Penjelasan tentang Fidyah
Pengganti Shalat Orang Meninggal
Pertanyaan:
Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Ustadz yang saya hormati, perkenalkan nama saya Suwardi dari Kebumen. Saya mau
tanya, mohon penjelasan tentang masalah fidyah shalat orang meninggal yang
pernah meninggalkan shalat karena sakit secara rinci dan tata cara praktik
pelaksanaannya?
Atas jawaban dan penjelasannya saya ucapakan
terima kasih.
Jawaban:
Waalaikumussalam wa rahmatullahi wa
barakatuh.
Terima kasih atas pertanyaan Saudara. Semoga
Saudara senantiasa diberi keberkahan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.
Amin.
Sebelumnya patut dipahami bahwa para ulama
Syafi’iyah berbeda pendapat tentang shalat yang ditinggalkan oleh seseorang di
masa hidup: apakah dapat diqadha’i oleh orang lain atau tidak.
Pendapat masyhur dalam mazhab Syafi’i
menyebutkan bahwa ibadah shalat mayit (orang yang sudah wafat) tidak dapat
diqadha’i oleh siapa pun, serta tidak dapat digantikan dengan pembayaran fidyah
berupa menyedekahkan makanan pokok.
Pendapat lain mengatakan bahwa shalat yang
ditinggalkan oleh mayit semasa hidup dapat diqadha’i. Dalam qaul qadim Imam
As-Syafi’i berpandangan bahwa jika mayit meninggalkan harta warisan (tirkah)
maka wajib bagi wali mayit (anak, saudara, dll) untuk mengqadha’i shalatnya.
Sedangkan pendapat terakhir menyebutkan bahwa setiap shalat yang ditinggalkan
oleh mayit digantikan dengan pembayaran fidyah (pemberian makanan pokok) kepada
fakir miskin sebesar satu mud (0,6 kilogram atau ¾ liter) makanan pokok.
Perbedaan pendapat tentang hal ini dijelaskan
dalam kitab Fath al-Mu’in:
(فائدة) من
مات وعليه صلاة، فلا قضاء، ولا فدية. وفي قول - كجمع مجتهدين - أنها تقضى عنه، لخبر
البخاري وغيره، ومن ثم اختاره جمع من أئمتنا، وفعل به السبكي عن بعض أقاربه، ونقل
ابن برهان عن القديم أنه يلزم الولي - إن خلف تركه - أن يصلي عنه، كالصوم. وفي وجه -
عليه كثيرون من أصحابنا - أنه يطعم عن كل صلاة مدا. وقال المحب الطبري: يصل للميت
كل عبادة تفعل عنه: واجبة أو مندوبة. وفي شرح المختار لمؤلفه: مذهب أهل السنة أن
للانسان أن يجعل ثواب عمله وصلاته لغيره ويصله.
“Faidah. Barangsiapa meninggal dunia dan
memiliki tanggungan shalat, ia tidak wajib mengqadha’ dan membayar fidyah (atas
shalat tersebut). Sedangkan menurut sebagian pendapat—seperti sekelompok
mujtahid—shalat tersebut diqadha’i, berdasarkan hadits riwayat Imam Bukhari dan
lainnya. Pendapat ini juga dipilih oleh para imam mazhab kita (Syafi’i) dan
Imam as-Subki melakukan hal ini pada sebagian kerabatnya. Imam Ibnu Burhan
menukil dari qaul qadim bahwa wajib bagi wali untuk menshalati atas shalat yang
mayit tinggalkan, jika memang mayit meninggalkan harta tirkah (warisan).
Menurut pendapat lain, yang diikuti oleh
banyak ulama mazhab Syafi’i bahwa wali memberi makan satu mud pada setiap
shalat (yang ditinggalkan). Imam al-Muhib at-Thabari berpendapat bahwa setiap
ibadah yang dilakukan untuk mayit bisa sampai padanya, baik berupa ibadah wajib
ataupun ibadah sunnah. Dalam kitab Syarah al-Mukhtar dijelaskan: ‘Mazhab
Ahlussunnah wal Jama’ah berpandangan bahwa seseorang bisa menjadikan pahala amal
dan shalatnya untuk orang lain dan pahala tersebut bisa sampai padanya’” (Syekh
Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 2, hal. 276)
Salah satu ulama Syafi’iyah yang berpandangan
bahwa shalat yang ditinggalkan oleh mayit dapat digantikan dengan memberi
makanan satu mud adalah Imam al-Baghawi, seperti yang dijelaskan dalam kitab
al-Majmu’ ala Syarh al-Muhadzab:
{فرع} لو
مات وعليه صلاة أو اعتكاف لم يفعلهما عنه وليه ولا يسقط عنه بالفدية صلاة ولا
اعتكاف * هذا هو المشهور في المذهب والمعروف من نصوص الشافعي في الام
وغيره ونقل البويطي عن الشافعي أنه قال في الاعتكاف يعتكف عنه وليه وفى وراية يطعم
عنه قال البغوي ولا يبعد تخريج هذا في الصلاة فيطعم عن كل صلاة مد
“Jika seseorang meninggal dan ia memiliki
tanggungan shalat atau i’tikaf yang belum ia lakukan, maka pihak wali mayit
tidak dapat melakukan kedua ibadah tersebut atas ganti mayit, dan membayar
fidyah pun tidak menggugugurkan tanggungan shalat dan i’tikaf mayit. Pendapat
ini merupakan pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafi’i dan pandangan yang
terkenal dalam nash Imam as-Syafi’i dalam kitab al-Um dan kitab yang lain.
Imam al-Buwaithi menukil dari Imam as-Syafi’i
bahwa beliau berpandangan tentang I’tikaf bisa digantikan oleh pihak wali,
sedangkan dalam sebagian riwayat digantikan dengan memberi makanan (fidyah)
atas ganti tanggungan i’tikaf mayit. Imam al-Baghawi berkata: ‘Tidak jauh untuk
memberlakukan hal ini dalam shalat, maka pihak wali memberi makanan (fidyah)
satu mud atas setiap shalat’” (Syekh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ ala
Syarh al-Muhadzab, juz 6, hal. 372).
Pandangan bahwa shalat mayit dapat digantikan
dengan fidyah ini, sesuai dengan salah satu Hadits mauquf dari sahabat Ibnu
‘Abbas:
لاَ
يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ ، وَلاَ يَصُومُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلَكِنْ
يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
“Seseorang tidak dapat shalat atas ganti
shalat orang lain dan tidak dapat puasa atas ganti puasa orang lain, tetapi ia
dapat memberi makan atas ganti (shalat atau puasa) orang lain, setiap hari satu
mud dari gandum” (HR. An-Nasa’i)
Selain dalam mazhab Syafi’i, penggantian
shalat yang ditinggalkan oleh mayit dengan membayar fidyah juga merupakan
pendapat yang mu’tabar dalam mazhab Hanafiyah. Namun dalam hal ini, para ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa shalat yang ditinggalkan oleh mayit dapat
digantikan dengan pembayaran fidyah hanya ketika mayit mewasiatkan untuk
pembayaran fidyah atas shalat yang ia tinggalkan. Jika mayit tidak mewasiatkan
tentang pembayaran fidyah ini, maka para ulama Hanafiyah tidak berpandangan
bahwa pembayaran fidyah dapat menggantikan shalat yang ditinggalkan oleh mayit,
kecuali menurut pandangan Muhammad bin Hasan yang mengatakan bahwa pembayaran
fidyah tetap dapat mengganti atas shalat yang ditinggalkan oleh mayit, meskipun
mayit tidak mewasiatkannya.
Pembayaran fidyah dalam mazhab Hanafi ini
dapat memilih di antara dua komoditas, yaitu setengah sha’ (1,9 kilogram)
gandum/tepung atau satu sha’ (3,8 kilogram) kurma atau anggur. Namun wali mayit
juga dapat mengeluarkan fidyah dengan bentuk nominal uang yang setara dengan
harga salah satu dari dua pilihan pembayaran tersebut, sehingga secara umum
dapat dipahami bahwa pembayaran fidyah menurut mazhab Hanafi ini relatif lebih
besar takarannya jika dibandingkan pembayaran fidyah dalam mazhab Syafi’i. Perincian
tentang pandangan mazhab Hanafiyah dalam persoalan fidyah shalat ini, seperti
yang dijelaskan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah:
ذهب
جمهور الفقهاء " المالكيّة والشّافعيّة والحنابلة " إلى أنّ الصّلاة لا
تسقط عن الميّت بالإطعام. وذهب الحنفيّة إلى أنّه إذا مات المريض ولم يقدر على
أداء الصّلاة بالإيماء برأسه لا يلزمه الإيصاء بها. أمّا إذا كان قادراً على الصّلاة ولو
بالإيماء وفاتته الصّلاة بغير عذر لزمه الإيصاء بالكفّارة عنها ، فيخرج عنه وليّه
من ثلث التّركة لكلّ صلاة مفروضة ، وكذا الوتر لأنّه فرض عمليّ عند أبي حنيفة. وقد ورد
النّصّ في الصّيام ، وهو قوله صلى الله عليه وسلم : « ولكن يطعم عنه » والصّلاة
كالصّيام باستحسان المشايخ لكونها أهمّ. والصّحيح : اعتبار كلّ صلاة بصوم يوم ،
فيكون على كلّ صلاة فدية ، وهي نصف صاع من برّ أو دقيقه أو سويقه ، أو صاع تمر أو
زبيب أو شعير أو قيمته ، وهي أفضل لتنوّع حاجات الفقير. وإن لم يوص وتبرّع عنه
وليّه أو أجنبيّ جاز إن شاء اللّه تعالى عند محمّد بن الحسن وحده لأنّه قال في
تبرّع الوارث بالإطعام في الصّوم يجزيه إن شاء اللّه تعالى من غير جزم. وفي إيصائه
به جزم الحنفيّة بالإجزاء
“Mayoritas ulama fiqih (Malikiyah,
Syafi’iyah, dan Hanbaliyah) berpandangan bahwa shalat tidak gugur atas mayit
dengan memberi makan (pada orang lain). Sedangkan ulama mazhab Hanafiyah
berpandangan bahwa ketika orang yang sakit meninggal, dan ia sebelumnya tidak
mampu untuk melaksanakan shalat dengan berisyarat dengan kepalanya, maka ia
tidak wajib untuk mewasiatkan tentang shalat yang tertinggal tersebut.
Jika ia mampu untuk melakukan shalat,
walaupun dengan berisyarat, dan shalatnya tidak ia laksanakan dengan tanpa
adanya uzur, maka wajib baginya untuk mewasiatkan pembayaran kafarat (denda)
atas shalat tersebut. Maka pihak wali mayit mengeluarkan harta dari sepertiga
harta peninggalan mayit untuk setiap shalat fardhu yang ditinggalkan, begitu
juga untuk shalat witir, sebab sahalat witir merupakan amaliah fardhu menurut
imam Abu Hanifah.
Dalil nash yang menjelaskan tentang fidyah
ini terdapat pada permasalahan puasa, yakni sabda Rasulullah: ‘Tetapi (wajib)
memberi makanan sebagai ganti dari puasa’, sedangkan shalat sama persis dengan
puasa atas jalan istihsan (anggapan baik) para masyayikh (ulama fiqih
Hanafiyah), sebab shalat dipandang lebih penting.
Menurut qaul shahih, setiap shalat disamakan
seperti puasa satu hari, maka setiap satu shalat wajib satu fidyah yakni
setengah sha’ dari gandum atau tepung atau gandum kecil; atau satu sha’ dari
kurma, anggur, jerawut, atau harga dari komoditas tersebut. Memberi fakir
miskin nominal harga dari komoditas tersebut dipandang lebih utama, sebab
beraneka ragamnya kebutuhan orang-orang fakir.
Jika mayit tidak mewasiatkan tentang shalat
yang ia tinggalkan lalu pihak wali mayit atau orang lain ber-tabarru’ (lepas
tanggung jawab) untuk membayarkan fidyah, maka hal tersebut insyaallah
diperbolehkan hanya menurut pandangan Muhammad bin Hasan saja. Sebab beliau
berpandangan bahwa tabarru’-nya wali untuk memberikan fidyah (makanan) atas
puasa mayit adalah hal yang mencukupinya insyaallah dengan tanpa adanya
kemantapan (bimbang). Sedangkan dalam permasalahan ketika mayit ini mewasiatkan
tentang membayar fidyah, maka ulama Hanafiyah mantap untuk berpandangan
mencukupi bagi ibadah (shalat atau puasa) mayit” (Kementrian Wakaf dan Urusan
Keagamaan, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, juz 25, hal. 83).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pembayaran fidyah merupakan salah satu dari pandangan para ulama tentang hal
yang bisa menggantikan shalat yang telah ditinggalkan oleh mayit. Cara
pembayaran fidyah—jika berpijak pada mazhab Syafi’i—adalah dengan memberi
makanan pokok (beras) senilai satu mud (0,6 kilogram atau ¾ liter) kepada fakir
miskin sebagai pengganti setiap satu shalat yang ditinggalkan oleh mayit.
Sedangkan menurut mazhab Hanafiyah, pembayaran fidyah dapat berupa salah satu
di antara dua pilihan, yakni setengah sha’ (1,9 kilogram) gandum atau tepung
atau satu sha’ (3,8 kilogram) kurma atau anggur. Wali mayit (anak, saudara,
dll) juga dapat mengeluarkan fidyah dengan bentuk nominal uang yang setara
dengan harga salah satu dari dua pilihan pembayaran fidyah di atas.
Dua pendapat di atas sama-sama dapat diikuti
dan diamalkan, tapi jika wali mayit merupakan penganut mazhab Syafi’i hendaknya
konsisten untuk mengikuti pendapat dalam mazhab Syafi’i dalam hal pembayaran
fidyah ini, agar tidak terjadi talfiq fil mazhab (pencampuradukan pendapat
berbagai mazhab) dalam satu kasus hukum. Selain itu, wali mayit juga dapat
memilih pendapat lain tentang pengganti shalat yang ditinggalkan oleh mayit,
misalkan dengan cara mengqadha’ setiap shalat yang ditinggalkan oleh mayit.
Sebab persoalan ini sejak awal memang merupakan persoalan yang diperdebatkan di
antara ulama. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar