Apakah Hadits Nabi Dicatat
Sejak Masa Sahabat?
Dalam kajian ilmu hadits, para ulama
kebanyakan menyebutkan bahwa permulaan hadits disusun dan dicatat adalah
sekitar abad kedua Hijriyah oleh Ibnu Syihab az Zuhri, atas titah Khalifah Umar
bin Abdul Aziz dari Dinasti Umayyah. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Malik bin
Anas.
Disebabkan oleh jauhnya jarak waktu antara
masa hidup Nabi dengan mulai disusunnya kitab-kitab hadits, hal ini menjadi
sasaran kritik pengkaji hadits orientalis maupun kalangan Muslim sendiri.
Keaslian hadits sebagai sumber hukum Islam diragukan.
Mereka menyebutkan bahwa keterlambatan
penyusunan hadits ini disebabkan beberapa kecenderungan. Pertama, konon budaya
lisan di periode awal Islam lebih populer bagi kalangan sahabat dan tabi'in,
begitu pula kemampuan hafalan mereka yang luar biasa. Alasan kedua adalah
memang Nabi melarang para sahabat untuk menulis hadits. Kemudian yang terakhir,
para sahabat memang kebanyakan tidak mampu menulis.
Bagaimana mungkin sejarah yang sudah terpaut
nyaris dua abad bisa dicatat secara tepat? Sejauh mana budaya lisan bisa
dipercaya dibanding tulisan?
Menjawab hal itu, seorang Begawan hadits
Syekh Muhammad Mustafa Azami menyatakan bahwa hadits Nabi telah dicatat sejak
masa sahabat. Dalam bukunya yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berjudul
Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Syekh Azami menyimpulkan beberapa
catatan penting terkait bagaimana hadits sebenarnya telah dicatat sejak masa
Rasulullah hidup.
Para sahabat, berikut tabi'in pendahulu,
dianggap lebih mengutamakan kemampuan hafalan dan budaya lisan. Hal ini menjadi
musykil melihat realitas bahwa meski kecerdasan seseorang bisa sangat hebat,
namun tak bisa dipungkiri bahwa melakukan generalisir, gebyah uyah, bahwa seluruh
sahabat memang hebat hafalannya adalah kesimpulan yang terburu-buru. Kecerdasan
manusia tentu sangat beragam. Maka, pencatatan hadits dibutuhkan sejak masa
awal Islam.
Selanjutnya adalah larangan Rasulullah untuk
menulis hadits. Azami meneliti sekian hadits yang menjadi alasan bahwa hadits
dilarang ditulis oleh Rasulullah. Dari sekian riwayat, hanya satu yang menurut
beliau bisa dipertimbangkan, yaitu riwayat dari Abu Said al Khudri dalam Shahih
Muslim.
لَا
تَكْتُبُوا عَنِّي، وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي غَيْرَ الْقُرْآنِ فَلْيَمْحُهُ،
وَحَدِّثُوا عَنِّي، وَلَا حَرَجَ، وَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ - قَالَ هَمَّامٌ:
أَحْسِبُهُ قَالَ - مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Artinya: “...Janganlah menulis ucapanku, dan
barangsiapa menulis ucapanku selain Al-Qur’an, hendaknya ia menghapusnya. Dan
barangsiapa mendusta atas diriku – kata Hammam, saya kira. Nabi bersabda –
dengan sengaja, maka bersiaplah untuk masuk neraka.”
Terkait larangan Nabi untuk menulis hadits
sebagaimana di atas, Imam Khatib al-Baghdadi menyebutkan bahwa beberapa sahabat
dan tabi’in memiliki motif tersendiri mengapa mereka enggan untuk mencatat
hadits.
Salah satu alasan yang populer adalah
khawatir tercampurnya isi hadits dengan Al Qur’an. Nabi melarang menulis
hadits, bersamaan dengan menulis Al-Qur’an alih-alih di lembar yang sama agar
tidak campur aduk. Demikian penjelasan hadits di atas, sebagaimana dijelaskan
Imam an Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
Nabi selama hidup banyak berurusan dengan
banyak penguasa di luar Madinah.Terjadi surat menyurat dari Nabi kepada mereka.
Dengan demikian, tentunya para sahabat banyak yang memiliki kemampuan menulis
yang baik untuk tugas menulis surat itu. Begitupun Al-Qur’an yang juga banyak
ditulis di lembaran maupun pelepah kurma. Alasan bahwa kebanyakan sahabat tidak
dapat menulis dapat terbantahkan.
Banyak hadits-hadits shahih yang menyebutkan
bahwa Nabi mengizinkan para sahabat untuk menulis hadits dari beliau, baik yang
berupa surat, maupun pernyataan dan ibadah beliau. Beberapa sahabat seperti
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Ali bin Abu Thalib, disebutkan pernah menulis
hadits dari Nabi.
Dari berbagai keterangan di atas, penting
diketahui meskipun para sahabat dan tabi'in masa awal sangat memerhatikan
kemungkinan tercampurnya lafal Al-Qur’an dan hadits, namun hal ini tidak
menghalangi bahwa Nabi sendiri sudah memperkenankan hadits-hadits dari beliau
untuk dicatat dan disebarkan ke generasi selanjutnya.
Maka menolak hadits karena alasan bahwa ia tidak
tercatat sedari masa Nabi, agaknya kurang tepat. Nabi sendiri memperkenankan
hadits dan ucapan beliau ditulis selama tidak bersamaan dengan Al-Qur’an.
Penjelasan ini kiranya dapat menambah semangat untuk mempelajari pribadi Nabi
secara bijak. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar