Meluruskan Makna Jihad (22)
Interaksi Hukum Islam dan Hukum Positif
Oleh: Nasaruddin Umar
Hukum Islam dan hukum positif, kedua menuntut loyalitas penuh
kepada satu objek yang sama, bangsa Indonesia. Hukum dan perundang-undangan
negara dan hukum agama (syariah) selalu terjadi komunikasi dan interaksi
positif, saling melengkapi satu sama lain.
Gagasan untuk mewujudkan hukum syariah sebagai salah satu unsur
penting di dalam hukum nasional dan keinginan negara mengakomodasi anasir hukum
agama, termasuk syariah, muncul sejak awal terbentuknya negeri ini.
Bangsa Indonesia yang dipadati umat Islam tentu tidak bisa
dipisahkan dengan hukum-hukum agamanya. Karena itu, politik hukum Islam selalu
menjadi isu di dalam Pembinaan Hukum nasional (PHN).
Islam salah satu agama yang memiliki kompleksitas ajaran yang
meliputi seluruh aspek kehidupan. Mulai dari sistem teologi sampai sistem
prilaku yang lebih rinci, hingga mengatur masuk ke kamar kecil dengan kaki kiri
dan keluar dengan kaki kanan.
Dari kehidupan yang sangat pribadi seperti teknik berhubungan
suami isteri sampai tata-cara pemilihan pemimpin bangsa. Dari urusan yang
sangat lahiriah seperti tata-cara mandi junub sampai urusan yang sangat
spiritual-batiniah seperti larangan menyekutukan Tuhan.
Berbagai kekhususan hukum Islam ini membuat repot pemerintah
kolonialisme Belanda untuk melakukan unifikasi apalagi kodifikasi hukum
nasional. Usaha untuk mewujudkan satu sistem hukum dalam wilayah Kepulauan
Nusantara yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial sudah pernah
dirintis sejak Van de Putte menjadi Menteri Kolonial Belanda untuk Indonesia
pada 1870.
Untuk memudahkan kontrol warga masyarakat jajahannya, maka
pemerintah kolonial selalu berusaha menciptakan suatu sistem hukum secara
nasional. Usaha ini lebih kongkret lagi ketika Cowan menjadi Direktur Justisi
yang ditugasi untuk menyusun Burerlijk Wetboek (BW) pada 1923.
Berkat usaha keras Van Vollen Hoven dan muridnya, Van den Berg
yang diberi tugas untuk menyusun hukum BW ini, maka akhirnya berhasil, dan
sampai kini kita bisa menyaksikan jejaknya di dalam hukum perdata kita yang
hingga saat ini.
Salah satu hambatan yang dihadapi pemerintah kolonial dan
konsultan hukumnya dalam mewujudkan adanya sistem hukum yang mengabdi untuk
kepentingan nasional, antara lain majemuknya budaya dan terutama agama di
Kepulauan Indonesia.
Lagi pula kebudayaan dan dan agama tidak terkonsentrasi di
kepulauan tertentu berdasarkan budaya dan agama, melainkan menyebar dan membaur
satu sama lain. Penganut agama Islam misalnya, tidak hanya terkonsentrasi di
kepulauan tertentu tetapi hampir ada di semua kepulauan, demikian pula dengan
agama-agama lain. Bahkan satu sama lain sudah melangsungkan kawin mawin
antaretnik sesama agama.
Pembauran antara hukum adat dan hukum agama, khususnya agama
Islam, memberikan kontribusi besar di dalam menyatukan bangsa Indonesia.
Beberapa kali Indonesia mengalami kekosongan pemerintahan secara de jure, namun Indonesia
tetap utuh, seolah-olah masyarakat Indonesia sedari dulu terbiasa sebagai
bangsa atau negara auto pilot. Pemerintahan boleh berganti, tetapi hukum adat
dan hukum agama tetap berjalan di level arus bawah.
Tokoh-tokoh adat dan tokoh-tokoh agama dengan sendirinya berperan
sangat besar di dalam melestarikan keutuhan bangsa Indonesia. Pemerintah
nasional sebaiknya tidak menghilangkan peran tokoh-tokoh masyarakat lokal
seperti para tokoh adat dan agama karena sudah sesuai dengan realitas
masyarakat bangsa Indonesia.
Keutuhan bangsa Indonesia tidak tepat diklaim oleh seorang tokoh
atau rezim karena de facto
masyarakat Indonesia yang mendiami gugusan kepulauan (besar dan kecil) berlaku
hukum-hukum khusus dalam teritori mereka. []
DETIK, 31 Jan 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar