Shalat-shalat Wajib Selain
Shalat Fardhu Lima Waktu
Syariat Islam mengharuskan bagi para
pemeluknya untuk melaksanakan berbagai kewajiban. Salah satu kewajiban itu
adalah shalat. Melaksanakan shalat bagi umat Islam adalah hal yang wajib
dilakukan dengan ketentuan lima kali dalam sehari. Kewajiban ini secara
eksplisit dijelaskan dalam Al-Qur’an:
فَسُبْحَانَ
الله حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ وَلَهُ الحمد فِي السماوات والأرض
وَعَشِيّاً وَحِينَ تُظْهِرُونَ
Artinya: “Maka bertasbihlah kepada Allah pada
petang hari dan pagi hari (waktu subuh) dan segala puji bagi-Nya baik di
langit, di bumi, pada malam hari dan pada waktu zuhur (tengah hari)” (QS
Ar-Rum: 17-18)
Namun demikian, apakah shalat yang diwajibkan
bagi umat Islam (dalam arti fardhu ‘ain) hanya terbatas pada shalat lima waktu
saja?
Dalam hal ini para ulama berbeda pandangan.
Mayoritas ulama yakni Aimmah ats-Tsalatsah yang meliputi Imam Syafi’i, Imam
Malik, dan Imam Ahmad berpandangan bahwa shalat wajib hanya terbatas pada
shalat lima waktu saja. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, selain shalat lima
waktu terdapat shalat lain yang juga wajib dilakukan, yakni shalat Witir dan
shalat ‘Id. Dengan demikian, menurut mazhab Hanafi ini, shalat yang wajib
dilakukan dalam satu hari satu malam ada enam shalat (dengan menambahkan shalat
Witir). Sedangkan shalat ‘Id hanya dilakukan dua kali dalam satu tahun, yakni
shalat Idul fitri dan shalat Idul Adha.
Perbedaan pandangan di atas seperti yang
dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
تنقسم
الصلوات التي لها وقت معين إلى ثلاثة أقسام عند الحنفية: القسم الأول: صلوات مفروضة، وهي الصلوات الخمس. القسم الثاني: صلوات
واجبة، وهي الوتر والعيدان. القسم الثالث: صلوات مسنونة، كالسنن القبلية والبعدية
للصلوات الخمس. والجمهور لا يفرقون بين الفرض والواجب، والوتر عندهم سنة، وكذلك
العيدان عند المالكية والشافعية، وهي فرض كفاية عند الحنابلة
“Shalat yang memiliki waktu khusus terbagi
menjadi tiga bagian menurut mazhab Hanafiyah. Pertama, shalat fardhu yakni
shalat lima waktu. Kedua, shalat wajib yakni shalat witir dan dua shalat
‘Id (Idul Fitri dan Idul Adha). Ketiga, shalat sunnah seperti sunnah qabliyah
dan ba’diyah bagi shalat lima waktu. Mayoritas ulama tidak membedakan antara
fardhu dan wajib. Dan shalat Witir menurut mayoritas ulama adalah sunnah,
begitu juga dua shalat ‘Id menurut mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut
mazhab Hanabilah hukumnya adalah fardhu kifayah,” (Kementrian Wakaf dan Urusan
Keagamaan, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 7, h. 170).
Mazhab Hanafi sendiri memang membedakan
antara istilah fardhu dan wajib. Fardhu menurut mereka adalah hal yang harus
dilakukan, akan mendapatkan dosa dan disiksa di neraka jika ditinggalkan dan
dihukumi kafir bagi orang yang mengingkari kefardhuannya. Sedangkan wajib
menurut mazhab Hanafi adalah hal yang harus dilakukan, akan mendapatkan dosa
dan dihalangi dari syafaat Nabi Muhammad ﷺ jika ditinggalkan dan
tidak dihukumi kafir bagi orang yang mengingkari kefardhuannya. Hal ini
disebabkan dalil yang menjadi pijakan hukum wajib masih terdapat keserupaan
(syubhat) sehingga tingkatan wajib berada di bawah hukum fardhu. Penjelasan
tentang hal ini seperti yang tercantum dalam referensi berikut:
الحنفية
قالوا: تنقسم السنة إلى قسمين: الأول: سنة مؤكدة . وهي بمعنى الواجب عندهم . لأنهم يقولون : إن الواجب أقل من الفرض . وهو ما ثبت بدليل
فيه سبهة ويسمى فرضا عمليا . بمعنى أنه يعامل معاملة الفرائض في العمل . فيأثم
بتركه . ويجب فيه
الترتيب والقضاء ولكن لا يجب اعتقاد أنه فرض وذلك كالوتر فإنه عندهم فرض عملا لا
اعتقادا فيأثم تاركه ولا يكفر منكر فرضيته بخلاف الصلوات الخمس فإنها فرض عملا
واعتقادا فيأثم تاركها ويكفر منكرها على أن تارك الواجب عند الحنفية لا يأثم إثم
تارك الفرض فلا يعاقب بالنار على التحقيق بل يحرم من شفاعة الرسول عليه الصلاة و
السلام
“Mazhab Hanafi berpandangan bahwa sunnah
terbagi menjadi dua yakni sunnah muakkad. Sunnah ini semakna dengan kata wajib
menurut mazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi ini mengatakan bahwa wajib itu
berada di bawah fardhu. Sedangkan wajib adalah sesuatu yang tetap dengan dalil
yang masih terdapat keserupaan. Wajib ini disebut juga dengan fardhu
‘amali, dengan arti bahwa hukum wajib ini diamalkan seperti halnya mengamalkan
fardhu, maka seseorang akan terkena dosa jika tidak mengamalkan hal yang wajib,
dan dalam mengamalkannya harus secara tartib dan terkena kewajiban mengqadha
(bila tidak dilakukan), hanya saja tidak wajib meyakini bahwa hukum wajib ini
adalah fardhu.”
Misalnya seperti shalat Witir, menurut mazhab
Hanafi shalat ini hukum melaksanakannya adalah fardhu ‘amali bukan i’tiqadi.
Maka orang yang meninggalkan shalat Witir terkena dosa, namun orang yang
mengingkari kefardhuan shalat ini tidak dihukumi kafir. Berbeda halnya dalam
menghukumi shalat lima waktu, shalat tersebut dihukumi fardhu amali
dani’tiqadi, sehingga orang yang meninggalkan shalat lima waktu terkena dosa
dan orang yang mengingkari fardhunya shalat lima waktu dihukumi kafir.
Ketentuan di atas berdasarkan prinsip bahwa meninggalkan hal wajib tidak
terkena dosa seperti halnya dosanya meninggalkan perkara fardhu. Maka orang
yang meninggalkan wajib tidak disiksa di nereka, hanya saja mereka dihalangi
untuk mendapatkan syafaat Rasulullah ﷺ,” (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ala al-Madzahib
al-Arba’ah, juz 1, h. 58).
Meskipun shalat Witir dan shalat ‘Id masih
diperselisihkan tentang kefardhuannya, namun baiknya dua shalat ini tidak
ditinggalkan, sebab dalam fiqih dikenal sebuah kaidah “al-khuruj min al-khilaf
mustahabbun” (keluar dari silang pendapat antara ulama adalah hal yang
dianjurkan). Sehingga melaksanakan dua shalat yang masih diperselisihkan di
atas, selain dihukumi sunnah berdasarkan hukum shalat itu sendiri, juga dihukumi
sunnah dengan berdasarkan mengamalkan terhadap kaidah tersebut.
Selain dua shalat di atas, terdapat pula
shalat yang juga dihukumi wajib dengan berdasarkan pada faktor-faktor lain,
seperti shalat sunnah yang dinazari (terikat janji atau nazar). Misalnya,
seseorang bernazar akan shalat tahajud selama seminggu berturut-turut jika
lulus ujian. Shalat tahajud yang semula sunnah pun berubah status hukumnya
menjadi wajib. Dalam shalat sunnah yang terikat nazar, kewajiban
melaksanakannya bukan berdasarkan shalat sunnah itu sendiri (min haitsu
as-shalat), tapi lebih karena nazar yang diucapkan oleh seseorang.
Shalat lain yang juga wajib dilaksanakan di
luar ketentuan baku lima waktu adalah shalat qadha dari salah satu (atau lebih)
shalat fardhu lima waktu yang pernah ditinggalkan. Qadha dalam shalat adalah
melaksanakan shalat sesudah habisnya waktu, atau sesudah waktu yang tidak
mencukupi untuk menyelesaikan satu rakaat atau lebih. Wajib bagi seseorang
melaksanakan qadha shalat fardhu, baik karena tindak indisipliner yang tak
disengaja (misalnya: lupa, tertidur) maupun disengaja (meski pelaku tetap
berdosa karena kesengajaannya). Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar