Kamis, 13 Februari 2020

Gus Ipul: Gus Sholah, Terima Kasih Telah Menjaga NKRI!


Gus Sholah, Terima Kasih Telah Menjaga NKRI!
Oleh: Saifullah Yusuf

KETIKA semangat heroisme dan patriotisme umat menipis karena banyak faktor, termasuk akibat hedonisme yang akut, Sultan Saladin alias Salahuddin Al Ayyubi tampil sebagai figur yang memberi harapan. Sejarah mencatat, sosok itu merupakan salah seorang tokoh muslim terbesar. Figurnya menjulang hingga disegani banyak pemimpin dunia pada masanya.

Konon, menurut sanad mutawatir, pemberian nama Salahuddin terinspirasi oleh kepahlawanan sang sultan. Di tangan Saladin, semua kekuatan Islam yang terserak ke dalam banyak perbedaan, sekte, mazhab, pandangan, pemikiran, dan kutub politik, belakangan disatukan untuk membendung gelombang serbuan lawan.

Semangat itu pula yang terus dinyalakan oleh Gus Sholah, sapaan akrab KH Salahuddin Wahid, hingga Allah SWT memanggilnya pada Minggu malam (2/2). Menurut Gus Ipang atau Irfan Asy’ari Wahid, putra almarhum, Gus Sholah menjelang kapundhut tidak pernah berhenti meyakinkan banyak pihak yang masih ragu bahwa perbedaan adalah kekayaan sekaligus kekuatan bangsa Indonesia.

”Saat menunggu operasi, Gus Sholah tetap aktif menuliskan pikiran-pikirannya tentang NKRI lewat gadget,” kata Gus Ipang. Penulis sendiri, setiap sempat, meminta update perkembangan persiapan operasi Gus Sholah melalui Gus Ipang. Hingga akhirnya datang kabar yang menggedor dada bahwa pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang, itu mangkat. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, selamat jalan, Pak Lik!

Dari ingatan penulis, Gus Sholah adalah sosok yang memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi. Berbeda adalah sesuatu yang jamak ditemukan dalam hubungan antaranggota di keluarga besar Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kakak kandung Gus Sholah. Kebetulan, kurang lebih selama 10 tahun penulis ikut ”hidup” di tengah keluarga Gus Dur. Bergaul dengan mereka, termasuk dengan Gus Sholah.

Setiap datangnya akhir pekan atau hari-hari tertentu, Gus Dur secara berkala menjadwal kunjungan silaturahmi ke ibundanya, Ibu Wahid Hasyim, dan ke saudara-saudaranya. Kebiasaan itu dilakukan oleh semua anggota keluarga. Di tengah acara saling kunjung tersebut, sering terjadi pembicaraan yang mengarah pada perbedaan sudut pandang atas suatu masalah. Penulis menyaksikan langsung interaksi antarkeluarga tersebut.

Gus Sholah sangat menjunjung tinggi adanya perbedaan karena meyakini bahwa setiap orang memiliki pandangan yang belum tentu sama, tapi tetap sesuai koridor sehingga menjadikan seseorang lebih bijak.

Ketika orang ramai membicarakan kelahiran Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI), publik tahu benar bagaimana runcingnya perbedaan pandangan antara dua putra KH Abdul Wahid Hasyim itu. Gus Dur berada di garda depan penentang ICMI. Sedang Gus Sholah justru jadi pengurus teras organisasi besutan penguasa Orde Baru itu.

Senior Research Fellow di Asia Research Institute, National University of Singapore, Robin Bush dalam buku Nahdlatul Ulama and the Struggle for Power within Islam and Politics in Indonesia mencatat, Gus Sholah berdebat secara terbuka dengan Gus Dur soal bagaimana gagasan KH Wahid Hasyim diimplementasikan di Indonesia. Perdebatan publik itu berlangsung dengan saling balas artikel opini di salah satu media ibu kota yang terbit mulai 8 hingga 23 Oktober 1998.

Ketika Gus Dur menyikapi lahirnya reformasi dengan membidani kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Sholah juga tidak satu pemikiran. Alasannya, NU terlalu besar untuk diagregasi hanya oleh PKB. Bagi Gus Sholah, NU berpotensi menjadi kecil jika mengarahkan dukungan hanya kepada satu partai politik tertentu, karena arahan Pengurus Besar NU (PB NU) tidak serta-merta diikuti di akar rumput.

Dengan sikap dan pikirannya itu, Gus Sholah telah memainkan peran yang tidak kecil. Beliau ikut aktif menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sosoknya begitu menjulang di tengah diskurus pentingnya menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai sintesis atas beragam pandangan mengenai kenegaraan dan ke-Indonesia-an mutakhir.

Sebagai sosok yang lahir dari rahim Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Gus Sholah sangat memahami bagaimana Islam dan Indonesia harus berjalan beriringan. Inilah warisan yang diperoleh dari ayah dan kakeknya, dua pahlawan nasional. Pandangan dan pikirannya soal NKRI mudah ditemukan di berbagai karya intelektualnya, baik esai, artikel, maupun buku. Gus Sholah menerbitkan sebuah buku berjudul Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan melalui penerbit Pustaka Tebuireng pada 2017.

Sedangkan komitmen kebangsaannya almarhum tunjukkan semasa duduk menjadi anggota MPR pada masa-masa awal reformasi 1998. Tidak itu saja. Pembelaannya atas kemanusiaan juga dibuktikan saat menjadi wakil ketua Komnas HAM pada 2002. Sejumlah pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masuk ke meja kerjanya.

Setelah hiruk pikuk Pilpres 2004, Gus Sholah kembali ke Jombang. Beliau mengasuh pesantren yang dirintis dan dibesarkan oleh keluarga besarnya, yakni Pondok Pesantren Tebuireng. Beliau memantapkan khidmah ke-Islam-an, kebangsaan, dan ke-Indonesia-annya dengan mengasuh pesantren dan tetap menuangkan gagasan intelektualnya dengan aktif menulis sampai akhir hayatnya. Selamat jalan, Gus Sholah. Terima kasih telah menjaga NKRI! []

JAWA POS, 4 Februari 2020
Saifullah Yusuf | Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar