Kamis, 30 Januari 2020

(Ngaji of the Day) Apakah Hadits Nabi Dicatat Sejak Masa Sahabat?


Apakah Hadits Nabi Dicatat Sejak Masa Sahabat?

Dalam kajian ilmu hadits, para ulama kebanyakan menyebutkan bahwa permulaan hadits disusun dan dicatat adalah sekitar abad kedua Hijriyah oleh Ibnu Syihab az Zuhri, atas titah Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Malik bin Anas.

Disebabkan oleh jauhnya jarak waktu antara masa hidup Nabi dengan mulai disusunnya kitab-kitab hadits, hal ini menjadi sasaran kritik pengkaji hadits orientalis maupun kalangan Muslim sendiri. Keaslian hadits sebagai sumber hukum Islam diragukan.

Mereka menyebutkan bahwa keterlambatan penyusunan hadits ini disebabkan beberapa kecenderungan. Pertama, konon budaya lisan di periode awal Islam lebih populer bagi kalangan sahabat dan tabi'in, begitu pula kemampuan hafalan mereka yang luar biasa. Alasan kedua adalah memang Nabi melarang para sahabat untuk menulis hadits. Kemudian yang terakhir, para sahabat memang kebanyakan tidak mampu menulis.

Bagaimana mungkin sejarah yang sudah terpaut nyaris dua abad bisa dicatat secara tepat? Sejauh mana budaya lisan bisa dipercaya dibanding tulisan?

Menjawab hal itu, seorang Begawan hadits Syekh Muhammad Mustafa Azami menyatakan bahwa hadits Nabi telah dicatat sejak masa sahabat. Dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Syekh Azami menyimpulkan beberapa catatan penting terkait bagaimana hadits sebenarnya telah dicatat sejak masa Rasulullah hidup.

Para sahabat, berikut tabi'in pendahulu, dianggap lebih mengutamakan kemampuan hafalan dan budaya lisan. Hal ini menjadi musykil melihat realitas bahwa meski kecerdasan seseorang bisa sangat hebat, namun tak bisa dipungkiri bahwa melakukan generalisir, gebyah uyah, bahwa seluruh sahabat memang hebat hafalannya adalah kesimpulan yang terburu-buru. Kecerdasan manusia tentu sangat beragam. Maka, pencatatan hadits dibutuhkan sejak masa awal Islam.

Selanjutnya adalah larangan Rasulullah untuk menulis hadits. Azami meneliti sekian hadits yang menjadi alasan bahwa hadits dilarang ditulis oleh Rasulullah. Dari sekian riwayat, hanya satu yang menurut beliau bisa dipertimbangkan, yaitu riwayat dari Abu Said al Khudri dalam Shahih Muslim.

لَا تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ، وَحَدِّثُوا عَنِّي، وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ - قَالَ هَمَّامٌ: أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

Artinya: “...Janganlah menulis ucapanku, dan barangsiapa menulis ucapanku selain Al-Qur’an, hendaknya ia menghapusnya. Dan barangsiapa mendusta atas diriku – kata Hammam, saya kira. Nabi bersabda – dengan sengaja, maka bersiaplah untuk masuk neraka.”

Terkait larangan Nabi untuk menulis hadits sebagaimana di atas, Imam Khatib al-Baghdadi menyebutkan bahwa beberapa sahabat dan tabi’in memiliki motif tersendiri mengapa mereka enggan untuk mencatat hadits. 

Salah satu alasan yang populer adalah khawatir tercampurnya isi hadits dengan Al Qur’an. Nabi melarang menulis hadits, bersamaan dengan menulis Al-Qur’an alih-alih di lembar yang sama agar tidak campur aduk. Demikian penjelasan hadits di atas, sebagaimana dijelaskan Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.

Nabi selama hidup banyak berurusan dengan banyak penguasa di luar Madinah.Terjadi surat menyurat dari Nabi kepada mereka. Dengan demikian, tentunya para sahabat banyak yang memiliki kemampuan menulis yang baik untuk tugas menulis surat itu. Begitupun Al-Qur’an yang juga banyak ditulis di lembaran maupun pelepah kurma. Alasan bahwa kebanyakan sahabat tidak dapat menulis dapat terbantahkan.

Banyak hadits-hadits shahih yang menyebutkan bahwa Nabi mengizinkan para sahabat untuk menulis hadits dari beliau, baik yang berupa surat, maupun pernyataan dan ibadah beliau. Beberapa sahabat seperti Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Ali bin Abu Thalib, disebutkan pernah menulis hadits dari Nabi.

Dari berbagai keterangan di atas, penting diketahui meskipun para sahabat dan tabi'in masa awal sangat memerhatikan kemungkinan tercampurnya lafal Al-Qur’an dan hadits, namun hal ini tidak menghalangi bahwa Nabi sendiri sudah memperkenankan hadits-hadits dari beliau untuk dicatat dan disebarkan ke generasi selanjutnya. 

Maka menolak hadits karena alasan bahwa ia tidak tercatat sedari masa Nabi, agaknya kurang tepat. Nabi sendiri memperkenankan hadits dan ucapan beliau ditulis selama tidak bersamaan dengan Al-Qur’an. Penjelasan ini kiranya dapat menambah semangat untuk mempelajari pribadi Nabi secara bijak. Wallahu a’lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar