Demokrasi Mau ke Mana?
Oleh: Azyumardi Azra
Tahun 2019 yang sebentar lagi berlalu menjadi penanda telah 20
tahun demokrasi di Indonesia. Pemilu 7 Juni 1999 menjadi momentum awal
kebangkitan demokrasi Indonesia pasca-otoritarianisme Orde Baru. Kini, setelah
dua dasawarsa berlalu, kian banyak kalangan yang kritis dan skeptis terhadap
masa depan demokrasi negara ini.
Mereka mengakui, sejumlah indikator memperlihatkan dinamika
demokrasi di Indonesia. Menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sejak
1999 (setelah India dan Amerika Serikat), Indonesia mampu melaksanakan pemilu
nasional (legislatif dan presiden) serta pemilu lokal (kepala daerah) secara
reguler dengan lancar dan aman.
Dari satu segi, partai politik (parpol) cukup hidup dan bergairah
(vibrant). Namun, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya selalu muncul parpol
baru: umumnya pecahan dari parpol (induk) yang dilanda konflik dan perpecahan.
Kondisi ini tidak menggembirakan untuk konsolidasi demokrasi Indonesia.
Di sisi lain, masyarakat sipil (civil society/CS) dalam bentuk
ormas non-politik dan LSM advokasi di berbagai bidang kehidupan juga masih
vibrant. Walaupun ada unsur pimpinan dan aktivis CS yang terseret ke politik kekuasaan,
secara umum CS Indonesia tetap jadi tulang punggung civic culture dan civility
yang membuat demokrasi bisa tumbuh dan bertahan.
Pers juga masih bebas dan vibrant meski media arus utama tepercaya
semakin sulit bersaing dengan media online dan media sosial. Oplah surat kabar
dan majalah yang dulu pernah memainkan peran penting mendorong tumbuhnya
demokrasi kian berkurang, bahkan satu per satu di antara mereka terpaksa gulung
tikar.
Semua indikator di atas boleh jadi membuat masyarakat awam merasa
tak ada yang kurang dengan perkembangan demokrasi Indonesia. Namun, melihat
aspek tertentu perkembangan politik, demokrasi, dan hukum beberapa tahun
terakhir, kian banyak ahli yang mengajukan pertanyaan: demokrasi Indonesia mau
ke mana?
Sekadar contoh, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, dua ahli
politik Indonesia, menyatakan, demokrasi Indonesia kini berada di titik
terendah dalam 20 tahun (The Jakarta Post, 21/9/2019). Dalam tulisan lain,
mereka juga menyatakan tentang ”paradoks demokrasi Indonesia” yang kian nyata.
Mencermati berbagai aspek kehidupan dan dinamika politik sejak
tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlanjut ke
era Presiden Joko Widodo, keduanya menyimpulkan, Indonesia tidak (lagi)
demokrasi penuh (full democracy), tetapi telah berevolusi menjadi semacam
bentuk tak liberal pemerintahan demokrasi (illiberal democracy).
Dalam konteks itu, Indonesia masih memenuhi persyaratan sebagai
demokrasi elektoral. Tetapi, berbagai fitur lain untuk dapat disebut sebagai
demokrasi penuh terus mengalami kemerosotan, di antaranya semakin berkurangnya
kebebasan berpendapat dan berorganisasi, serta kian lemahnya perlindungan
kelompok minoritas.
Banyak pengamat dan lembaga yang memantau pertumbuhan dan dinamika
demokrasi hampir secara tipikal menilai kondisi demokrasi berdasarkan kebijakan
rezim penguasa dan ekspresi politik masyarakat, baik lewat parpol maupun ormas
nonpolitik.
Atas dasar kerangka berpikir itu, banyak ahli politik dan pengkaji
demokrasi asal Indonesia atau orang asing sampai pada penilaian, misalnya
demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran. Atau berada pada titik
terendah dalam 20 tahun terakhir.
Kasus yang sering dikutip dalam konteks itu adalah penerbitan
Perppu No 2/2017 sebagai pengganti UU No 17/2013 tentang Ormas. Perppu itu
melarang ormas melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI
dan/atau menganut, mengembangkan, serta menyebarkan paham atau ajaran yang
bertentangan dengan Pancasila. Perppu yang dikenal sebagai perppu
”anti-radikalisme” dan diadopsi DPR sebagai UU No 16/2017 ini jadi landasan
hukum pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Cukup banyak ahli politik, ahli hukum, dan aktivis advokasi
memandang peraturan itu sebagai ancaman terhadap demokrasi karena membatasi
kebebasan berekspresi dan berserikat. Penulis sendiri memandangnya sebagai
ketentuan yang esensial dan urgen untuk menjaga eksistensi NKRI dan Pancasila,
dan pada gilirannya menjamin demokrasi tetap menjadi sistem politik.
Namun, persepsi tentang demokrasi Indonesia yang tengah mengalami
kemunduran tak terbatas pada ketentuan keormasan yang dianggap membatasi
kebebasan. Dalam perkembangan terakhir, makin banyak kalangan melihat setback
demokrasi dengan meningkatnya wacana dan usaha pemerintah membasmi radikalisme.
Misalnya, dengan mengharuskan registrasi majelis taklim, sertifikasi penceramah
agama, dan pengawasan ceramah oleh aparat. Di sini, negara seolah menjadi big
brother orwellian—saudara besar yang ingin mengontrol dan mengendalikan setiap
tarikan napas warganya.
Dalam segi lain, persepsi tentang kemunduran demokrasi Indonesia
juga terkait meningkatnya politik identitas atas dasar agama. Politik identitas
yang mulai menguat sejak Pilkada Provinsi DKI Jakarta akhir 2017 cenderung
meningkat pada Pemilu 2019 dan terus bertahan hingga sekarang ini.
Tampaknya, gejala kemunduran demokrasi terus berkecambah. Salah
satunya terkait dengan wacana penambahan masa jabatan presiden dari dua kali
menjadi tiga kali. Wacana yang muncul terkait dengan rencana amendemen UUD 1945
untuk kelima kali ini dapat mendorong tumbuhnya oligarki politik dan
otoritarianisme.
Penolakan Presiden Jokowi atas wacana masa jabatan presiden sampai
tiga kali belum menjamin bakal tak terjadinya upaya ke arah itu ketika
amendemen dijalankan. Bukan tak mungkin political deals di antara para aktor
politik menghasilkan penambahan masa jabatan presiden. Oleh karena itu, perlu
peningkatan kewaspadaan mengantisipasi fenomena tersebut. Kemunduran demokrasi
tidak bisa dibiarkan berlanjut. []
KOMPAS, 12 Desember 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar