Hikmah
dari Diskriminasi CPO oleh Uni Eropa
Oleh:
Bambang Soesatyo
Reaksi Indonesia atas perilaku diskriminatif Uni Eropa terhadap produk biodiesel sudah tepat. Bahkan, demi generasi anak-cucu, ada hikmah besar dan strategis yang layak dimanfaatkan Indonesia dari konflik dagang itu.
Dengan beragam alasan yang terus berubah-ubah, Uni Eropa (UE) sejak lama diketahui selalu berupaya mempersempit akses ekspor produk biodiesel atau minyak nabati asal Indonesia ke Eropa, khususnya komponen minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Sejak dekade 1980-an, unsur pemerintah dan lembaga swadaya di lingkungan UE gencar berkampanye negatif tentang CPO Indonesia bertema “Palm Oil Free”.
Mereka memprovokasi dengan mengatakan gizi minyak sawit buruk bagi kesehatan dan mendorong konsumen mengonsumsi minyak kedelai dan minyak biji bunga matahari produk setempat.
Tak berhenti sampai di situ, dimunculkan juga tuduhan bahwa perkebunan sawit di Indonesia merusak hutan dan lingkungan, termasuk mempekerjakan anak.
Namun, masih dalam rentang waktu yang sama, UE tetap saja impor CPO dari Indonesia, karena ada permintaan dari konsumen setempat dan UE tak mampu memenuhi total permintaan minyak nabati di Benua Biru itu.
Pada periode yang sama, pemerintah dan parlemen di lingkungan UE terus mendapatkan tekanan dari komunitas petani dan produsen minyak rapeseed (RSO) dan minyak bunga matahari atau SFO (sunflower oil).
Komunitas petani dan produsen minyak nabati UE sedang berupaya meningkatkan pertumbuhan produksi minyak nabati karena ada ambisi menjadikan RSO dan SFO menguasai pasar minyak nabati UE.
Kampanye negatif makin diperkuat dengan resolusi minyak sawit oleh Parlemen Eropa pada 4 April 2017 di Starssbourg yang mengamini dokumen laporan berjudul “Palm Oil and Deforestation of Rainforest”.
Laporan itu menjadi pijakan bagi lahirnya kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II) dan Delegated Regulation UE pada Maret 2019. Dengan pijakan RED II, UE menetapkan bahwa mulai 2020 hingga 2030, penggunaan bahan bakar di UE harus berasal dari energi yang dapat diperbarui.
Maka, Delegated Regulation UE pun memasukkan minyak kelapa sawit dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi.
Konsekuensinya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak masuk target energi terbarukan UE, termasuk minyak kelapa sawit dari Indonesia. Untuk mendukung kebijakan itu, UE menerapkan Bea Masuk Imbalan Sementara (BMIS) pada kisaran delapan (8) hingga 18%, yang mulai berlaku awal September 2019.
Dampaknya bagi produsen CPO sudah sangat jelas.??Bagi produsen CPO, pendirian, penilaian, maupun pendapat UE itu sepihak.
Wajar jika negara produsen seperti Indonesia mengajukan protes. Reaksi pertama Indonesia adalah menugaskan Perutusan Tetap Indonesia di Jenewa, Swiss, mengajukan gugatan terhadap UE di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO (World Trade Organization) pada 9 Desember 2019.
Langkah ini wajar dan tidak berlebihan. Indonesia pada dasarnya hanya berharap WTO bisa mendorong UE untuk fair melaksanakan aturan main WTO. Tujuan jangka pendeknya adalah mencegah kerugian bagi petani dan produsen CPO dalam negeri.
Lagi pula, menyikapi perilaku diskriminatif UE itu, Indonesia bisa memberi tekanan balik. Sebab, fakta historisnya menunjukkan bahwa konsumsi minyak nabati UE cenderung naik dari waktu ke waktu.
Namun, dari total kebutuhan itu, produsen minyak nabati UE tidak mampu memenuhi seluruh permintaan. Produksi minyak nabati UE hanya tumbuh 2,8% per tahun, sedangkan laju tumbuh konsumsinya sampai 4,8% per tahun.
Kesimpulannya, produsen UE hanya mampu memenuhi dua pertiga permintaan, sedangkan untuk sepertiganya UE sangat bergantung pada impor. Dengan menerapkan BMIS, produsen CPO bisa balik menekan UE dengan menunda ekspor. Sebab, pada akhirnya, UE harus cepat merespons tuntutan konsumen ketika terjadi kelangkaan minyak nabati di pasar setempat.
Ketahanan Energi. Dalam jangka menengah dan jangka panjang, ada hikmah dari penolakan UE terhadap CPO Indonesia. Seperti ditegaskan Presiden Joko Widodo, pasar domestik siap menyerap produksi sawit untuk diolah menjadi biodiesel. “CPO kita gunakan sendiri untuk biodiesel, biofuel. Kenapa harus bertarung dengan Uni Eropa karena CPO kita di-banned, didiskriminasi.
Kita pakai sendiri saja," kata Presiden, pada akhir November 2019 di Jakarta. Penyerapan CPO besar-besaran untuk diolah menjadi B-20, B-30, hingga B-100 akan mendongkrak harga sawit. Dengan demikian, para petani sawit juga akan menikmatinya. Inilah reaksi kedua Indonesia atas perilaku UE yang diskriminatif itu.
Diskriminasi atau penerapan hambatan nontarif dalam perdagangan global mungkin tidak akan berhenti pada sikap UE terhadap CPO. Selain itu, banyak negara juga patut belajar dari alasan Amerika Serikat (AS) melancarkan perang dagang terhadap China.
Artinya, demi kepentingannya masing-masing, negara atau kawasan perekonomian berskala besar tidak lagi patuh pada aturan main yang ditetapkan WTO. Perilaku UE dan AS adalah contoh dari kekuatan perekonomian yang bertindak sesuka hati demi kepentingan kawasan masing-masing.
Karena
itu, negeri yang kaya akan sumber daya alam seperti Indonesia harus coba
merumuskan caranya sendiri untuk memaksimalkan potensi itu demi kemakmuran
masyarakat. Ekspor bahan mentah dengan nilai tambah yang rendah sudah harus
dikurangi, dengan mengutamakan pengolahan menjadi barang jadi siap pakai di
negeri sendiri.
Tantangannya memang tidak mudah. Karena, angkatan kerja Indonesia mau tak mau harus menaikkan kapasitas dan keahlian. Namun, pilihan itu sulit dihindari dan harus dimulai dari sekarang.
Maka, gagasan dan ajakan Presiden untuk memaksimalkan potensi sawit itu relevan untuk dikaitkan dengan masa depan ketahanan energi. Indonesia mau tak mau harus lebih fokus dan bersungguh-sungguh dalam mewujudkan energi baru terbarukan.
Jangan melihatnya untuk kepentingan jangka dekat, melainkan demi generasi anak-cucu. Dengan fokus pada program energi baru terbarukan, generasi terkini bangsa menyiapkan landasan yang kuat bagi masa depan ketahanan energi nasional.
Generasi sekarang masih dimanja oleh ketersediaan bahan bakar fosil yang meliputi minyak bumi, gas alam, dan batu bara. Sulit untuk segera terbarukan karena perlu jutaan tahun untuk terbentuk.
Para ahli memperkirakan, dalam hitungan puluhan tahun ke depan, bahan bakar fosil itu akan habis. Bahkan, ada yang memperkirakan bahwa Indonesia masih bisa mengandalkan bahan bakar fosil hanya sampai tahun 2050.
Maka, penjualan atau ekspor CPO yang mulai menemukan banyak hambatan itu hendaknya tidak membuat masyarakat Indonesia kehilangan akal. Pasti ada hikmah dari setiap masalah.
Sebagaimana gagasan dan ajakan Presiden Joko Widodo, para ahli di dalam negeri dan generasi milenial ditantang untuk memaksimalkan pemanfaatan minyak sawit sebagai bahan bakar alternatif. Sumber daya alam Indonesia lebih dari cukup untuk membangun masa depan ketahanan energi nasional.
Ingat bahwa sejak awal dekade 2000-an, Indonesia telah berstatus sebagai negara net importir minyak bumi, karena volume impor BBM lebih tinggi dibandingkan hasil lifting. Itu adalah gambaran tentang ketergantungan Indonesia pada negara lain sekaligus menjelaskan tentang lemahnya ketahanan energi. []
KORAN
SINDO, 17 Januari 2020
Bambang
Soesatyo | Ketua MPR RI/Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar