Air Mata Kiai Subchi
dalam Pelukan KH Wahid Hasyim
KH Subchi Parakan
yang dikenal dengan julukan Kiai Bambu Runcing tidak pernah menyangka bakal
didatangi oleh ribuan laskar santri, baik dari Hizbullah dan Sabilillah dan
para pejuang lainnya secara bergelombang sebagai tempat untuk menyepuh bambu
runcing lewat doa-doanya. Pertolongan yang diberikan Kiai Subchi lewat washilah
doa yang ditiupkan ke bambu runcing memunculkan kekuatan batin dan spirit
perjuangan yang membuncah.
Di tengah spirit
pejuang dengan kesaktian bambu runcing yang sudah disepuh olehnya, Kiai Subchi
menangis terisak melihat gelombang pejuang yang datang ke Parakan untuk
menemuinya untuk menyuwuk bambu runcing. Bahkan, dalam sebuah pertemuan yang
dihadiri oleh para tokoh Parakan dengan KH Wahid Hasyim, pemuda-pemuda
Hizbullah bekerja keras menjaga dan mengawal Kiai Subchi dari para pejuang yang
terus mengikuti langkah kemana ia pergi.
KH Saifuddin Zuhri
dalam Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013) mencatat bahwa dalam pertemuan
tersebut, Kiai Subchi datang paling belakangan dengan dikawal Laskar Hizbullah.
Kedatangan Kiai Subchi teramat susah payah karena harus memblokir orang-orang
yang hendak kemana Kiai Subchi pergi.
“Endi Kiai Wahid
(Mana Kiai Wahid)...?” serunya menanyakan kemana Kiai Wahid sambil menatapi
beberapa muka para tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut.
“Puniko, kulo...,”
Gus Wahid berdiri dan menyambut kiai yang sudah mencapai umur 90 tahun (pada
1945) itu sambil mengucapkan salam.
Mbah Subchi yang
terdekap dalam pelukan Gus Wahid tidak bisa menahan rasa harunya. Kata-katanya
dalam suara parau tidak bisa ditangkap dengan jelas karena berbarengan dengan
isak tangisnya yang sendu.
“Saya tidak pernah
mengumumkan bahwa saya bisa berdoa. Dan saya juga tidak pernah mengundang
mereka,” kata Mbah Subchi dalam Bahasa Jawa Kromo sambil menyeka air mata yang
membasahi kedua pipinya. Mencoba untuk berbicara lebih jelas lagi, tapi tak
kuasa. Mbah Subchi berusaha meraih ujung sarungnya untuk menyeka air matanya
yang belum habis.
“Masyaa Allahu kaana
idzaa lam yasya’ lam yakun, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, tapi yang
tidak dikehendaki oleh-Nya pasti tidak bakal terjadi, demikian guru-guru kita
mengajarkan. Oleh karena itu, tak ada sikap Mbah selain ikhlas menerimanya dan
bertawakal kepada-Nya,” Gus Wahid mencoba menghibur si Mbah dan menenteramkan
hatinya. Semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepala dalam sikap diliputi rasa
haru.
Perjuangan keras
mengusir penjajah dengan taruhan jiwa dan raga terus dilakukan oleh rakyat
Indonesia terutama peran kiai dan para santri yang turut menguatkan sugesti
spiritual untuk berjihad melawan penjajah sekaligus menguatkan jiwa nasionlisme
sebagai pondasi membebaskan tanah air dari belenggu kolonialisme. Berbagai
langkah dan strategi dilakukan walaupun dengan menggunakan senjata tradisional,
bambu runcing.
Karakternya yang
tegak, kuat, gagah, dan tajam tidak lantas membuat para pejuang berhenti
berikhtiar untuk mengisi bambu runcing dengan kekuatan doa dari seorang ulama
sepuh, Kiai Haji Subchi.
Ratusan bahkan ribuan
tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa.
Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman
dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah kiai yang dijuluki sebagai Kiai Bambu
Runcing tersebut.
Doa yang diucapkan
oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut
(Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):
Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu
Akbar
Dengan nama
Allah
Ya Tuhan Maha
Pelindung
Allah Maha Besar
Kisah penyepuhan
bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin
Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren (LKiS, 2001). Dalam salah
satu buku memoar sejarah tersebut, dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi
perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10
November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara
Sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah itu.
Dari peperangan
tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa
antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris). Kabar pecahnya peperangan di
sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengat niat jihad fi
sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan
penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama
pasukan lain dari seluruh daerah Kedu. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar