskreditkan orang lain, yakni orang-orang non-muslim. Potongan ayat ini
juga sering dibenturkan dengan konsep nasionalisme suatu negara, termasuk
Indonesia.
Negara
kita sejak awal tidak dideklarasikan sebagai Negara Islam meskipun penduduknya
mayoritas muslim. Secara konseptual Indonesia menerima kehadiran non-muslim
sebagai pemimpin, asal persyaratan konstitusional sudah terpenuhi. Ayat
tersebut juga pernah digunakan untuk menolak kepemimpinan Bapak Basuki Cahyadi
(Ahok) sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Namun
demikian, jika ayat ini dibaca secara utuh adalah sebagai berikut: Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah
(untuk menyiksamu)? (Q. al-Nisa'/4:144). Potongan ayat terakhir
yang sering tidak terbaca ialah: Inginkah
kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?
Potongan ayat ini mengisyaratkan adanya konteks tertentu yang harus
diperhatikan, yaitu selain sabab
nuzul, juga adalah munasabah
ayat.
Ayat
tersebut di atas tidak tiba-tiba langsung menjadi sebuah pernyataan terbuka,
tetapi ada konteks yang melatarbelakanginya, yaitu ayat sebelumnya diungkapkan:
Mereka dalam keadaan
ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan
ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang
kafir). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan
mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya. (Q.
al-Nisa'/4:143).
Ayat
tersebut menjadi kondisi lahirnya ayat berikutnya, yang melarang orang Islam
mengangkat pemimpin dari luar kalangannya sendiri (mukmin). Ayat itu
mengisyaratkan bahwa jika kondisi umat Islam sedemikian lemah dalam berbagai
aspek dan dikhawatirkan akan muncul kondisi lebih buruk lagi, misalnya
menukarkan keimanannya dengan nilai-nilai keduniawian, maka berlaku ayat
tersebut. Pemahaman ini didukung oleh ayat sesudahnya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu
(ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu
sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka.
(Q. al-Nisa'/4:145).
Ayat ini
mengingatkan bahwa dalam kondisi umat Islam lemah orang-orang munafik
merajalela dan umat Islam harus betul-betul diselamatkan. Umat Islam yang
berada di titik nadir perlu ada kepemihakan, terutama jika mereka berada pada
posisi mayoritas.
Kondisi
lain yang terungkap dari munasabah
ayat di atas ialah pemimpin tunggal. Namun jika kepemimpinan itu kolektif,
tentu pembicaraan akan lain. Jika kondisi umat dan masyarakat tidak seperti
yang digambarkan ayat sebelum dan sesudahnya, maka berlaku kaidah normal bahwa
pemimpin yang paling layak menjadi pemimpin ialah mereka yang memenuhi
syarat-syarat profesional.
Idealnya
ialah jika dalam komunitas masyarakat itu umumnya atau mayoritas beragama
Islam, maka paling tepat yang menjadi pemimpin mereka ialah dari kalangan
mereka. Namun jika proses demokrasi menghendaki lain, tentu berlaku kaidah
lain. Jika akan timbul kekacauan dan keresahan jika yang terpilih secara
demokratis adalah non-muslim, baik kekacauan masyarakat maupun kekacauan
konstitusional, maka kaidah darurat bisa berlaku: Keadaan darurat membolehkan sesuatu yang tidak boleh
hingga kondisi darurartnya hilang.
Tentu
saja ada pendapat lain yang tidak sama dengan pendapat ini, tetapi inilah
kenyataan yang terjadi. Tidak semua harapan umat Islam selalu menjadi
kenyataan. Penyebabnya bukan semata-mata dari luar, tetapi berasal dari dalam
dirinya sendiri.
Yang
penting sesungguhnya ialah penerapan nilai-nilai ajaran Islam berlaku di dalam
masyarakat, khususnya bagi umat Islam. Jika seorang pemimpin non-muslim mampu
menghadirkan maqashid
al-syari'ah, khususnya yang tertuang di dalam dharuriyyat al-khamsah
(lihat artikel terdahulu), maka itu lebih baik ketimbang dipimpin seorang yang
ber-KTP Islam tetapi masyarakat yang dipimpinnya kacau balau dan nilai-nilai
syariah tidak diterapkan. []
DETIK, 17 Februari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar