Yang Paling Baik, Dzikir
dalam Hati atau dengan Lisan?
Berdzikir diperintahkan berulang kali dalam
Al-Qur’an dan hadits, dalam berbagai kondisi. Dalam Al-Qur’an, Allah
menjelaskan ciri seorang ulul albab adalah orang yang senantiasa berzikir,
sebagaimana dalam ayat berikut:
الَّذِينَ
يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring” (QS. Ali Imran: 191).
Lumrahnya, yang dinamakan dzikir adalah
bacaan ibadah tertentu yang diucapkan dan bisa terdengar. Tetapi tak jarang
juga dzikir dilakukan dalam hati saja sehingga tak ada siapa pun yang tahu.
Manakah di antara kedua praktik ini yang terbaik? Imam at-Thabari, sebagaimana
dinukil oleh Ibnu Batthal menjelaskan masalah ini sebagai berikut:
فإن قيل:
أى الذكرين أعظم ثوابًا الذكر الذى هو بالقلب، أو الذكر الذى هو باللسان؟ قيل: قد
اختلف السلف فى ذلك، فروى عن عائشة أنها قالت: لأن أذكر الله فى نفسى أحب إلىَّ أن
أذكره بلسانى سبعين مرة. وقال آخرون: ذكر الله باللسان أفضل. روى عن أبى عبيدة بن
عبد الله بن مسعود قال: ما دام قلب الرجل يذكر الله تعالى فهو فى صلاة، وإن كان فى
السوق، وإن تحرك بذلك اللسان والشفتان فهو أعظم.
“Apabila dikatakan dzikir yang manakah yang
lebih besar pahalanya, apakah yang di hati saja ataukah yang dengan lisan?,
dijawab: Ulama Salaf berbeda tentang hal itu. Diriwayatkan dari Aisyah
bahwa ia berkata: “Aku berdzikir kepada Allah dalam hati lebih aku sukai
daripada Aku berzikir dengan lisanku 70 kali". Tokoh lain berkata:
“Dzikir dengan lisan kepada Allah adalah lebih utama". Diriwayatkan
dari Abu Ubaidah bin Abdullah bin Masud ia berkata: “Selama hati seseorang
berdzikir kepada Allah maka ia berada dalam doa meskipun ia di pasar. Apabila
lisan dan kedua bibirnya bergerak mengucapkannya, maka itu lebih besar pahalanya.”
(Ibnu Batthal, Syarh Shahih al-Bukhari, X, 430)
Imam at-Thabari kemudian mencoba
mengompromikan kedua pendapat itu dengan merinci apakah ada potensi riya
(keinginan untuk dipuji orang) dalam dzikir itu dan apakah pelakunya adalah
seorang panutan atau bukan. Ia berkata:
والصواب
عندى أن إخفاء النوافل أفضل من ظهورها لمن لم يكن إمامًا يقتدى به، وإن كان فى
محفل اجتمع أهله لغير ذكر الله أو فى سوق وذلك أنه أسلم له من الرياء، وقد روينا
من حديث سعد بن أبى وقاص عن النبى (صلى الله عليه وسلم) أنه قال: (خير الرزق ما يكفى، وخير الذكر الخفى) ولمن كان
بالخلاء أن يذكر الله بقلبه ولسانه؛ لأن شغل جارحتين بما يرضى الله تعالى أفضل
"Yang benar menurutku adalah menyamarkan
ibadah sunnah adalah lebih utama daripada menampakannya bagi selain imam yang
diikuti oleh orang lain apabila ia berada dalam kerumunan orang yang tidak
berdzikir kepada Allah atau berada di pasar, karena dzikir samar itu
lebih aman baginya dari riya. ... Dan bagi orang yang sendirian hendaknya
berdzikir kepada Allah dengan hati dan lisannya karena sibuknya anggota badan
dengan sesuatu yang diridhoi Allah adalah lebih utama." (Ibnu Batthal,
Syarh Shahih al-Bukhari, X, 430)
Dalam internal mazhab Syafi’i dan juga
menurut beberapa ulama lainnya, dzikir dalam hati saja atau dzikir yang terucap
sangat pelan sehingga pengucapnya sendiri tak mendengar, tidaklah bisa disebut
kegiatan berdzikir sehingga tak ada pahalanya. Imam Ibnu Hajar al-Haitami
menjelaskan pendapat para ulama tersebut sebagaimana berikut:
وَأَمَّا
حَيْثُ لَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ فَلَا يُعَدُّ بِحَرَكَةِ لِسَانِهِ وَإِنَّمَا
الْعِبْرَةُ بِمَا فِي قَلْبِهِ عَلَى أَنَّ جَمَاعَةً مِنْ أَئِمَّتِنَا
وَغَيْرِهِمْ يَقُولُونَ: لَا ثَوَابَ فِي ذِكْرِ الْقَلْبِ وَحْدَهُ وَلَا مَعَ
اللِّسَانِ حَيْثُ لَمْ يُسْمِعْ نَفْسَهُ
“Adapun sekiranya seseorang tidak membuat
dirinya sendiri mendengar [apa yang diucapkan], maka gerakan lisannya
tidaklah diperhitungkan tetapi yang diperhitungkan adalah apa yang ada
dalam hatinya saja, meskipun sekelompok para imam Syafi’iyah dan
lainnya berkata: "tidak ada pahala dalam dzikir dalam hati saja, juga
dalam dzikir yang bersama lisan tetapi dirinya sendiri tidak
mendengarnya". (ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj, III,
182).
Akan tetapi, ketiadaan pahala tersebut
menurut Ibnu Hajar al-Haitami bila dipandang dari aspek dzikir secara khusus.
Akan tetapi dari aspek menyibukkan hati dengan mengingat Alah, maka tetaplah
berpahala, bahkan sangat baik. Ia menjelaskan:
وَيَنْبَغِي
حَمْلُهُ عَلَى أَنَّهُ لَا ثَوَابَ عَلَيْهِ مِنْ حَيْثُ الذِّكْرِ الْمَخْصُوصِ،
أَمَّا اشْتِغَالُ الْقَلْبِ بِذَلِكَ وَتَأَمَّلْهُ لِمَعَانِيهِ
وَاسْتِغْرَاقِهِ فِي شُهُودِهِ فَلَا شَكَّ أَنَّهُ بِمُقْتَضَى الْأَدِلَّةِ
يُثَابُ عَلَيْهِ مِنْ هَذِهِ الْحَيْثِيَّةِ الثَّوَابَ الْجَزِيلَ،
وَيُؤَيِّدُهُ خَبَرُ الْبَيْهَقِيّ «الذِّكْرُ الَّذِي لَا تَسْمَعُهُ
الْحَفَظَةُ يَزِيدُ عَلَى الذِّكْرِ الَّذِي تَسْمَعُهُ الْحَفَظَةُ سَبْعِينَ
ضِعْفًا» اهـ بِحُرُوفِهِ
“[Ketiadaan pahala dzikir dalam hati atau
dzikir sangat pelan higga tak terdengar itu] sebaiknya diletakkan dalam konteks
dzikir secara khusus. Adapun menyibukkan hati dengannya dan menghayati maknanya
dan menghabiskan waktu merenungkannya maka tak diragukan bahwasanya sesuai
tuntutan berbagai dalil yang ada ia mendapat pahala besar dari aspek ini. Hal
ini diperkuat dengan hadis dari al-Baihaqi: “Dzikir yang tak didengar para
malaikat pencatat lebih bertambah pahalanya 70 kali daripada dzikir yang
didengar oleh para malaikat.” (ar-Ramli, Nihayat al-Muhtaj Ila Syarh al-Minhaj,
III, 182).
Maksudnya, misalnya Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan agar
membaca tasbih, tahmid dan takbir sebanyak 33 kali sehabis shalat wajib, maka
anjuran ini hanya akan dianggap terlaksana dan mendapat pahalanya bila dibaca
dengan lisan, tak cukup dibesitkan dalam hati saja. Inilah yang dimaksud pahala
dzikir secara khusus. Namun bagi yang membacanya dalam hati bukan berarti tak
mendapat pahala sama sekali tetapi ia mendapat pahala dari aspek merenung dan
mengingat Allah, dan ini juga besar pahalanya.
Bila semua penjelasan ini digabungkan, maka
kesimpulannya adalah: Dzikir yang diperintahkan secara khusus haruslah
diucapkan dengan lisan agar mendapat pahala dari perintah khusus tersebut. Bila
tidak diucapkan, masih ada pahala bagi yang mengingat Allah dalam hatinya.
Adapun dzikir yang umum tanpa ada perintah khusus sehingga bisa dibaca kapan
saja di mana saja, maka perlu dilihat potensi riya di dalamnya. Bila ada
potensi riya ketika membacanya, maka lebih utama dilakukan dalam hati. Akan
tetapi bila aman dari potensi riya, misalnya ketika sendirian atau dilakukan
oleh seorang panutan agar tindakannya ditiru orang lain, maka lebih utama
dilakukan dengan hati sekaligus diucapkan dengan lisan. Wallahu a’lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Pengurus LBM PWNU Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar