Senin, 27 Januari 2020

Nasaruddin Umar: Meluruskan Makna Jihad (11): Belajar dari Diplomasi Hudaibiyyah


Meluruskan Makna Jihad (11)
Belajar dari Diplomasi Hudaibiyyah
Oleh: Nasaruddin Umar

Keberhasilan yang dicapai Nabi Muhammad dalam memperkenalkan misinya sesungguhnya lebih banyak ditentukan oleh kekuatan dan keunggulan diplomasi, bukan karena kekuatan bala tentara. Rasulullah lebih menonjol sebagai diplomat ketimbang seorang jenderal perang, meskipun semasa di Madinah Nabi diharapkan sejumlah peperangan dan beberapa kali di antaranya memimpin langsung peperangan itu.

Salah satu contoh keunggulan diplomasi yang dilakukan Nabi ialah Perjanjian Hudaibiyah. Keputusan yang dilakukan Nabi dalam perjanjian ini sangat tidak populis. Bahkan sahabat terdekatnya seperti Umar tidak mau menuliskan perjanjian itu, karena bukan hanya tidak adil tetapi juga melecehkan simbol-simbol akidah Islam.

Ketika dilakukan perundingan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy. Rasulullah memimpin langsung delegasinya dan dari pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim, tetapi ditolak oleh Suhail karena kalimat itu asing, lalu ia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang popular di masyarakat Arab ketika itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (Perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Tetapi Suhail kembali menolak kalimat ini dan mengusulkan kata Hadza ma qudhiya 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (Perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad putra Abdullah).

Pencoretan basmalah dan kata "Rasulullah" membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu, namun Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu. Konon Rasulullah mengambil alih sendiri penulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu prinsip dasar akidah Islam.

Kelemahan lain dari segi substansi, menurut para sahabat Nabi, terdapat materi yang dinilai tidak adil, karena kalau orang kafir Quraisy yang menyeberang batas di wilayah muslim,Madinah, maka segera dibebaskan dan segera dikembalikan ke Mekkah. Sedangkan kalau yang melanggar batas umat Islam, maka orangnya ditahan di Mekkah. Materi perjanjian seperti ini pun Rasulullah menyetujuinya.

Kelihatannya memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu akidah, berupa pencoretan kalimat Bismillah dan Rasulullah yang dianggap prinsip dalam Islam, namun Nabi tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan, terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan. Nabi tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan senjata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan.

Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Nabi itu. Seandainya saja Nabi hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, maka sudah pasti tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Tetapi para sahabatnya tahu bahwa Nabi di samping seorang kepala negara cerdas juga seorang Nabi, sehingga para sahabat diam dan menurut.

Pada akhirnya, apa yang ditetapkan Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, maka sudah barang tentu akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Mekkah. Sebaliknya kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Mekkah dibiarkan, karena pasti mereka itu para kader dan dapat melakukan upaya politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraish.

Pada saat bersamaan, Nabi terus menggalang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggiran dan karena kepiawaiannya, maka Nabi berhasil memukau sejumlah kabilah-kabilah kecil dan bersatu di bawah kekuatan Nabi. Kabilah-kabilah yang tadinya terpecah belah di kawasan Yatsrib (Madinah), Nabi berhasil menyatukannya, terutama dua suku besar yaitu suku 'Aus dan suku Khazraj. Akhirnya kekuatan umat Islam yang juga didukung oleh umat agama lain semakin besar. []

DETIK, 16 Januari 2020
Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA | Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar