Ketika Fatwa Imam Abu Hanifah Ditolak Ibunya
Dalam kitab Târîkh Baghdâd Madînah al-Sallâm, Imam al-Khatib al-Baghdadi memasukkan sebuah riwayat ketika ibu Imam Abu Hanifah tidak menerima fatwanya. Berikut riwayatnya:
أخبرنا
الخلاّل، أخبرنا الحريري أن النخعي حدثهم قال: حدّثنا أبو صالح البختريّ ابن
محمّد، حدّثنا يعقوب بن شيبة قال: حدثني سليمان بن منصور قال: حدثني حجر بن عبد الجبّار الحضرمي قال: كان في مسجدنا قاص
يقال له زرعة، فنسب مسجدنا إليه و هو مسجد الحضرميين، فأرادت أم أبي حنيفة أن
تستفتي في شيء فأفتاها أبو حنيفة فلم تقبل، فقالت: لا أقبل إلا ما يقول زرعة
القاص، فجاء بها أبو حنيفة إلى زرعة فقال: هذه أمي تستفتيك في كذا و كذا، فقال: أنت أعلم مني و أفقه، فأفتها أنت فقال أبو حنيفة قد أفتيتها
بكذا و كذا فقال زرعة القول كما قال أبو حنيفة، فرضيت و انصرفت.
Al-Khallal bercerita, al-Hariri bercerita,
bahwa al-Nakha’i bercerita kepada mereka, ia berkata: Abu Shalih bin Muhammad
bercerita, Ya’qub bin Syaibah bercerita, Sulaiman bin Mansur bercerita, Hujr
bin Abdul Jabbar al-Hadrami berkata:
Di masjid kami ada seorang tukang dongeng
bernama Zur’ah. Masjid kami dinisbatkan kepadanya, masjid orang-orang Hadrami.
(Suatu ketika) ibu Abu Hanifah meminta fatwa tentang sesuatu, lalu Abu Hanifah
memberinya fatwa, tapi ia tidak menerimanya.
Ia (ibu Abu Hanifah) berkata: “Aku tidak akan
menerima (fatwa) kecuali apa yang disampaikan Zur’ah al-Qash.”
Kemudian Abu Hanifah mengantar ibunya ke
(tempat) Zur’ah, ia berkata: “Ini ibuku, ia meminta fatwamu dalam hal begini
dan begini...”
Zur’ah menjawab: “Kau lebih berilmu dan lebih
memahami (ilmu fiqih) dibandingkanku, (seharusnya) kaulah yang memberinya
fatwa.” Abu Hanifah berkata: “Aku telah memberinya fatwa begini dan begini,
(tapi ia tidak menerimanya).”
Zur’ah berkata: “Ucapan(ku) sebagaimana yang
diucapkan Abu Hanifah.”
Maka sang ibu menerimanya dan pergi. (Imam
al-Khatib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd Madînah al-Sallâm, Beirut: Dar al-Gharb
al-Islamiy, 2002, juz 15, h. 501)
****
Kisah di atas mengajarkan beberapa hal kepada kita. Pertama, mengajarkan kerendahan-hati (tawadlu’). Dalam kisah di atas, ada dua kerendahan-hati yang perlu kita pahami. Kerendahan hati Imam Abu Hanifah dan kerendahan hati Zur’ah al-Qash.
Kisah di atas mengajarkan beberapa hal kepada kita. Pertama, mengajarkan kerendahan-hati (tawadlu’). Dalam kisah di atas, ada dua kerendahan-hati yang perlu kita pahami. Kerendahan hati Imam Abu Hanifah dan kerendahan hati Zur’ah al-Qash.
Kerendahan-hati Imam Abu Hanifah ditunjukkan
dengan mengantarkan ibunya secara langsung ke Zur’ah al-Qash. Ia tidak membujuk
ibunya untuk mempercayainya dengan membesarkan dirinya, bahwa ia seorang ahli
fiqih, ulama besar, dan seorang mujtahid, atau dengan mengatakan bahwa Zur’ah
bukanlah seorang ulama. Ia dengan senang hati mengantar ibunya ke tempat Zur’ah
tinggal.
Sementara kerendahan-hati Zur’ah ditunjukkan
dengan mengatakan, “Kau lebih berilmu dan lebih memahami (ilmu fiqih)
dibandingkanku.” Ia tidak bangga dengan kehadiran Imam Abu Hanifah dan ibunya
untuk bertanya sesuatu kepadanya. Ia tahu kapasitas keilmuannya tidak lebih
baik dari Abu Hanifah. Karena itu, ia tidak menggunakan kata “aftaituki” (aku
berfatwa kepadamu), tapi menggunakan kalimat, “al-qaul kamâ qâla Abû Hanîfah”
(ucapan[ku] sebagaimana ucapan Abu Hanifah). Penggunaan kata “al-qaul”
(perkataan/ucapan) menunjukkan kesadarannya tentang kapasitas dirinya, bahwa ia
belum pantas mengeluarkan fatwa, apalagi di hadapan seorang mujtahid seperti
Imam Abu Hanifah.
Kedua, mengajarkan bakti kepada orang tua
(birrul wâlidain). Dengan mengantarkan ibunya secara langsung, menunjukkan
bakti Imam Abu Hanifah kepada ibunya. Ia tidak takut orang akan menggunjingnya
karena mengantar ibunya bertanya perihal agama ke orang lain. Demi menyenangkan
ibunya, ia tak ragu melakukan sesuatu, yang dalam pandangan orang sekarang,
menurunkan kredibilitasnya sebagai ulama. Bisa jadi ada yang mengatakan, “Abu
Hanifah tidak bisa menjawab pertanyaan ibunya,” atau perkataan, “Ibunya sendiri
tidak mempercayainya.” Semua itu tidak digubrisnya. Baginya, berbakti kepada
orang tua jauh lebih penting dari kedudukannya.
Karena itu, jangan pernah sekalipun kita
meninggalkan bakti kepada orang tua, buat mereka bahagia, baik dalam sikap
maupun perkataan, apalagi sampai membuatnya bersedih dan menangis. Dalam sebuah
riwayat dikatakan (HR. Imam al-Bukhari):
حدثنا
حماد بن سلمة عن زياد بن مخراق عن طيسلة, أنه سمع ابن عمر يقول: بكاء الوالدين من
العقوق والكبائر
Hammad bin Salamah bercerita, dari Ziyad bin
Mikhraq, dari Thaysalah, sesungguhnya ia mendengar Ibnu Umar berkata: “Tangisan
kedua orang tua termasuk bentuk kedurhakaan dan dosa besar” (Imam al-Bukhari,
Adâb al-Mufrad, h. 19).
Ketiga, mengajarkan pendidikan. Bisa jadi
penolakan ibunya dilakukan untuk mendidik atau menguji anaknya, Imam Abu
Hanifah, yang telah menjadi ulama besar yang fatwanya diikuti hampir semua
orang. Bisa jadi ibunya sengaja melakukan itu untuk mengukur kedalaman anaknya.
Ia khawatir kemuliaan dan penghormatan telah menghanyutkan anaknya dalam lautan
ujub, takabbur dan riya. Jika memang demikian, itu berarti sang ibu sedang
menjalankan perannya sebagai madrasah, pendidik paling awal dan dekat untuk
anaknya.
Pertanyaannya, seberapa sering kita belajar
berendah hati, berbakti dan merasa ingin untuk dididik? Wallahu a’lam bish-shawwab.
[]
Muhammad Afiq Zahara, alumni PP.
Darussa’adah, Bulus, Kritig, Petanahan, Kebumen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar