Agama dan Uang
Oleh: Komaruddin Hidayat
Agama dan mata uang usianya sudah ribuan tahun, keduanya
bersinergi menggerakkan sejarah manusia. Tuhan mewahyukan agama, manusia
mencipta uang. Keduanya sama-sama menawarkan janji keselamatan dalam arasy yang
berbeda. Orang pun rela berjuang dan berkurban demi agama dan uang.
Secara historis, manusia awalnya adalah makhluk nomadik yang tidak
menghasilkan peradaban besar. Baru setelah manusia menetap, maka peradaban
mulai dibangun dan dikembangkan secara berkesinambungan sampai hari ini.
Mereka disebut “masyarakat” karena untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya mesti berserikat, hidup gotong-royong atau kerja sama yang diikat oleh
peraturan dan sistem kepercayaan yang dijaga bersama.
Dalam bahasa Arab, peradaban disebut “hadharah”, seakar dengan
kata “hadir”. Artinya, peradaban itu hanya bisa dikembangkan ketika manusia
hadir, tinggal dan menetap bersama, yang diikat dengan sistem kepercayaan dan
peraturan yang dijaga bersama.
Instrumen pengikat itu antara lain berupa kepercayaan terhadap
agama dan mata uang. Makanya di muka bumi terdapat sekian ragam agama yang
mengikat para pemeluknya dan sekian banyak jenis mata uang yang dipercayai
bersama sebagai alat transaksi.
Penggunaan uang sebagai sarana pertukaran nilai, di samping sistem
barter, telah berlangsung ribuan tahun. Namun baru pada awal abad ke-17 di
Eropa berdiri bank-bank yang diakui dan dilindungi oleh pemerintah sehingga
masyarakat percaya untuk menyimpan uang dalam bank.
Institusi keuangan Inggris tertua yang masih berdiri adalah C
Hoares & Co, didirikan Richard Hoare pada 1672. Institusi ini muncul
bersamaan dengan revolusi industri untuk memudahkan transaksi jual beli dan
memberi rasa aman bagi masyarakat untuk menyimpan uangnya.
Jadi, penyebaran agama dan mata uang mensyaratkan adanya kepercayaan
dari pemeluk dan penggunanya. Jika kepercayaan mereka menurun, agama dan uang
juga akan turun posisinya. Di muka bumi ini terdapat ratusan agama dan mata
uang yang lenyap ditelan waktu karena kehilangan kepercayaan dari komunitasnya.
Dengan jasa uang, masyarakat kota tak perlu membangun gudang
penyimpanan bahan makanan pokok, tetapi cukup berbelanja ke toko terdekat lalu
disimpan di kulkas. Agar lebih praktis, sekarang diciptakan e-money
agar seseorang tak perlu bawa segepok uang uang kertas jika bepergian.
Cukup bawa kartu kredit.
Sedemikian dahsyatnya daya tarik uang sehingga uang juga memiliki
kecenderungan menjadi komoditas yang mandiri. Semula uang berfungsi
sebagai pengganti harga sebuah komoditas lalu sekarang eksistensi uang berkembang
menjadi barang komoditas.
Orang berjualan uang, dibeli dengan uang. Orang merasa kaya raya
ketika memiliki tabungan uang di bank dalam jumlah besar, sekalipun kekayaannya
cukup ditunjukkan dengan angka. Lagi-lagi, di sini faktor kepercayaan
atau iman pada uang amat sangat penting.
Seseorang pun disebut “miliarder” diukur dengan kuantitas nilai
uangnya yang tersimpan dalam bank, sekalipun banknya berada jauh di luar
negeri. Ketika ada orang melakukan ritual dengan menghitung jumlah pahalanya,
maka seorang deposan akan menghitung-hitung jumlah bunganya agar menambah
kekayaannya.
Kekuatan pemersatu
Pada zaman nomadik, seseorang lebih merasa terikat oleh hubungan
darah, mulai dari ikatan keluarga lalu berkembang menjadi ikatan dan
solidaritas etnis. Mereka berpindah-pindah untuk berburu mencari makanan semata
untuk bertahan (survive) dan pola ini berhenti ketika nenek moyang kita
memasuki tahap pertanian, hidup menetap. Di samping kesamaan tanah air dan
ikatan darah, sebuah komunitas juga disatukan oleh kesamaan sistem nilai:
tradisi, agama dan iman.
Dewa-dewa yang mereka yakini telah menciptakan solidaritas dan
kohesivitas di antara mereka (Christ Skinner, Digital Human, 2018). Oleh
karenanya, keragaman agama beriringan dengan keragaman etnis,
budaya dan bangsa sehingga kehidupan menjadi warna-warni. Di antara
keragaman itu lalu muncul warna dominan, seperti mata uang dollar AS yang
melampaui batas negaranya, atau agama Kristen dan Islam yang selalu punya klaim
sebagai agama universal, melewati batas etnis.
Tanpa kita sadari uang punya kekuatan pemersatu. Pribadi yang
tidak saling kenal, yang tidak punya hubungan darah serta datang dari negara
entah- berentah, mereka bisa dihubungkan, disatukan dan melakukan transaksi
bisnis karena adanya kepercayaan dan kebutuhan terhadap mata uang.
Uang menciptakan komunitas tersendiri yang sama-sama
memercayainya, meskipun mereka tidak saling mengenal secara pribadi.
Bayangkan, kalau saja masyarakat dunia tidak memiliki kepercayaan terhadap
suatu mata uang, maka tak mungkin akan lahir ilmu akuntansi, gedung, lembaga,
dan teknologi perbankan yang memfasilitasi kegiatan bisnis dan pinjam-meminjam
lintas bangsa dan negara.
Jadi, agama dan uang ternyata mampu mempersatukan dan menggerakkan
manusia yang meninggalkan jejak-jejak sejarah besar. Bangunan historis dan
monumental seperti piramida di Mesir, Borobudur di Indonesia, Angkor Wat di
Kambodja, semuanya dibangun dengan motif keagamaan yang oleh generasi
sesudahnya dikapitalisasi sebagai obyek turisme untuk menghasilkan uang.
Begitupun bangunan Kabah di Mekah yang awalnya dibangun sebagai
pusat ritual, bagi pemerintah Saudi Arabia juga berfungsi sebagai sumber devisa
yang mengalir dari hari ke hari.
Bisnis perhotelan berkembang pesat di Mekah dan Madinah. Begitupun
Bali yang dikenal sebagai Pulau Dewata, Bali juga jadi sumber devisa yang
mengucurkan uang bagi penduduknya.
Sisi negatif yang kadang muncul adalah agama dan uang sering
menciptakan kegaduhan dan perpecahan di masyarakat. Agama menyatukan sekaligus
juga memisahkan. Lalu uang ikut andil dalam pertikaian itu. Ditengarai, sering
terjadi koalisi antara agama dan uang dalam panggung politik.
Demonstrasi politik atas nama agama tidak mungkin terlaksana tanpa
uang, atau bahkan niatnya jangan-jangan memang untuk berburu uang, baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
Hubungan antara spirit keagamaan dan ambisi menumpuk kekayaan
dijelaskan dengan bagus oleh Rachel M McClearly & Robert J Barro dalam The
Wealth of Religions (2019), sebuah rekonstruksi pemikiran Max Weber dalam
karyanya The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism (1930).
Juru selamat
Memasuki abad digital, agama dan uang mengalami tantangan dan
perubahan baru. Banyak orang tak lagi percaya pada tawaran agama tentang
keteraturan hidup dan keselamatan akhirat. Kepercayaan dan kesetiaan orang pada
uang pun sangat fluktuatif.
Di era digital kesetiaan jangka panjang digeser oleh kepentingan
kontraktual jangka pendek. Kehangatan ikatan komunal diganti relasi jejaring
orang per orang lewat internet yang bersifat atomik dan impersonal.
Janji dan tawaran agama untuk meraih keselamatan hidup disaingi
oleh janji kesenangan yang ditawarkan oleh uang digital yang instan. Melalui
jasa internet uang diposisikan sebagai sumber energi yang bisa ditukarkan
dengan apa saja, kapan saja, kecuali mengganti kematian dengan keabadian.
Bagaimanakah format masa depan agama dan uang, topik ini tak
pernah berhenti jadi bahan diskusi. Di Indonesia, jalinan antara agama, uang,
dan politik telah meramaikan ruang publik yang kadang-kadang mencapai batas
yang sangat menyebalkan.
Sejak abad-abad silam Alkitab telah memperingatkan: “Akar segala
kejahatan ialah cinta uang. Karena disebabkan oleh memburu uang lah beberapa
orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai ragam
duka”. (1 Timotius 6:10). []
KOMPAS, 7 Januari 2020
Komaruddin Hidayat | Pembina Yayasan Pendidikan Madania Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar