Senin, 20 Januari 2020

Zuhairi: "Kemenangan" Iran


"Kemenangan" Iran
Oleh: Zuhairi Misrawi

Kemartiran pimpinan pasukan khusus Iran Brigade al-Quds Garda Revolusi Qassem Soleimani menarik perhatian warga dunia. Iran menjadi trending topic di laman media sosial dalam seminggu terakhir. Iran setelah kemartiran Hajj Qassem, panggilan akrab Qassem Soleimani, semakin menunjukkan taringnya. Tidak main-main, Iran menganggap tindakan Amerika Serikat sebagai melampaui "garis merah", karenanya akan ada pembalasan yang serius, terukur, dan proporsional.

Langkah Iran tersebut bukan gertak sambal, melainkan sebagai sikap tegas terhadap AS yang kerap mengambil sikap semena-mena di Timur-Tengah. Bahkan, parlemen Iran mufakat untuk menyebut militer AS di Timur-Tengah sebagai teroris. Tindakan yang diperintah langsung oleh Donald Trump itu sebagai tindakan teroris. AS yang selama ini mudah menuduh pihak lain sebagai teroris, justru distempel teroris oleh Iran. Yang berani dan mampu melakukan ini di Timur-Tengah hanya Iran.

Di dalam negeri AS sendiri, pembunuhan terhadap Hajj Qassem itu oleh banyak pihak dinilai sebagai tindakan yang masuk dalam katagori pelanggaran hukum dan hak asasi manusia. Hajj Qassem dirudal dalam sebuah kunjungan diplomatis ke Irak dalam rangka memediasi situasi konflik di kawasan. Ia datang ke Irak atas undangan resmi dari Perdana Menteri Irak.

AS sendiri tidak mempunyai alasan yang rasional dalam tindakan brutal tersebut, selain retorika menuduh Hajj Qassem sebagai teroris dan upaya meredam kemungkinan perang. Soal tuduhan Hajj Qassem sebagai teroris dengan mudah dipatahkan, karena media-media Barat, termasuk CNN pernah menayangkan kepahlawanan dan daya juang Hajj Qassem dalam melawan ISIS dan al-Qaeda. Hajj Qassem ditulis dengan tinta emas sebagai sosok yang berada di garda terdepan dalam menumpas ISIS dan al-Qaeda, baik di Irak maupun Suriah. Ia menyelamatkan Irak dan Suriah dari ancaman teroris. Logikanya, bagaimana mungkin orang dituduh teroris justru faktanya terdepan melawan teroris?

Maka dari itu, AS tidak mampu memberikan argumen yang kuat di balik tindakan ngawur itu. Apalagi Trump mengancam akan menghancurkan 52 situs bersejarah yang menjadi kebanggaan Iran dan dunia internasional. Sontak, sikap Trump tersebut menjadi iklan gratis bagi keindahan peradaban Iran dan memantik dukungan yang lebih besar terhadap Iran. Semua mufakat bahwa rencana brutal Trump dianggap sebagai sebagai kejahatan perang dan pelanggaran hukum internasional.

Dalam konteks global, Iran sebenarnya sudah memenangkan perang opini. Apa yang dilakukan AS atas komando Trump merupakan sebuah ancaman bagi perdamaian dan stabilitas kawasan. Bahkan, di dalam negeri AS sendiri, Trump ditentang oleh masyarakat sipil dan kalangan oposisi dari Partai Demokrat, yang menentang keras rencana jahat Trump.

Di Iran, kemartiran Hajj Qassem menjadi momen berkobarnya kembali api revolusi Islam. Kemartiran sosok yang menjadi perisai pertahanan dan perlawanan Iran justru menyadarkan warga Iran betapa sumber segala petaka di Iran, Timur-Tengah, dan Dunia Islam adalah AS. Iran yang sebelumnya menghadapi masa-masa sulit akibat "terorisme ekonomi" yang diberlakukan AS justru mampu memperlihatkan kepada dunia soliditas dan spirit perlawanan dengan dukungan yang luas dari sebagian besar warganya.

Bayangkan, jenazah Hajj Qassem dan para syuhada yang lain mendapatkan penghormatan yang luar biasa, sejak dari Irak (Baghdad, Karbala, dan Najaf) hingga Iran (Ahwaz, Mashhad, Tehran, Qom, dan Kerman). Warga Irak dan Iran memberikan penghormatan terhadap para martir yang telah puluhan tahun mengabdikan dirinya untuk membela kedaulatan negara dan agama. Sekitar 15 juta lebih warga Irak dan Iran memberikan penghormatan terakhir atas kemartiran Hajj Qassem.

Hajj Qassem sendiri sosok yang sangat populer dan dicintai di seantero Iran. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di Iran pada 2012 lalu, saya sudah mendengar sosok Hajj Qassem sebagai perisai dan permata yang mengkilap. Hidupnya dihabiskan sebagai pejuang di medan perang untuk membela negara. Ia selalu berada di garda terdepan untuk melawan musuh-musuh Iran. Selain pemberani dan jenius, ia sangat sederhana dan berpegang pada api revolusi Islam Iran yang dikobarkan oleh Imam Khomeini, dan sekarang tonggaknya dipimpin oleh Imam Ali Khamenei.

Dalam buku Qassem Soleimani: Dzikrayat wa Khawathir, ia mengisahkan keinginannya untuk mati syahid. Lahir dari keluarga yang sederhana di Kerman, ia merupakan sosok yang berpijak pada Nabi Muhammad dan keluarganya. Sebab itu, dalam mimpi-mimpinya saat berada di medan perang, ia kerap berjumpa dengan Sayyidah Fatimah al-Zahra dan Imam Husein. Sebagai pejuang, ia selalu berpesan bahwa seorang pejuang harus mempunyai spirit jihad, akhlak, spiritualitas, ibadah, dan loyalitas kepada Ayatullah Imam Khomeini sebagai teladan. Ia mengakhiri testimoninya, bahwa ia tidak rela jika meninggal dunia suatu saat nanti tidak sebagai syahid.

Itulah sosok Hajj Qassem yang menjadi inspirasi Iran hari ini dan masa-masa mendatang. Ia membuktikan kepada dunia perihal identitas Iran yang tidak pantang menyerah melawan penindasan dan penjajahan. Ia adalah wujud dari revolusi Islam Iran yang tidak pernah padam sejak pertama kali dikobarkan dan berhasil menumbangkan rezim boneka AS dan Israel pada 1979.

Saat prosesi pemakanan Hajj Qassem, Iran mengirimkan rudal ke pangkalan militer di Irak. Pesan tersebut mempunyai makna simbolik yang luar biasa, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Ayatullah Ali Khamenei bahwa rudal-rudal tersebut dalam rangka menampar kepongahan dan kesombongan wajah AS. Hajj Qassem dimakamkan, tapi jutaan Hajj Qassem terlahir siap untuk melawan terorisme ala AS. Iran memang tidak mempunyai persenjataan tempur secanggih AS, tetapi Iran mempunyai dukungan warga yang sangat besar, di samping proksinya yang semakin luas di Timur-Tengah.

Dan semua kita melihat setelah pembalasan rudal Iran ke pangkalan militer AS di Irak, AS rupanya tidak berkutik. Trump yang sebelumnya sangar dan penuh ancaman terlihat seperti berdaya. Trump justru menawarkan perundingan damai dengan Iran dan menyalahkan Obama yang telah berperan memperkuat militer Iran.

Jika pun perang terbuka benar-benar dilakukan, Trump khawatir kehilangan posisinya dalam Pemilu Presiden, di samping sekutunya di Timur-Tengah seperti Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab akan menjadi korban pembalasan kemartiran Hajj Qassem. Lakumul Fatihah ya Hajj Qassem wa al-syuhada. []

DETIK, 9 Januari 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar