Makanan-Minuman Kejatuhan
Serangga, Apakah Najis?
Serangga seringkali berlalu-lalang di sekitar
kita. Selain kadang mengganggu aktivitas, juga menimbulkan sejumlah
permasalahan hukum Islam, misalnya ketika serangga hinggap di makanan atau
minuman yang akan kita konsumsi: apakah makanan atau minuman itu berstatus
najis, sehingga tidak boleh untuk kita konsumsi; atau sebaliknya, tetap suci
sehingga masih halal dikonsumsi?
Dalam menyikapi problem tersebut, perlu
dikaji dari berbagai dalil yang ada. Rasulullah dalam salah satu haditsnya
pernah menjelaskan hal ini:
إِذَا
سَقَطَ الذُّبَابُ فِى شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ كُلَّهُ ثُمَّ
لِيَنْزِعْهُ ، فَإِنَّ فِى أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِى الآخَرِ شِفَاءً
“Ketika lalat jatuh pada minuman kalian, maka
benamkan lalat itu lalu ambillah. Sesungguhnya pada salah satu sayapnya
terkandung suatu penyakit dan pada sayap yang lain terkandung kesembuhan.” (HR
Bukhari)
Hadits di atas seolah menegaskan bahwa lalat
ketika jatuh pada makanan bukanlah hal yang perlu dipermasalahkan, sehingga
tetap dihukumi suci dan dapat dikonsumsi, bahkan terdapat hikmah lain yang
terkandung di dalamnya. Namun apakah para ulama fiqih dalam mengaji
permasalahan ini berkesimpulan tetap suci?
Dalam menjawab permasalahan diatas, perlu
dibedakan antara serangga yang telah mati atau menjadi bangkai dan serangga
yang masih hidup. Sebab perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap status
makanan yang kejatuhan serangga.
Pendapat para ulama fiqih tentang serangga
mati pada makanan dan minuman terbagi setidaknya dalam dua kelompok, yakni
mereka yang berpandangan tetap suci dan mereka yang berpandangan menjadi najis.
Hal ini berdasarkan analogi dalam permasalahan jatuhnya serangga pada air yang
mana terdapat dua pendapat tentang status suci tidaknya air tersebut. Analogi
ini seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ala
Syarh al-Muhadzab:
القولان
بنجاسة الماء بموته يجريان في جميع المائعات والأطعمة صرح به أصحابنا واتفقوا عليه
والصحيح في الجميع الطهارة للحديث وعموم البلوى وعسر الاحتراز
“Dua pendapat dalam status najisnya air sebab
matinya hewan yang tidak keluar darah ketika tubuhnya dibedah, juga berlaku
pada semua benda cair dan makanan. Hal tersebut ditegaskan oleh para al-Ashab
dan mereka menyepakati hal ini. Pendapat yang sahih pada semua permasalahan di
atas adalah tetap berstatus suci karena terdapat hadits yang menjelaskannya dan
karena seringnya hal ini terjadi sekaligus sulit untuk menghindarinya.” (Syekh
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab, juz 1, hal. 130)
Namun kesucian makanan yang kejatuhan
serangga menurut ulama yang tetap menganggapnya suci pada makanan tersebut
dibatasi selama jatuhnya serangga tidak sampai mengubah makanan atau minuman
baik dari segi rasa, warna, ataupun bau. Jika manakan sampai berubah dengan
jatuhnya serangga, maka makanan tersebut dihukumi najis dan tidak boleh untuk
dikonsumsi. Batasan ini seperti yang dikutip dalam kitab Fath al-Mu’in:
لا
بوصول ميتة لا دم لجنسها سائل عند شق عضو منها كعقرب ووزع إلا إن تغير ما أصابته
ولو يسيرا فحينئذ ينجس
“Air tidak najis sebab jatuhnya bangkai
yang tidak ada darah yang keluar ketika dibedah tubuhnya, seperti kalajengking
dan tokek, kecuali sampai mengubah terhadap air yang dijatuhi hewan tersebut,
meskipun perubahannya hanya sedikit, maka ketika air berubah, statusnya menjadi
najis.” (Syekh Zainuddin al-Maliabar, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 33)
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa status makanan dan minuman yang kejatuhan serangga
diperselisihkan oleh para ulama antara yang menghukumi suci dan najis. Namun
menurut pendapat yang sahih makanan dan minuman tersebut tetap berstatus suci
dan dapat dikonsumsi selama tidak terdapat perubahan dalam makanan dan minuman.
Dua pendapat di atas berlaku ketika serangga
yang jatuh pada makanan masih wujud dan dapat dilihat. Sedangkan ketika
serangga jatuh pada makanan dan hancur lebur pada makanan, maka menurut
al-Ghazali makanan tersebut tetap dapat dikonsumsi. Hal ini misalnya ketika
serangga jatuh pada makanan yang sedang dimasak dan larut pada makanan itu.
Penjelasan ini secara tegas disampaikan dalam kitab Hasyiyah al-Jamal yang
mengutip redaksi dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din:
ففي
الإحياء في كتاب الحلال والحرام أنه إذا وقعت نحلة أو ذبابة في قدر طبيخ وتهرت
أجزاؤها لا يحرم أكل ذلك الطبيخ ؛ لأن تحريم أكل الذباب ونحوه إنما كان للاستقذار
ولا يعد هذا مستقذرا
“Dalam kitab Ihya’ tepatnya dalam membahas
bab halal-haram dijelaskan bahwa ketika tawon atau lalat jatuh pada wadah
masakan, dan bagian tubuh hewan hancur (pada makanan) maka tidak haram
mengonsumsi masakan tersebut. Sebab keharaman mengonsumsi lalat dan sejenisnya
dikarenakan menjijikkan, sedangkan dalam permasalahan ini lalat sudah tidak
dianggap menjijikkan.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz 22,
hal. 232).
Berbeda halnya ketika serangga yang jatuh
pada makanan atau minuman dalam keadaan masih hidup, maka status makanan dan
minuman tersebut tetap dihukumi suci selama tidak terlihat oleh mata bahwa
serangga yang jatuh itu membawa najis. Selagi kita tak menyaksikan najis itu
dan tak melihat secara pasti serangga tersebut pernah menempel pada benda
najis, maka status makanan adalah suci alias tetap dapat dikonsumsi.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
status makanan yang kejatuhan serangga diperinci: ketika serangga yang terdapat
pada makanan sudah menjadi bangkai, maka terjadi dua perbedaan pendapat ulama.
Menurut pendapat yang sahih, makanan tetap dihukumi suci dan dapat dikonsumsi.
Sedangkan ketika serangga yang terdapat pada makanan masih dalam keadaan hidup,
maka secara umum makanan tetap dihukumi suci selama tidak terlihat mata bahwa
dalam serangga menempel benda najis. Wallahu a’lam. []
Ustadz Ali Zainal Abidin, pengajar di Pondok
Pesantren Kaliwining Jember Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar