Menikah adalah Fitrah
Manusia
Sejarah mencatat, bahtera atau perahu Nabi
Nuh ‘alaihis salam merupakan rumah bagi seluruh hewan ketika menyelamatkan diri
dari air bah mahadahsyat yang meluluhlantakkan umat Nabi Nuh. Hewan-hewan
tersebut dibawa tidak dalam kondisi sendirian, namun berpasang-pasangan, jantan
dan betina. Ini merupakan petunjuk Allah SWT untuk Nabi Nuh agar eksistensi
makhluk tetap lestari.
Dinyatakan dalam Al-Qur’an bahwa Allah
menciptakan makhluk berpasang-pasangan. Jika Allah memberi petunjuk kepada Nabi
Nuh agar membawa hewan berpasang-pasangan, hal ini tentu mutlak bagi manusia
sebagai makhluk termulia ciptaan Allah. Dengan kata lain, berpasangan merupakan
fitrah seluruh makhluk di muka bumi untuk memastikan lestarinya keturunan guna
memerankan diri sebagai pengelola bumi (khalifah). Syariat menjelaskan bahwa
maksud berpasangan ialah antara laki-laki dan perempuan, jantan dan betina.
Bahkan dorongan berpasangan sudah lahir sejak
kecil. Hal ini karena mendambakan pasangan merupakan fitrah manusia sebelum
dewasa, dan dorongan yang sulit dibendung setelah dewasa. Karena itu, agama
mensyariatkan dijalinnya pertemuan antara laki-laki dan perempuan dalam ikatan
suci yang dinamakan “pernikahan”. Hal ini untuk menghindari dorongan ke arah
hubungan terlarang.
Dorongan tersebut diarahkan dalam sebuah
pertemuan sehingga terlaksananya "perkawinan". Beralihlah kerisauan
laki-laki dan perempuan menjadi ketenteraman atau sakinah dalam istilah
Al-Qur’an Surat Ar-Rum (30) ayat 21.
Muhammad Quraish Shihab dalam Wawasan
Al-Qur’an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (2000) menjelaskan
bahwa Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenangnya
sesuatu setelah bergejolak. Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena
ia adalah alat yang menjadikan binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak,
setelah tadinya ia meronta. Sakinah --karena perkawinan-- adalah ketenangan
yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.
Al-Qur’an antara lain menekankan perlunya
kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi yang ingin menikah. Walaupun para wali
diminta untuk tidak menjadikan kelemahan di bidang ekonomi sebagai alasan
menolak peminang. "Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah
akan menjadikan mereka kaya (berkecukupan) berkat Anugerah-Nya." (QS
An-Nur [24]: 31)
Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi
dianjurkan untuk menahan diri dan memelihara kesuciannya. وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ
اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ "Hendaklah
mereka yang belum mampu (kawin) menahan diri, hingga Allah menganugerahkan
mereka kemampuan." (QS An-Nur [24]: 33)
Di sisi lain perlu juga dicatat, walaupun
Al-Qur’an menegaskan bahwa berpasangan atau kawin merupakan ketetapan Ilahi
bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasulullah menegaskan bahwa "nikah adalah
sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Qur’an dan Sunnah menetapkan
ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan.
Lebih-lebih karena masyarakat yang ditemuinya
melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya serta melanggar nilai-nilai
kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri mendiang ayah (ibu
tiri). (QS An-Nisa' [4]: 19)
Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di
atas turun, masih ada yang mengawini mereka atas dasar suka sama
suka sampai dengan turunnya surat An-Nisa' [4]: 22 yang secara tegas
menyatakan.
وَلَا
تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita
yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi apa yang telah lalu (dimaafkan oleh
Allah).”
Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Aisyah radhiyaallahu 'anha bahwa pada
masa jahiliah, dikenal empat macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana
berlaku kini, dimulai dengan pinangan kepada orang tua atau wali, membayar
mahar dan menikah.
Kedua, adalah seorang suami yang
memerintahkan kepada istrinya apabila telah suci dari haid untuk menikah
(berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah hamil, maka ia kembali
untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan yang baik.
Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh
orang, kesemuanya menggauli seorang wanita, dan bila ia hamil kemudian
melahirkan, ia memanggil seluruh anggota kelompok tersebut --tidak dapat
absen-- kemudian ia menunjuk salah seorang yang dikehendakinya untuk dinisbahkan
kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan tidak boleh mengelak.
Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh
wanita tunasusila, yang memasang bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman
mereka dan "bercampur" dengan siapa pun yang suka kepadanya. Kemudian
Islam datang melarang cara perkawinan tersebut kecuali cara yang pertama.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar