Shumubu, Embrio
Berdirinya Kementerian Agama
Perjuangan seluruh elemen bangsa Indonesia, terutama umat Islam dalam melawan penjajah memberikan efek kejut yang luar biasa, baik saat rakyat Indonesia dijajah oleh Belanda maupun Jepang (Nippon). Jepang masuk ke Indonesia pada Maret 1942 tepatnya setelah meruntuhkan kolonialisme Belanda. Mengaku sebagai ‘suadara tua’ kepada rakyat Indonesia, kenyataannya Jepang tidak berbeda dengan pendahulunya, Belanda.
Keberadaannya di
Indonesia tak kurang kejam dibanding Belanda. Mereka tak segan menangkap,
menyiksa, dan menghabisi rakyat yang tidak mendukung eksistensi Pemerintahan
Nippon dengan segala sistemnya.
Bahkan, seperti yang
dilakukan juga oleh Belanda, Jepang memberikan perhatian dan sorotan khusus
terhadap gerak-gerik masyarakat Islam. Cara pengawasannya hampir sama, yaitu
dengan mengirimkan orang khusus yang bertugas mongorek segala sesuatu tentang
informasi pergerakan umat Islam. Pihak Belanda menugaskan Snouck Hurgronje yang
juga dikenal sebagai Abdul Ghaffar sebagai mata-mata. Sedangkan Jepang ada Abdul
Hamid Ono, Muhammad Shaleh Suzuki, dan Abdul Mun’im Inada.
Sadar bahwa model
spionase tidak banyak membantu, bahkan semakin membuat umat Islam melakukan
pergerakan masif, Jepang menggunakan siasat lain. Mereka menginginkan seluruh
umat Islam dari lintas kelompok dan organisasi diwadahi menjadi satu. Jepang
membentuk Kantor Jawatan Agama (Shumubu).
Salah satu perhatian
besar Pimpinan Tentara Jepang ialah sosok ulama kharismatik, Hadlratussyekh KH
Hasyim Asy’ari untuk memimpin Shumubu. Nouruzzaman Shiddiqi dalam Menguak
Sejarah Muslim (1983) mengungkap bahwa tiga orang Jepang yang sudah haji, Abdul
Hamid Ono, Muhammad Shaleh Suzuki, dan Abdul Mun’im Inada awalnya ditunjuk oleh
Jepang dalam pembentukan Shumubu.
Setelah ditangkap
Jepang karena dituduh memberontak lalu menghabiskan sekitar empat bulan dengan
siksaan pedih di penjara, Kiai Hasyim Asy’ari tidak begitu saja menyerah dalam
upaya diplomasi kemerdekaan Indonesia. Putranya KH Wahid Hasyim senantiasa
mendampingi beliau, termasuk saat Kiai Hasyim Asy’ari diundang pertemuan dengan
Pimpinan Tentara Jepang di Jakarta untuk membahas pembentukan Shumubu.
Perjuangan KH Hasyim
Asy’ari beserta Gus Wahid Hasyim dan para ulama pesantren tidak hanya
memperkuat spiritualitas, tetapi juga menanamkan cinta tanah air dan spirit
nasionalisme yang tinggi. Kharisma tersebut membuat Kiai Hasyim Asy’ari
ditunjuk oleh Jepang untuk memimpin Shumubu yang dibentuk Jepang pada Mei 1942.
Tetapi Hadhratussyekh menyerahkan kepemimpinan Shumubu kepada Kiai Wahid
Hasyim. Selanjutnya, Kiai Wahid berupaya mendirikan Kantor Jawatan Agama yang
berlokasi di daerah-daerah (Shumuka) yang dipimpin oleh seorang Shumuka-cho.
Catatan Choirul Anam
dalam Pertumbuhan dan Perkembangan NU (2010) menjelaskan bahwa visi Kiai Wahid
Hasyim membentuk Shumuka-cho tidak lain untuk memperkuat konsolidasi
urusan-urusan agama di daerah bagi keperluan perjuangan bangsa Indonesia secara
umum. Sebelumnya, Kiai Wahid memang melakukan diplomasi dengan Jepang untuk
mendirikan Shumuka meskipun pada awalnya berdiri hanya di Jawa dan Madura.
Setelah potensi umat
Islam terbina dengan baik melalui jalur Masyumi, Hizbullah, Shumubu, dan
Shumuka, Kiai Wahid Hasyim kembali memusatkan perhatiannya pada janji
kemerdekaan yang dipidatokan oleh Perdana Menteri Jepang Kunaiki Koiso pada 7
September 1944. Di sini terlihat kepiawaian Kiai Wahid Hasyim dalam menyikapi
pembentukan Shumubu oleh Jepang.
Tujuan Jepang untuk
menampung umat Islam ke dalam sebuah wadah dan menarik ulama ke struktur
birokrasi agar mudah dikontrol justru dimanfaatkan oleh Kiai Wahid Hasyim untuk
membentuk Kantor Jawatan Agama di berbagai daerah, tujuannya memperkuat
konsolidasi dan transfer informasi. Transfer informasi ke sejumlah Shumuka
terkait pergerakan Jepang ini penting untuk kemudian disampaikan ke masyarakat
secara luas.
Sejarawan mencatat,
pembentukan Shumubu menguntungkan bangsa Indonesia, baik di bidang
sosial-keagamaan, pendidikan maupun politik. Administrasi Shumubu ternyata
memberikan banyak manfaat bagi umat Islam pasca-kemerdekaan. Sebab itu, Shumubu
lalu ditetapkan sebagai departemen independen pada 3 Januari 1946. Kemudian
lembaga ini ditetapkan sebagai Departemen Agama yang lalu beralih nama menjadi
Kementerian Agama dengan KH Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama pertama. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar