Gus Sholah, Terima Kasih Telah Menjaga NKRI!
Oleh: Saifullah Yusuf
KETIKA semangat heroisme dan patriotisme umat menipis karena
banyak faktor, termasuk akibat hedonisme yang akut, Sultan Saladin alias
Salahuddin Al Ayyubi tampil sebagai figur yang memberi harapan. Sejarah
mencatat, sosok itu merupakan salah seorang tokoh muslim terbesar. Figurnya
menjulang hingga disegani banyak pemimpin dunia pada masanya.
Konon, menurut sanad mutawatir, pemberian nama Salahuddin
terinspirasi oleh kepahlawanan sang sultan. Di tangan Saladin, semua kekuatan
Islam yang terserak ke dalam banyak perbedaan, sekte, mazhab, pandangan,
pemikiran, dan kutub politik, belakangan disatukan untuk membendung gelombang
serbuan lawan.
Semangat itu pula yang terus dinyalakan oleh Gus Sholah, sapaan
akrab KH Salahuddin Wahid, hingga Allah SWT memanggilnya pada Minggu malam
(2/2). Menurut Gus Ipang atau Irfan Asy’ari Wahid, putra almarhum, Gus Sholah
menjelang kapundhut tidak pernah berhenti meyakinkan banyak pihak yang masih
ragu bahwa perbedaan adalah kekayaan sekaligus kekuatan bangsa Indonesia.
”Saat menunggu operasi, Gus Sholah tetap aktif menuliskan
pikiran-pikirannya tentang NKRI lewat gadget,” kata Gus Ipang. Penulis sendiri,
setiap sempat, meminta update perkembangan persiapan operasi Gus Sholah melalui
Gus Ipang. Hingga akhirnya datang kabar yang menggedor dada bahwa pengasuh
Pesantren Tebuireng, Jombang, itu mangkat. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun,
selamat jalan, Pak Lik!
Dari ingatan penulis, Gus Sholah adalah sosok yang memegang teguh
prinsip-prinsip demokrasi. Berbeda adalah sesuatu yang jamak ditemukan dalam
hubungan antaranggota di keluarga besar Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, kakak
kandung Gus Sholah. Kebetulan, kurang lebih selama 10 tahun penulis ikut ”hidup”
di tengah keluarga Gus Dur. Bergaul dengan mereka, termasuk dengan Gus Sholah.
Setiap datangnya akhir pekan atau hari-hari tertentu, Gus Dur
secara berkala menjadwal kunjungan silaturahmi ke ibundanya, Ibu Wahid Hasyim,
dan ke saudara-saudaranya. Kebiasaan itu dilakukan oleh semua anggota keluarga.
Di tengah acara saling kunjung tersebut, sering terjadi pembicaraan yang
mengarah pada perbedaan sudut pandang atas suatu masalah. Penulis menyaksikan
langsung interaksi antarkeluarga tersebut.
Gus Sholah sangat menjunjung tinggi adanya perbedaan karena
meyakini bahwa setiap orang memiliki pandangan yang belum tentu sama, tapi
tetap sesuai koridor sehingga menjadikan seseorang lebih bijak.
Ketika orang ramai membicarakan kelahiran Ikatan Cendekiawan
Muslim Se-Indonesia (ICMI), publik tahu benar bagaimana runcingnya perbedaan
pandangan antara dua putra KH Abdul Wahid Hasyim itu. Gus Dur berada di garda
depan penentang ICMI. Sedang Gus Sholah justru jadi pengurus teras organisasi
besutan penguasa Orde Baru itu.
Senior Research Fellow di Asia Research Institute, National
University of Singapore, Robin Bush dalam buku Nahdlatul Ulama and the Struggle
for Power within Islam and Politics in Indonesia mencatat, Gus Sholah berdebat
secara terbuka dengan Gus Dur soal bagaimana gagasan KH Wahid Hasyim
diimplementasikan di Indonesia. Perdebatan publik itu berlangsung dengan saling
balas artikel opini di salah satu media ibu kota yang terbit mulai 8 hingga 23
Oktober 1998.
Ketika Gus Dur menyikapi lahirnya reformasi dengan membidani
kelahiran Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Gus Sholah juga tidak satu
pemikiran. Alasannya, NU terlalu besar untuk diagregasi hanya oleh PKB. Bagi
Gus Sholah, NU berpotensi menjadi kecil jika mengarahkan dukungan hanya kepada
satu partai politik tertentu, karena arahan Pengurus Besar NU (PB NU) tidak
serta-merta diikuti di akar rumput.
Dengan sikap dan pikirannya itu, Gus Sholah telah memainkan peran
yang tidak kecil. Beliau ikut aktif menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Sosoknya begitu menjulang
di tengah diskurus pentingnya menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai sintesis
atas beragam pandangan mengenai kenegaraan dan ke-Indonesia-an mutakhir.
Sebagai sosok yang lahir dari rahim Pondok Pesantren Tebuireng,
Jombang, Gus Sholah sangat memahami bagaimana Islam dan Indonesia harus
berjalan beriringan. Inilah warisan yang diperoleh dari ayah dan kakeknya, dua
pahlawan nasional. Pandangan dan pikirannya soal NKRI mudah ditemukan di
berbagai karya intelektualnya, baik esai, artikel, maupun buku. Gus Sholah
menerbitkan sebuah buku berjudul Memadukan Keislaman dan Keindonesiaan melalui
penerbit Pustaka Tebuireng pada 2017.
Sedangkan komitmen kebangsaannya almarhum tunjukkan semasa duduk
menjadi anggota MPR pada masa-masa awal reformasi 1998. Tidak itu saja.
Pembelaannya atas kemanusiaan juga dibuktikan saat menjadi wakil ketua Komnas
HAM pada 2002. Sejumlah pengaduan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
masuk ke meja kerjanya.
Setelah hiruk pikuk Pilpres 2004, Gus Sholah kembali ke Jombang.
Beliau mengasuh pesantren yang dirintis dan dibesarkan oleh keluarga besarnya,
yakni Pondok Pesantren Tebuireng. Beliau memantapkan khidmah ke-Islam-an,
kebangsaan, dan ke-Indonesia-annya dengan mengasuh pesantren dan tetap
menuangkan gagasan intelektualnya dengan aktif menulis sampai akhir hayatnya.
Selamat jalan, Gus Sholah. Terima kasih telah menjaga NKRI! []
JAWA POS, 4 Februari 2020
Saifullah Yusuf | Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar