Selasa, 11 Februari 2020

(Ngaji of the Day) Shalat-shalat Wajib Selain Shalat Fardhu Lima Waktu


Shalat-shalat Wajib Selain Shalat Fardhu Lima Waktu

Syariat Islam mengharuskan bagi para pemeluknya untuk melaksanakan berbagai kewajiban. Salah satu kewajiban itu adalah shalat. Melaksanakan shalat bagi umat Islam adalah hal yang wajib dilakukan dengan ketentuan lima kali dalam sehari. Kewajiban ini secara eksplisit dijelaskan dalam Al-Qur’an: 

فَسُبْحَانَ الله حِينَ تُمْسُونَ وَحِينَ تُصْبِحُونَ وَلَهُ الحمد فِي السماوات والأرض وَعَشِيّاً وَحِينَ تُظْهِرُونَ 

Artinya: “Maka bertasbihlah kepada Allah pada petang hari dan pagi hari (waktu subuh) dan segala puji bagi-Nya baik di langit, di bumi, pada malam hari dan pada waktu zuhur (tengah hari)” (QS Ar-Rum: 17-18)

Namun demikian, apakah shalat yang diwajibkan bagi umat Islam (dalam arti fardhu ‘ain) hanya terbatas pada shalat lima waktu saja?

Dalam hal ini para ulama berbeda pandangan. Mayoritas ulama yakni Aimmah ats-Tsalatsah yang meliputi Imam Syafi’i, Imam Malik, dan Imam Ahmad berpandangan bahwa shalat wajib hanya terbatas pada shalat lima waktu saja. Sedangkan menurut mazhab Hanafi, selain shalat lima waktu terdapat shalat lain yang juga wajib dilakukan, yakni shalat Witir dan shalat ‘Id.  Dengan demikian, menurut mazhab Hanafi ini, shalat yang wajib dilakukan dalam satu hari satu malam ada enam shalat (dengan menambahkan shalat Witir). Sedangkan shalat ‘Id hanya dilakukan dua kali dalam satu tahun, yakni shalat Idul fitri dan shalat Idul Adha.

Perbedaan pandangan di atas seperti yang dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:

تنقسم الصلوات التي لها وقت معين إلى ثلاثة أقسام عند الحنفية: القسم الأول: صلوات مفروضة، وهي الصلوات الخمس. القسم الثاني: صلوات واجبة، وهي الوتر والعيدان. القسم الثالث: صلوات مسنونة، كالسنن القبلية والبعدية للصلوات الخمس. والجمهور لا يفرقون بين الفرض والواجب، والوتر عندهم سنة، وكذلك العيدان عند المالكية والشافعية، وهي فرض كفاية عند الحنابلة

“Shalat yang memiliki waktu khusus terbagi menjadi tiga bagian menurut mazhab Hanafiyah. Pertama, shalat fardhu yakni shalat lima waktu. Kedua, shalat wajib yakni shalat witir dan dua shalat  ‘Id (Idul Fitri dan Idul Adha). Ketiga, shalat sunnah seperti sunnah qabliyah dan ba’diyah bagi shalat lima waktu. Mayoritas ulama tidak membedakan antara fardhu dan wajib. Dan shalat Witir menurut mayoritas ulama adalah sunnah, begitu juga dua shalat ‘Id menurut mazhab Malikiyah dan Syafi’iyah. Sedangkan menurut mazhab Hanabilah hukumnya adalah fardhu kifayah,” (Kementrian Wakaf dan Urusan Keagamaan, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 7, h. 170).

Mazhab Hanafi sendiri memang membedakan antara istilah fardhu dan wajib. Fardhu menurut mereka adalah hal yang harus dilakukan, akan mendapatkan dosa dan disiksa di neraka jika ditinggalkan dan dihukumi kafir bagi orang yang mengingkari kefardhuannya. Sedangkan wajib menurut mazhab Hanafi adalah hal yang harus dilakukan, akan mendapatkan dosa dan dihalangi dari syafaat Nabi Muhammad jika ditinggalkan dan tidak dihukumi kafir bagi orang yang mengingkari kefardhuannya. Hal ini disebabkan dalil yang menjadi pijakan hukum wajib masih terdapat keserupaan (syubhat) sehingga tingkatan wajib berada di bawah hukum fardhu. Penjelasan tentang hal ini seperti yang tercantum dalam referensi berikut:

الحنفية قالوا: تنقسم السنة إلى قسمين: الأول: سنة مؤكدة . وهي بمعنى الواجب عندهم . لأنهم يقولون : إن الواجب أقل من الفرض . وهو ما ثبت بدليل فيه سبهة ويسمى فرضا عمليا . بمعنى أنه يعامل معاملة الفرائض في العمل . فيأثم بتركه . ويجب فيه الترتيب والقضاء ولكن لا يجب اعتقاد أنه فرض وذلك كالوتر فإنه عندهم فرض عملا لا اعتقادا فيأثم تاركه ولا يكفر منكر فرضيته بخلاف الصلوات الخمس فإنها فرض عملا واعتقادا فيأثم تاركها ويكفر منكرها على أن تارك الواجب عند الحنفية لا يأثم إثم تارك الفرض فلا يعاقب بالنار على التحقيق بل يحرم من شفاعة الرسول عليه الصلاة و السلام

“Mazhab Hanafi berpandangan bahwa sunnah terbagi menjadi dua yakni sunnah muakkad. Sunnah ini semakna dengan kata wajib menurut mazhab Hanafi. Karena mazhab Hanafi ini mengatakan bahwa wajib itu berada di bawah fardhu. Sedangkan wajib adalah sesuatu yang tetap dengan dalil yang masih terdapat keserupaan.  Wajib ini disebut juga dengan fardhu ‘amali, dengan arti bahwa hukum wajib ini diamalkan seperti halnya mengamalkan fardhu, maka seseorang akan terkena dosa jika tidak mengamalkan hal yang wajib, dan dalam mengamalkannya harus secara tartib dan terkena kewajiban mengqadha (bila tidak dilakukan), hanya saja tidak wajib meyakini bahwa hukum wajib ini adalah fardhu.”

Misalnya seperti shalat Witir, menurut mazhab Hanafi shalat ini hukum melaksanakannya adalah fardhu ‘amali bukan i’tiqadi. Maka orang yang meninggalkan shalat Witir terkena dosa, namun orang yang mengingkari kefardhuan shalat ini tidak dihukumi kafir. Berbeda halnya dalam menghukumi shalat lima waktu, shalat tersebut dihukumi fardhu amali dani’tiqadi, sehingga orang yang meninggalkan shalat lima waktu terkena dosa dan orang yang mengingkari fardhunya shalat lima waktu dihukumi kafir. Ketentuan di atas berdasarkan prinsip bahwa meninggalkan hal wajib tidak terkena dosa seperti halnya dosanya meninggalkan perkara fardhu. Maka orang yang meninggalkan wajib tidak disiksa di nereka, hanya saja mereka dihalangi untuk mendapatkan syafaat Rasulullah ,” (Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh  ala al-Madzahib al-Arba’ah, juz 1, h. 58).

Meskipun shalat Witir dan shalat ‘Id masih diperselisihkan tentang kefardhuannya, namun baiknya dua shalat ini tidak ditinggalkan, sebab dalam fiqih dikenal sebuah kaidah “al-khuruj min al-khilaf mustahabbun” (keluar dari silang pendapat antara ulama adalah hal yang dianjurkan). Sehingga melaksanakan dua shalat yang masih diperselisihkan di atas, selain dihukumi sunnah berdasarkan hukum shalat itu sendiri, juga dihukumi sunnah dengan berdasarkan mengamalkan terhadap kaidah tersebut.

Selain dua shalat di atas, terdapat pula shalat yang juga dihukumi wajib dengan berdasarkan pada faktor-faktor lain, seperti shalat sunnah yang dinazari (terikat janji atau nazar). Misalnya, seseorang bernazar akan shalat tahajud selama seminggu berturut-turut jika lulus ujian. Shalat tahajud yang semula sunnah pun berubah status hukumnya menjadi wajib. Dalam shalat sunnah yang terikat nazar, kewajiban melaksanakannya bukan berdasarkan shalat sunnah itu sendiri (min haitsu as-shalat), tapi lebih karena nazar yang diucapkan oleh seseorang.

Shalat lain yang juga wajib dilaksanakan di luar ketentuan baku lima waktu adalah shalat qadha dari salah satu (atau lebih) shalat fardhu lima waktu yang pernah ditinggalkan. Qadha dalam shalat adalah melaksanakan shalat sesudah habisnya waktu, atau sesudah waktu yang tidak mencukupi untuk menyelesaikan satu rakaat atau lebih. Wajib bagi seseorang melaksanakan qadha shalat fardhu, baik karena tindak indisipliner yang tak disengaja (misalnya: lupa, tertidur) maupun disengaja (meski pelaku tetap berdosa karena kesengajaannya). Wallahu a’lam. []

Ustadz M. Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok Pesantren Annuriyah Kaliwining Rambipuji Jember 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar