Rabu, 15 Januari 2020

Azyumardi: Demokrasi Mau ke Mana?


Demokrasi Mau ke Mana?
Oleh: Azyumardi Azra

Tahun 2019 yang sebentar lagi berlalu menjadi penanda telah 20 tahun demokrasi di Indonesia. Pemilu 7 Juni 1999 menjadi momentum awal kebangkitan demokrasi Indonesia pasca-otoritarianisme Orde Baru. Kini, setelah dua dasawarsa berlalu, kian banyak kalangan yang kritis dan skeptis terhadap masa depan demokrasi negara ini.

Mereka mengakui, sejumlah indikator memperlihatkan dinamika demokrasi di Indonesia. Menjadi negara demokrasi ketiga terbesar di dunia sejak 1999 (setelah India dan Amerika Serikat), Indonesia mampu melaksanakan pemilu nasional (legislatif dan presiden) serta pemilu lokal (kepala daerah) secara reguler dengan lancar dan aman.

Dari satu segi, partai politik (parpol) cukup hidup dan bergairah (vibrant). Namun, dari satu pemilu ke pemilu berikutnya selalu muncul parpol baru: umumnya pecahan dari parpol (induk) yang dilanda konflik dan perpecahan. Kondisi ini tidak menggembirakan untuk konsolidasi demokrasi Indonesia.

Di sisi lain, masyarakat sipil (civil society/CS) dalam bentuk ormas non-politik dan LSM advokasi di berbagai bidang kehidupan juga masih vibrant. Walaupun ada unsur pimpinan dan aktivis CS yang terseret ke politik kekuasaan, secara umum CS Indonesia tetap jadi tulang punggung civic culture dan civility yang membuat demokrasi bisa tumbuh dan bertahan.

Pers juga masih bebas dan vibrant meski media arus utama tepercaya semakin sulit bersaing dengan media online dan media sosial. Oplah surat kabar dan majalah yang dulu pernah memainkan peran penting mendorong tumbuhnya demokrasi kian berkurang, bahkan satu per satu di antara mereka terpaksa gulung tikar.

Semua indikator di atas boleh jadi membuat masyarakat awam merasa tak ada yang kurang dengan perkembangan demokrasi Indonesia. Namun, melihat aspek tertentu perkembangan politik, demokrasi, dan hukum beberapa tahun terakhir, kian banyak ahli yang mengajukan pertanyaan: demokrasi Indonesia mau ke mana?

Sekadar contoh, Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, dua ahli politik Indonesia, menyatakan, demokrasi Indonesia kini berada di titik terendah dalam 20 tahun (The Jakarta Post, 21/9/2019). Dalam tulisan lain, mereka juga menyatakan tentang ”paradoks demokrasi Indonesia” yang kian nyata.

Mencermati berbagai aspek kehidupan dan dinamika politik sejak tahun terakhir pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang berlanjut ke era Presiden Joko Widodo, keduanya menyimpulkan, Indonesia tidak (lagi) demokrasi penuh (full democracy), tetapi telah berevolusi menjadi semacam bentuk tak liberal pemerintahan demokrasi (illiberal democracy).

Dalam konteks itu, Indonesia masih memenuhi persyaratan sebagai demokrasi elektoral. Tetapi, berbagai fitur lain untuk dapat disebut sebagai demokrasi penuh terus mengalami kemerosotan, di antaranya semakin berkurangnya kebebasan berpendapat dan berorganisasi, serta kian lemahnya perlindungan kelompok minoritas.

Banyak pengamat dan lembaga yang memantau pertumbuhan dan dinamika demokrasi hampir secara tipikal menilai kondisi demokrasi berdasarkan kebijakan rezim penguasa dan ekspresi politik masyarakat, baik lewat parpol maupun ormas nonpolitik.

Atas dasar kerangka berpikir itu, banyak ahli politik dan pengkaji demokrasi asal Indonesia atau orang asing sampai pada penilaian, misalnya demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran. Atau berada pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir.

Kasus yang sering dikutip dalam konteks itu adalah penerbitan Perppu No 2/2017 sebagai pengganti UU No 17/2013 tentang Ormas. Perppu itu melarang ormas melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI dan/atau menganut, mengembangkan, serta menyebarkan paham atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila. Perppu yang dikenal sebagai perppu ”anti-radikalisme” dan diadopsi DPR sebagai UU No 16/2017 ini jadi landasan hukum pelarangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Cukup banyak ahli politik, ahli hukum, dan aktivis advokasi memandang peraturan itu sebagai ancaman terhadap demokrasi karena membatasi kebebasan berekspresi dan berserikat. Penulis sendiri memandangnya sebagai ketentuan yang esensial dan urgen untuk menjaga eksistensi NKRI dan Pancasila, dan pada gilirannya menjamin demokrasi tetap menjadi sistem politik.

Namun, persepsi tentang demokrasi Indonesia yang tengah mengalami kemunduran tak terbatas pada ketentuan keormasan yang dianggap membatasi kebebasan. Dalam perkembangan terakhir, makin banyak kalangan melihat setback demokrasi dengan meningkatnya wacana dan usaha pemerintah membasmi radikalisme. Misalnya, dengan mengharuskan registrasi majelis taklim, sertifikasi penceramah agama, dan pengawasan ceramah oleh aparat. Di sini, negara seolah menjadi big brother orwellian—saudara besar yang ingin mengontrol dan mengendalikan setiap tarikan napas warganya.

Dalam segi lain, persepsi tentang kemunduran demokrasi Indonesia juga terkait meningkatnya politik identitas atas dasar agama. Politik identitas yang mulai menguat sejak Pilkada Provinsi DKI Jakarta akhir 2017 cenderung meningkat pada Pemilu 2019 dan terus bertahan hingga sekarang ini.

Tampaknya, gejala kemunduran demokrasi terus berkecambah. Salah satunya terkait dengan wacana penambahan masa jabatan presiden dari dua kali menjadi tiga kali. Wacana yang muncul terkait dengan rencana amendemen UUD 1945 untuk kelima kali ini dapat mendorong tumbuhnya oligarki politik dan otoritarianisme.

Penolakan Presiden Jokowi atas wacana masa jabatan presiden sampai tiga kali belum menjamin bakal tak terjadinya upaya ke arah itu ketika amendemen dijalankan. Bukan tak mungkin political deals di antara para aktor politik menghasilkan penambahan masa jabatan presiden. Oleh karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan mengantisipasi fenomena tersebut. Kemunduran demokrasi tidak bisa dibiarkan berlanjut. []

KOMPAS, 12 Desember 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar