Kamis, 13 Februari 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (22): Interaksi Hukum Islam dan Hukum Positif


Meluruskan Makna Jihad (22)
Interaksi Hukum Islam dan Hukum Positif
Oleh: Nasaruddin Umar

Hukum Islam dan hukum positif, kedua menuntut loyalitas penuh kepada satu objek yang sama, bangsa Indonesia. Hukum dan perundang-undangan negara dan hukum agama (syariah) selalu terjadi komunikasi dan interaksi positif, saling melengkapi satu sama lain.

Gagasan untuk mewujudkan hukum syariah sebagai salah satu unsur penting di dalam hukum nasional dan keinginan negara mengakomodasi anasir hukum agama, termasuk syariah, muncul sejak awal terbentuknya negeri ini.

Bangsa Indonesia yang dipadati umat Islam tentu tidak bisa dipisahkan dengan hukum-hukum agamanya. Karena itu, politik hukum Islam selalu menjadi isu di dalam Pembinaan Hukum nasional (PHN).

Islam salah satu agama yang memiliki kompleksitas ajaran yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai dari sistem teologi sampai sistem prilaku yang lebih rinci, hingga mengatur masuk ke kamar kecil dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan.

Dari kehidupan yang sangat pribadi seperti teknik berhubungan suami isteri sampai tata-cara pemilihan pemimpin bangsa. Dari urusan yang sangat lahiriah seperti tata-cara mandi junub sampai urusan yang sangat spiritual-batiniah seperti larangan menyekutukan Tuhan.

Berbagai kekhususan hukum Islam ini membuat repot pemerintah kolonialisme Belanda untuk melakukan unifikasi apalagi kodifikasi hukum nasional. Usaha untuk mewujudkan satu sistem hukum dalam wilayah Kepulauan Nusantara yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial sudah pernah dirintis sejak Van de Putte menjadi Menteri Kolonial Belanda untuk Indonesia pada 1870.

Untuk memudahkan kontrol warga masyarakat jajahannya, maka pemerintah kolonial selalu berusaha menciptakan suatu sistem hukum secara nasional. Usaha ini lebih kongkret lagi ketika Cowan menjadi Direktur Justisi yang ditugasi untuk menyusun Burerlijk Wetboek (BW) pada 1923.

Berkat usaha keras Van Vollen Hoven dan muridnya, Van den Berg yang diberi tugas untuk menyusun hukum BW ini, maka akhirnya berhasil, dan sampai kini kita bisa menyaksikan jejaknya di dalam hukum perdata kita yang hingga saat ini.

Salah satu hambatan yang dihadapi pemerintah kolonial dan konsultan hukumnya dalam mewujudkan adanya sistem hukum yang mengabdi untuk kepentingan nasional, antara lain majemuknya budaya dan terutama agama di Kepulauan Indonesia.

Lagi pula kebudayaan dan dan agama tidak terkonsentrasi di kepulauan tertentu berdasarkan budaya dan agama, melainkan menyebar dan membaur satu sama lain. Penganut agama Islam misalnya, tidak hanya terkonsentrasi di kepulauan tertentu tetapi hampir ada di semua kepulauan, demikian pula dengan agama-agama lain. Bahkan satu sama lain sudah melangsungkan kawin mawin antaretnik sesama agama.

Pembauran antara hukum adat dan hukum agama, khususnya agama Islam, memberikan kontribusi besar di dalam menyatukan bangsa Indonesia. Beberapa kali Indonesia mengalami kekosongan pemerintahan secara de jure, namun Indonesia tetap utuh, seolah-olah masyarakat Indonesia sedari dulu terbiasa sebagai bangsa atau negara auto pilot. Pemerintahan boleh berganti, tetapi hukum adat dan hukum agama tetap berjalan di level arus bawah.

Tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh agama dengan sendirinya berperan sangat besar di dalam melestarikan keutuhan bangsa Indonesia. Pemerintah nasional sebaiknya tidak menghilangkan peran tokoh-tokoh masyarakat lokal seperti para tokoh adat dan agama karena sudah sesuai dengan realitas masyarakat bangsa Indonesia.

Keutuhan bangsa Indonesia tidak tepat diklaim oleh seorang tokoh atau rezim karena de facto masyarakat Indonesia yang mendiami gugusan kepulauan (besar dan kecil) berlaku hukum-hukum khusus dalam teritori mereka. []

DETIK, 31 Jan 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar