Apakah Cairan Hitam pada
Cumi-cumi itu Najis?
Cumi-cumi merupakan salah satu hewan laut
yang dihalalkan oleh syara’ untuk mengonsumsinya. Namun setiap kali
mengonsumsi cumi-cumi, kita pasti mendapati cairan hitam yang berada di dalam
daging cumi-cumi ini. Bahkan seringkali cairan hitam yang ada pada cumi-cumi
justru merupakan pelengkap kenikmatan makan bagi sebagian orang.
Hal yang menjadi pertanyaan, sebenarnya
apakah status dari cairan hitam pada cumi-cumi ini? Apakah najis, sehingga
tidak boleh untuk dikonsumsi, atau suci sehingga bebas untuk dikonsumsi?
Dalam menyikapi status cairan hitam yang
terdapat dalam cumi-cumi, para ulama terjadi perbedaan pendapat. Ulama yang
berpandangan suci berpijak pada ketentuan bahwa cairan hitam merupakan cairan
khusus yang hanya dimiliki oleh cumi-cumi yang berfungsi untuk sembunyi dari
hewan laut yang akan memangsanya. Cairan ini tidak dapat disamakan dengan
kotoran-kotoran yang terdapat di dalam ikan yang memang secara umum dihukumi
najis.
Penjelasan ulama yang berpandangan bahwa
cairan hitam pada cumi-cumi dihukumi suci, misalnya terdapat dalam kitab
Bulghah at-Thullab:
ـ
(مسألة: ث) السواد الذي يوجد في بعض الحيتان مما اختلف فيه
هل هو من الباطن فيكون نجسا أو لا فيكون طاهرا, فينبغي للعاقل أن يتحققه لأنّ هذا
مما يتعلّق بالعيان. قلت: يعني أنّ هذا السواد إذا كان من الباطن فهو أشبه بالقيئ
فيكون نجسا وإلّا فهو أشبه باللعاب فيكون طاهرا. وقد قال بعض مشايخنا: أنّ هذا
السواد شيء جعله الله لصاحبه ترسا يتترس به عن كبار الحيتان فإذا قصده حوت كبير
ليأكله أخرج هذا السواد فاختفى به عنه فلا يقاس بالقيئ ولا باللعاب لكونه خاصا له
بهذه الخصوصية ويكون طاهرا والله أعلم
“Warna hitam yang ditemukan di sebagian jenis
ikan merupakan sebagian persoalan yang diperselisihkan apakah termasuk kategori
cairan yang keluar dari bagian dalam ikan sehingga tergolong najis, atau bukan
dari bagian dalam sehingga dihukumi suci. Hendaknya bagi orang yang berakal
agar memperdalam permasalahan ini karena termasuk suatu hal yang berhubungan
dengan realitas. Aku (pengarang) berkata cairan hitam ini jika memang berasal
dari bagian dalam maka lebih serupa dengan muntahan sehingga dihukumi najis,
jika tidak dari dalam maka serupa dengan air liur sehingga dihukumi suci.
Sebagian guruku pernah berkata: “cairan hitam
ini merupakan sesuatu yang diciptakan oleh Allah pada hewan yang memilikinya
untuk dijadikan tameng agar dapat berlindung dari makhluk laut yang lebih
besar. Ketika terdapat makhluk laut besar yang akan memangsanya maka ia
mengeluarkan cairan hitam ini agar dapat bersembunyi. Maka cairan hitam ini
tidak dapat disamakan dengan muntahan ataupun air liur, sebab cairan hitam ini
adalah sesuatu yang menjadi ciri khas hewan ini, sehingga dihukumi suci” (Syekh
Thaifur Ali Wafa, Bulghah at-Thullab, hal. 106)
Sedangkan ulama yang berpandangan bahwa
cairan hitam pada cumi cumi adalah sesuatu yang najis dan tidak dapat
dikonsumsi, berpijak pada ketentuan umum dalam hewan bahwa segala sesuatu yang
tergolong bagian dalam hewan dan bukan merupakan juz dari hewan maka dihukumi
najis, termasuk cairan hitam ini, sebab menurut pandangan mereka, cairan hitam
tergolong cairan yang keluar dari bagian dalam cumi-cumi, bukan dari bagian
luar. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam Bughyah al-Mustarsyidin:
الذي
يظهر أنّ الشيء الأسود الذي يوجد في بعض الحيتان وليس بدم ولا لحم نجس, إذ صريح
عبارة التحفة أنّ كلّ شيء في الباطن خارج عن أجزاء الحيوان نجس, ومنه هذا الأسود
للعلّة المذكورة إذ هو دم أو شبهة
“Cairan hitam yang ditemukan pada sebagian
makhluk laut dan bukan merupakan daging ataupun darah dihukumi najis. Sebab
teks dalam kitab Tuhfah menegaskan bahwa sesungguhnya setiap sesuatu yang
berada di bagian dalam adalah sesuatu yang bukan termasuk dari juz (juz/organ)
hewan dan dihukumi najis, termasuk cairan hitam ini, karena alasan yang telah
dijelaskan. Sebab cairan hitam ini sejatinya adalah darah atau serupa (dengan
darah).” (Syekh Abdurrahman bin Muhammad Ba’lawi, Bughyah
al-Mustarsyidin, hal. 15)
Jika berpijak pada ulama yang berpendapat
najis, siapa saja yang ingin mengonsumsi cumi-cumi wajib baginya untuk
membersihkan cumi-cumi dari cairan hitam ini, sekiranya daging dapat menjadi
bersih. Selain itu wajib baginya untuk menyucikan tangan atau anggota tubuh
lain yang terkena cairan hitam ini. Jika berpegangan pada pendapat bahwa cairan
hitam itu suci maka boleh bagi seseorang untuk menikmati cumi-cumi lengkap
dengan cairan hitamnya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam
menyikapi najis tidaknya cairan hitam pada cumi-cumi, para ulama berbeda
pendapat antara yang menghukumi suci dan najis. Kedua pendapat tersebut
sama-sama dapat digunakan oleh masyarakat secara umum. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar