Cara Kiai Umar Menjaga Hati Orang Lain agar
Tak Terluka (1)
Kiai Umar bin Abdul Mannan, Pengasuh Pesantren Al-Muayyad, Mangkuyudan, Surakarta, Jawa Tengah merupakan salah satu wali masyhur yang menapaki jalan kebaikan dengan nilai-nilai yang searah dengan kebaikan dalam pandangan masyarakat luas.
Memang ada sebagian wali lain yang memilih
jalan kewalian dengan cara menampilkan diri sebagai orang yang dicemooh oleh
masyarakat luas dan tidak populer di mata masyarakat. Tujuannya agar tidak ada
rasa sombong, merasa lebih tinggi dari orang lain, atau pula dengan alasan
untuk menutupi kewaliannya di hadapan khalayak.
Namun, Kiai Umar Abdul Mannan tidak menapaki
jejak kewalian seperti demikian. Ia berjalan dengan kebaikan-kebaikan yang
kebaikan tersebut sejalan dengan pandangan masyarakat umum. Salah satu contoh
kebaikan Kiai Umar adalah bagaimana caranya ia berusaha tidak menjadikan orang
lain tergores hatinya walaupun sedikit.
Ny. Hj. Maemunah Baedlowie, salah satu putri Kiai Umar pernah bercerita. Dahulu, di pesantren asuhan Kiai Umar, ada salah satu santri yang ingin tidur, tapi tidak kebagian bantal. Tidak kekurangan akal, santri ini pun berusaha membangunkan santri lain yang sudah tidur lebih dulu dengan tujuan apabila ia bangun, bantal bisa gantian digunakan orang lain. Mubarok adalah santri yang menjadi target kala itu. Ia dibangunkan dengan cara dibohongi memakai kalimat, “Eh, kamu ditimbali (dipanggil) Mbah Umar.”
Baru setengah sadar, merasa dipanggil
gurunya, Mubarok segera bangun meninggalkan tempat tidur. Ia tidak lagi
menghiraukan bantal yang habis ia gunakan. Ia bergegas memakai pakaian pantas
lalu menuju ke tempat Kiai Umar berada, padahal Kiai Umar waktu itu sedang
serius mengajar santri-santri lain di salah satu majelis.
Dengan percaya diri tinggi, karena merasa
dipanggil kiai, Mubarok masuk majelis mendekati sang kiai. “Nyuwun pangapunten,
wonten dawuh menopo, Yai? (Mohon maaf, ada perintah apa, Kiai?).”
Kiai Umar langsung menangkap bahwa ada yang
tidak beres. Pasalnya ia tidak merasa habis memanggil Mubarok untuk menghadap.
Namun, Kiai Umar tidak lantas mengatakan “Ada apa ya? aku tidak memanggil
kamu.” Meskipun hal tersebut sah dan jujur, tapi bagaimana malunya Mubarok di
depan para santri lain yang hadir apabila Kiai Umar mengatakan sejujurnya.
Tentu ia akan menanggung malu.
Kesigapan Kiai Umar mengelola hati orang lain
di sini patut diteladani. Sambil melepas jam tangan yang dipakai, Kiai Umar
langsung menjawab “Oh ya, begini, jam tangan saya ini tolong disesuaikan dengan
jam yang ada di masjid, ya! Kalau sudah cocok, nanti bawa ke sini lagi!” Demikian
perintah Kiai Umar.
Mubarok pun langsung melaksanakan perintah
Kiai tanpa ada perasaan curiga sama sekali. Dengan demikian, Mubarok, walaupun
ia santrinya sendiri, Kiai Umar tetap menjaga supaya tidak menanggung malu di
hadapan orang banyak.
Di kemudian hari, Mubarok yang pernah
dikerjain temannya ini, menjadi kiai, pengasuh Pesantren Roudhotut Tholibin,
Jetis, Susukan, Semarang, Jawa Tengah.
Sikap Kiai Umar dalam menjaga perasaan orang
lain, sesuai dengan hadits Nabi Muhammad ﷺ:
المُسْلِمُ
مَنْ سَلِمَ المُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ
Artinya: “Orang Islam adalah orang yang bisa
menjadikan Muslim lain selamat dari perilaku lisan dan tangannya” (HR Bukhari:
10). []
Kisah di atas diceritakan KH. Muhammad Shofi
Al-Mubarok Baedlowie. Pengasuh Pesantren Sirojuth Tholibin, Brabo, Grobogan
kepada NU Online.
(Ahmad Mundzir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar