Tuntunan Rasulullah ketika
Kesalahan Tak Dimaafkan
Terkait dengan kesalahan ini, kenyatannya
memang tidak mudah menyampaikannya kepada orang yang telah kita sakiti. Apalagi
jika kesalahan tersebut sebelumnya tidak diketahui orang yang kita sakiti,
biasanya dalam bentuk fitnah. Mungkin bukannya maaf yang kita terima tetapi
justru kemarahan dan putus hubungan.
Dalam hal ini, Ulama Tafsir, Profesor
Muhammad Quraish Shihab dalam Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat (1999) mengungkapkan doa yang dibaca Nabi Muhammad
kala menghadapi situasi di atas:
Rasulullah SAW mengajarkan doa: “Ya Allah,
sesungguhnya aku memiliki dosa kepada-Mu dan dosa yang kulakukan kepada
makhluk-Mu. Aku bermohon Ya Allah, agar Engkau mengampuni dosa yang kulakukan
kepada-Mu serta mengambil alih dan menanggung dosa yang kulakukan kepada
makhluk-Mu.”
Dalam doa Nabi tersebut tersirat bahwa
diharapkan dosa-dosa yang dilakukan terhadap orang lain yang telah dimohonkan
maaf kepada yang bersangkutan akan diambil alih oleh Allah walaupun yang
bersangkutan tidak memaafkannya. Pengambilalihan tersebut antara lain dengan
jalan Allah memberikan kepada yang bersangkutan ganti rugi berupa imbalan
kebaikan dan pengampunan dosa-dosanya. Tentu hal ini kembali kepada Allah, Sang
Maha Pengendali segala sesuatu.
Maaf-memaafkan tidak terlepas dari dampaknya
terhadap kehidupan yang luas di tengah masyarakat. Maaf-memaafkan bukan hanya
menjadi tradisi umat Islam di Indonesia tiap Idul Fitri atau Lebaran tiba,
tetapi juga dianjurkan dalam syariat Islam dalam mewujudkan makna Idul Fitri
itu sendiri, yakni kembali kepada kesucian seperti seorang bayi yang baru
terlahir ke alam dunia.
Perihal meminta maaf, seseorang membutuhkan
sikap ksatria untuk mengakui segala kesalahannya kepada orang lain. Hal ini
berangkat dari diktum bahwa meminta maaf tak semudah memberi maaf. Namun tidak
lantas bahwa memberi maaf juga persoalan mudah, karena ia menuntut kelapangan
dada untuk menerima maaf orang yang pernah menyakiti hatinya.
Perihal ini, Quraish Shihab (1999)
menjelaskan, jika merujuk pada Qur’an Surat Ali ‘Imran ayat 134, akan ditemukan
bahwa seorang Muslim yang bertakwa dituntut atau dianjurkan untuk mengambil
paling tidak satu dari tiga sikap dari seseorang yang melakukan kekeliruan
terhadapnya, yaitu menahan amarah, memaafkan, dan berbuat baik terhadapnya.
الَّذِينَ
يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ
وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan
(kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan.” (QS
Ali Imran: 134)
Lain halnya ketika seseorang yang menekadkan
diri untuk tidak berbuat baik kepada yang berbuat salah kepadanya. Bahkan ia
berani bersumpah untuk tidak berbuat baik terhadap seseorang yang melakukan
kesalahan kepadanya. Maka Al-Qur’an menganjurkan agar ia memaafkan dan
melakukan apa yang diistilahkan oleh Al-Qur’an dengan al-shafhu. Hal ini
seperti yang diterangkan dalam Surat An-Nur ayat 22:
وَلَا
يَأْتَلِ أُولُو الْفَضْلِ مِنْكُمْ وَالسَّعَةِ أَنْ يُؤْتُوا أُولِي الْقُرْبَىٰ
وَالْمَسَاكِينَ وَالْمُهَاجِرِينَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ وَلْيَعْفُوا
وَلْيَصْفَحُوا ۗ أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan janganlah orang-orang yang mempunyai
kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan
memberi (bantuan) kepada kerabat(nya), orang-orang miskin, dan orang-orang yang
berhijrah di jalan Allah, dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada.
Apakah kamu tidak suka bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang.”
Dari kedua ayat yang dikutip di atas, dapat
dipahami bahwa sebenarnya ada tingkatan yang lebih tinggi daripada sekadar
memberi dan meminta maaf (dijelaskan di bagian akhir tulisan ini). Hal tersebut
akan terlihat jelas ketika seseorang memahami apa itu istilah maaf. Kata maaf
berasal dari Al-Qur’an al-afwu yang berarti menghapus, karena yang memaafkan
menghapus bekas-bekas luka di hatinya.
Artinya, bukan memaafkan namanya jika masih
tersisa bekas luka di hati dan jika masih ada dendam yang membara dalam
hatinya. Boleh jadi ketika itu apa yang dilakukannya baru sampai pada tahap
menahan amarah. Artinya, jika manusia mampu berusaha menghilangkan segala noda
atau bekas luka di hatinya, maka dia baru bisa dikatakan telah memaafkan orang
lain atas kesalahannya. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar