Jumat, 31 Januari 2020

Air Mata Kiai Subchi dalam Pelukan KH Wahid Hasyim


Air Mata Kiai Subchi dalam Pelukan KH Wahid Hasyim

KH Subchi Parakan yang dikenal dengan julukan Kiai Bambu Runcing tidak pernah menyangka bakal didatangi oleh ribuan laskar santri, baik dari Hizbullah dan Sabilillah dan para pejuang lainnya secara bergelombang sebagai tempat untuk menyepuh bambu runcing lewat doa-doanya. Pertolongan yang diberikan Kiai Subchi lewat washilah doa yang ditiupkan ke bambu runcing memunculkan kekuatan batin dan spirit perjuangan yang membuncah.

Di tengah spirit pejuang dengan kesaktian bambu runcing yang sudah disepuh olehnya, Kiai Subchi menangis terisak melihat gelombang pejuang yang datang ke Parakan untuk menemuinya untuk menyuwuk bambu runcing. Bahkan, dalam sebuah pertemuan yang dihadiri oleh para tokoh Parakan dengan KH Wahid Hasyim, pemuda-pemuda Hizbullah bekerja keras menjaga dan mengawal Kiai Subchi dari para pejuang yang terus mengikuti langkah kemana ia pergi.

KH Saifuddin Zuhri dalam Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013) mencatat bahwa dalam pertemuan tersebut, Kiai Subchi datang paling belakangan dengan dikawal Laskar Hizbullah. Kedatangan Kiai Subchi teramat susah payah karena harus memblokir orang-orang yang hendak kemana Kiai Subchi pergi.

“Endi Kiai Wahid (Mana Kiai Wahid)...?” serunya menanyakan kemana Kiai Wahid sambil menatapi beberapa muka para tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut.

“Puniko, kulo...,” Gus Wahid berdiri dan menyambut kiai yang sudah mencapai umur 90 tahun (pada 1945) itu sambil mengucapkan salam.

Mbah Subchi yang terdekap dalam pelukan Gus Wahid tidak bisa menahan rasa harunya. Kata-katanya dalam suara parau tidak bisa ditangkap dengan jelas karena berbarengan dengan isak tangisnya yang sendu.

“Saya tidak pernah mengumumkan bahwa saya bisa berdoa. Dan saya juga tidak pernah mengundang mereka,” kata Mbah Subchi dalam Bahasa Jawa Kromo sambil menyeka air mata yang membasahi kedua pipinya. Mencoba untuk berbicara lebih jelas lagi, tapi tak kuasa. Mbah Subchi berusaha meraih ujung sarungnya untuk menyeka air matanya yang belum habis.

“Masyaa Allahu kaana idzaa lam yasya’ lam yakun, apa yang dikehendaki Allah pasti terjadi, tapi yang tidak dikehendaki oleh-Nya pasti tidak bakal terjadi, demikian guru-guru kita mengajarkan. Oleh karena itu, tak ada sikap Mbah selain ikhlas menerimanya dan bertawakal kepada-Nya,” Gus Wahid mencoba menghibur si Mbah dan menenteramkan hatinya. Semua yang hadir mengangguk-anggukkan kepala dalam sikap diliputi rasa haru.

Perjuangan keras mengusir penjajah dengan taruhan jiwa dan raga terus dilakukan oleh rakyat Indonesia terutama peran kiai dan para santri yang turut menguatkan sugesti spiritual untuk berjihad melawan penjajah sekaligus menguatkan jiwa nasionlisme sebagai pondasi membebaskan tanah air dari belenggu kolonialisme. Berbagai langkah dan strategi dilakukan walaupun dengan menggunakan senjata tradisional, bambu runcing.

Karakternya yang tegak, kuat, gagah, dan tajam tidak lantas membuat para pejuang berhenti berikhtiar untuk mengisi bambu runcing dengan kekuatan doa dari seorang ulama sepuh, Kiai Haji Subchi.

Ratusan bahkan ribuan tentara sabil, baik Hizbullah dan Sabilillah juga Tentara Keamanan Rakyat (TKR) selalu membanjiri rumah Kiai Subchi untuk menyepuh bambu runcingnya dengan doa. Bahkan untuk keperluan menyemayamkan kekuatan spiritual ini, Jenderal Soedirman dan anak buahnya juga berkunjung ke rumah kiai yang dijuluki sebagai Kiai Bambu Runcing tersebut. 

Doa yang diucapkan oleh Kiai Subchi untuk menyepuh ribuan bambu runcing adalah sebagai berikut (Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 2010: 132):

Bismillahi
Ya hafidhu, Allahu Akbar
Dengan nama Allah 
Ya Tuhan Maha Pelindung
Allah Maha Besar

Kisah penyepuhan bambu runcing yang dilakukan oleh Kiai Subchi ini dijelaskan oleh KH Saifuddin Zuhri dalam bukunya Guruku Orang-orang dari Pesantren (LKiS, 2001). Dalam salah satu buku memoar sejarah tersebut, dijelaskan bahwa hampir bersamaan ketika terjadi perlawanan dahsyat dari laskar santri dan rakyat Indonesia di Surabaya pada 10 November 1945, rakyat Semarang mengadakan perlawanan yang sama ketika tentara Sekutu juga mendarat di Ibukota Jawa Tengah itu.

Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan Sekutu (Inggris). Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Dengat niat jihad fi sabilillah untuk memperoleh kemerdekaan dan menghentikan ketidakperikemanusiaan penjajah, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan ikut bergabung bersama pasukan lain dari seluruh daerah Kedu. []

(Fathoni)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar