Mafia Migas
Oleh: Ahmad Syafii Ma'arif
Sudah puluhan tahun, bangsa dan negara ini dijadikan sapi perahan oleh para mafia dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Kekayaan negara yang berhasil dirampok mereka dalam tenggat yang panjang itu mungkin sudah berada pada level ratusan triliun.
Sekiranya bangsa ini tidak dikaruniai daya tahan yang hebat,
Indonesia sudah lama masuk dalam kategori negara gagal. Benarlah Bung Karno
bahwa musuh terbesar Indonesia merdeka bukanlah pihak asing, melainkan
anak-anak bangsa sendiri yang telah kehilangan kendali moral, demi kuasa dan
materi.
Beberapa waktu yang lalu pada akhir tahun 2019, seorang mantan anggota parlemen memberi tahu saya bahwa mereka yang terlibat dalam tindakan kriminal mafia itu bukan hanya pengusaha, politisi, dan orang dalam Pertamina, melainkan juga para pejabat tinggi negara dari berbagai rezim. Kekayaan rampokan mereka tidak tanggungtanggung, disembunyikan secara lihai melalui sistem perkoncoan dan pencucian uang.
Sebenarnya, jika punya nyali, lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) mampu melacak tempat bersembunyinya harta karun yang
bertumpuk ini. Nyali sangat diperlukan karena berurusan dengan para mafia ini
risikonya sangat tinggi. Bisa nyawa melayang.
Untuk sekadar menyegarkan ingatan, asal-usul perkataan mafia ini perlu disinggung selintas. Perkataan mafia berasal dari bahasa Italia yang kira-kira berarti "urusan kami". Anggota konfederasi mafia disebut mafiaso (si jantan yang terhormat) yang akar sejarahnya dapat ditelusuri sejak abad pertengahan, diciptakan oleh orang-orang yang berasal dari Sisilia yang kemudian mewabah secara masif di Amerika Serikat sampai hari ini.
Organisasi mafia ini beroperasi dalam berbagai jenis kejahatan:
perlindungan terhadap tindakan-tindakan ilegal, perorganisasian kejahatan dalam
bentuk kesepakatan dan transaksi ilegal, arbitrase antarkriminal. Konfederasi
ini sering terlibat penipuan, perjudian, perdagangan narkoba, dan penggelapan
dana.
Di Indonesia, kejahatan mafia ini banyak jenisnya: mafia migas, mafia jual-beli hukum dan peradilan, mafia jual-beli jabatan di lingkungan PNS, Polri, dan TNI, mafia hutan, mafia properti, mafia perizinan usaha, dan 1001 bentuk mafia lainnya. Artikel ini hanya akan menyoroti mafia migas yang menurut pernyataan Presiden Jokowi baru-baru ini telah merugikan negara sebesar satu triliun per bulan. Hampir di seantero BUMN ada mafianya. Perusahaan migas karena termasuk yang terbesar selalu jadi incaran para mafia untuk berebut rente dalam dunia serba hitam itu.
Pembubaran oleh pemerintah anak perusahaan Pertamina Petral (Pertamina Energy Trading Limited) yang berkantor di Singapura pada 2015 adalah sebuah tindakan berani yang sekian lama dipelihara oleh para mafia migas yang bermitra dengan oknum rezim penguasa sebelumnya. Salah seorang 'mafiaso'-nya adalah pengusaha Mohammad Riza Chalid atau sering dipanggil Reza Chalid yang pernah menghilang sebagai buronan, tetapi ajaibnya lalu muncul dalam pertemuan partai pendukung pemerintah menjelang Pilpres 2019 yang lalu, seperti manusia kebal hukum saja. Tidak sulit untuk menduga bahwa pengusaha Reza ini punya jaringan rapi dengan pimpinan partai dan politisi tertentu.
Sebenarnya, Presiden Jokowi sejak masa jabatan pertama tahun 2014 telah mengetahui tentang mafia migas ini, tetapi tampaknya belum berdaya betul untuk melawannya karena terlalu banyak kekuatan hitam yang terlibat di dalamnya. Pada periode kedua ini, kembali Presiden marahmarah tentang gurita mafia migas ini. Mereka ini berupaya dengan segala cara agar Indonesia jangan sampai membangun kilang minyak agar negeri ini tetap bergantung pada impor minyak yang membengkakkan defisit anggaran negara.
Menurut Presiden, sudah 34 tahun pemerintah tidak pernah mampu
membangun kilang ini karena diadang terus oleh para mafia yang
"berkuasa" yang sosoknya sudah dikenal itu. Tinggal lagi tindakan
tegas terhadap mereka. Coba bayangkan karena tidak punya kilang minyak,
Indonesia harus mengimpor minyak sebesar 700 ribu hingga 800 ribu barel per
hari yang sangat menggerogoti pundi-pundi negara.
Dengan diangkatnya BTP (Basuki Tjahaja Purnama) sebagai komut (komisaris utama) Pertamina merupakan langkah awal untuk membasmi kelompok mafia ini. Tetapi BTP sebagai komut tidak akan bisa berbuat banyak jika dirut (direktur utama) Pertamina bukan seorang petarung yang berani mati menghadapi gurita mafia itu.
Kita berharap, dalam tempo dekat dirut petarung akan ditemukan.
Jika pada periode kedua ini Presiden Jokowi tidak juga berhasil
"menggigit" para mafiaso ini, "negara mafia" dalam negara
akan tetap gentayangan sebagai pemburu rente yang sangat menggiurkan dengan
mengorbankan kepentingan negara dan rakyat banyak. Alangkah terkutuknya
perbuatan mereka! []
REPUBLIKA, 26 Januari 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar