Rabu, 15 Januari 2020

Kang Komar: Agama dan Uang


Agama dan Uang
Oleh: Komaruddin Hidayat

Agama dan mata uang usianya sudah ribuan tahun, keduanya bersinergi menggerakkan sejarah manusia. Tuhan mewahyukan agama, manusia mencipta uang. Keduanya sama-sama menawarkan janji keselamatan dalam arasy yang berbeda. Orang pun rela berjuang dan berkurban demi agama dan uang.

Secara historis, manusia awalnya adalah makhluk nomadik yang tidak menghasilkan peradaban besar. Baru setelah manusia menetap, maka peradaban mulai dibangun dan dikembangkan secara berkesinambungan sampai hari ini.

Mereka disebut “masyarakat” karena untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mesti berserikat, hidup gotong-royong atau kerja sama yang diikat oleh peraturan dan sistem kepercayaan  yang dijaga bersama.

Dalam bahasa Arab, peradaban disebut “hadharah”, seakar dengan kata “hadir”. Artinya, peradaban itu hanya bisa dikembangkan ketika manusia hadir, tinggal dan menetap bersama, yang diikat dengan sistem kepercayaan dan peraturan yang dijaga bersama.

Instrumen pengikat itu antara lain berupa kepercayaan terhadap agama dan mata uang. Makanya di muka bumi terdapat sekian ragam agama yang mengikat para pemeluknya dan sekian banyak jenis mata uang yang dipercayai bersama sebagai alat transaksi.

Penggunaan uang sebagai sarana pertukaran nilai, di samping sistem barter, telah berlangsung ribuan tahun. Namun baru pada awal abad ke-17 di Eropa berdiri bank-bank yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah sehingga masyarakat percaya untuk menyimpan uang dalam bank.

Institusi keuangan Inggris tertua yang masih berdiri adalah C Hoares & Co, didirikan Richard Hoare pada 1672. Institusi ini muncul bersamaan dengan revolusi industri untuk memudahkan transaksi jual beli dan memberi rasa aman bagi masyarakat untuk menyimpan uangnya.

Jadi, penyebaran agama dan mata uang mensyaratkan  adanya kepercayaan dari pemeluk dan penggunanya. Jika kepercayaan mereka menurun, agama dan uang juga akan turun posisinya. Di muka bumi ini terdapat ratusan agama dan mata uang yang lenyap ditelan waktu karena kehilangan kepercayaan dari komunitasnya.

Dengan jasa uang,  masyarakat kota tak perlu membangun gudang penyimpanan bahan makanan pokok, tetapi cukup berbelanja ke toko terdekat lalu disimpan di kulkas.  Agar lebih praktis, sekarang diciptakan e-money  agar seseorang tak perlu bawa segepok uang  uang kertas jika bepergian. Cukup bawa kartu kredit.

Sedemikian dahsyatnya daya tarik uang sehingga uang juga memiliki kecenderungan menjadi komoditas yang mandiri. Semula uang  berfungsi sebagai pengganti harga sebuah komoditas lalu sekarang eksistensi uang berkembang menjadi barang komoditas.

Orang berjualan uang, dibeli dengan uang. Orang merasa kaya raya ketika memiliki tabungan uang di bank dalam jumlah besar, sekalipun kekayaannya cukup ditunjukkan dengan angka.  Lagi-lagi, di sini faktor kepercayaan atau iman pada uang amat sangat penting.

Seseorang pun disebut “miliarder” diukur dengan kuantitas nilai uangnya yang tersimpan dalam bank, sekalipun banknya berada jauh di luar negeri. Ketika ada orang melakukan ritual dengan menghitung jumlah pahalanya, maka seorang deposan akan menghitung-hitung jumlah bunganya agar menambah kekayaannya.

Kekuatan pemersatu

Pada zaman nomadik, seseorang lebih merasa terikat oleh hubungan darah, mulai dari ikatan keluarga lalu berkembang menjadi ikatan dan solidaritas etnis. Mereka berpindah-pindah untuk berburu mencari makanan semata untuk bertahan (survive) dan pola ini berhenti ketika nenek moyang kita memasuki tahap pertanian, hidup menetap. Di samping kesamaan tanah air dan ikatan darah, sebuah komunitas juga disatukan oleh kesamaan sistem nilai: tradisi, agama dan iman.

Dewa-dewa yang mereka yakini telah menciptakan solidaritas dan kohesivitas di antara mereka (Christ Skinner, Digital Human, 2018).  Oleh karenanya, keragaman agama beriringan  dengan  keragaman etnis, budaya dan bangsa  sehingga kehidupan menjadi warna-warni. Di antara keragaman itu lalu muncul warna dominan, seperti mata uang dollar AS yang melampaui batas negaranya, atau agama Kristen dan Islam yang selalu punya klaim sebagai agama universal, melewati batas etnis.

Tanpa kita sadari uang punya kekuatan pemersatu. Pribadi yang tidak saling kenal, yang tidak punya hubungan darah serta datang dari negara entah- berentah, mereka bisa dihubungkan, disatukan dan melakukan transaksi bisnis karena adanya kepercayaan dan kebutuhan terhadap mata uang.

Uang menciptakan komunitas tersendiri yang sama-sama memercayainya, meskipun  mereka tidak saling mengenal secara pribadi. Bayangkan, kalau saja masyarakat dunia tidak memiliki kepercayaan terhadap suatu mata uang, maka tak mungkin akan lahir ilmu akuntansi, gedung, lembaga, dan teknologi perbankan yang memfasilitasi kegiatan bisnis dan pinjam-meminjam lintas bangsa dan negara.

Jadi, agama dan uang ternyata mampu mempersatukan dan menggerakkan manusia yang meninggalkan jejak-jejak sejarah besar. Bangunan historis dan monumental seperti piramida di Mesir, Borobudur di Indonesia, Angkor Wat di Kambodja, semuanya dibangun dengan motif keagamaan yang oleh generasi sesudahnya dikapitalisasi sebagai obyek turisme untuk menghasilkan uang.

Begitupun bangunan Kabah di Mekah yang awalnya dibangun sebagai pusat ritual, bagi pemerintah Saudi Arabia juga berfungsi sebagai sumber devisa yang mengalir dari hari ke hari.

Bisnis perhotelan berkembang pesat di Mekah dan Madinah. Begitupun Bali yang dikenal sebagai Pulau Dewata, Bali juga jadi sumber devisa yang mengucurkan uang bagi penduduknya.

Sisi negatif yang kadang muncul adalah agama dan uang sering menciptakan kegaduhan dan perpecahan di masyarakat. Agama menyatukan sekaligus juga memisahkan. Lalu uang ikut andil dalam pertikaian itu. Ditengarai, sering terjadi koalisi antara agama dan uang dalam panggung politik.

Demonstrasi politik atas nama agama tidak mungkin terlaksana tanpa uang, atau bahkan niatnya jangan-jangan memang untuk berburu uang, baik jangka pendek maupun jangka panjang.

Hubungan antara spirit keagamaan dan ambisi menumpuk kekayaan dijelaskan dengan bagus oleh Rachel M McClearly & Robert J Barro dalam The Wealth of Religions (2019), sebuah rekonstruksi pemikiran Max Weber dalam karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930).

Juru selamat

Memasuki abad digital, agama dan uang mengalami tantangan dan perubahan baru. Banyak orang tak lagi percaya pada tawaran  agama tentang keteraturan hidup dan keselamatan akhirat. Kepercayaan dan kesetiaan orang pada uang pun sangat fluktuatif.

Di era digital kesetiaan jangka panjang digeser oleh kepentingan kontraktual jangka pendek. Kehangatan ikatan komunal diganti relasi jejaring orang per orang lewat internet yang bersifat atomik dan impersonal.

Janji dan tawaran agama untuk meraih keselamatan hidup disaingi oleh janji kesenangan yang ditawarkan oleh uang digital yang instan. Melalui jasa internet uang diposisikan sebagai sumber energi yang bisa ditukarkan dengan apa saja, kapan saja, kecuali mengganti kematian dengan keabadian.

Bagaimanakah format masa depan agama dan uang, topik ini tak pernah berhenti jadi bahan diskusi. Di Indonesia, jalinan antara agama, uang, dan politik telah meramaikan ruang publik yang kadang-kadang mencapai batas yang sangat menyebalkan.

Sejak abad-abad silam Alkitab telah memperingatkan: “Akar segala kejahatan ialah cinta uang. Karena disebabkan oleh memburu uang lah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai ragam duka”. (1 Timotius 6:10). []

KOMPAS, 7 Januari 2020
Komaruddin Hidayat | Pembina Yayasan Pendidikan Madania Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar