Menjadikan Politik Bermakna
Oleh: Yudi Latif
APALAGI yang pantas dikabarkan dari centang perenang jagat politik,
persoalan banjir, hingga skandal korupsi yang tak kenal ujung? Bukankah
sekalipun lautan dijadikan tinta niscaya akan habis airnya sebelum tuntas
dituliskan berbagai masalah dan sengkarut kenegaraan kita.
Dengan analisis politik yang membatasi perhatian pada perilaku dan
kinerja lembaga-lembaga politik formal serta pada katalogisasi
peristiwa-peristiwa rutin politik praktis, nyaris tak ada kisah yang bisa
membangkitkan harapan.
Rutinitas pemberitaan berbagai kesalahan tata kelola, permusuhan,
dan skandal politik membuat istilah 'politik' dalam bayangan banyak orang mulai
bergeser konotasinya menjadi sesuatu yang penuh kengerian dan kerisauan,
seperti konflik identitas, perpecahan partai, mahar politik, pemborosan dana,
perluasan korupsi, mediokritas pemimpin, dan ingkar janji.
Bayangan politik dalam konotasi negatif itu seperti layang-layang
putus dari pangkal tali pegangan. Pangkal pengertian politik itu bermula dari
istilah 'polis' (kota) dalam tradisi Athena, yakni tempat segala sesuatu
diputuskan dengan jalan nalar permusyawaratan (bukan lewat jalan irasionalitas
dan kekerasan). Berkat keberadaan dan keterlibatan warga kota yang berbudaya
dan rasional, Aristoteles menggambarkan politik sebagai seni mulia mengelola
republik demi kebajikan kolektif.
Pengertian politik yang tergelincir ke dalam kata-kata kotor
berkembang dalam suasana kehidupan kota yang disesaki artifisialitas tampilan
permukaan, tanpa kedalaman substansi. Warga kota (republik) di Indonesia saat
ini seakan-akan hidup di zaman buih keterapungan. Ucapan dan janji bergelembung
tanpa isi yang bisa ditangkap. Makna menguap dalam keriuhan viral maya.
Tindakan tersandera di belantara media sosial; nalar kritis teringkus sebatas
caci maki tanpa solusi.
Memulihkan kesejatian politik
Untuk memulihkan kesejatian politik, kita perlu memahami terlebih
dahulu bahwa dasar mengada dari politik itu sesungguhnya ialah budaya kewargaan
(budaya kota). Warga kota-negara menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota
dan republiknya, bukan sekadar penduduk yang menumpang tidur demi mencari
makan. Aktif terlibat, bergerak, dan berbaur dengan keragaman di ruang
publik--tidak "mager" (malas gerak) dan terisolasi di bungker
identitas masing-masing.
Pergerakan dan perjumpaan di ruang publik itulah yang menjadi
pengungkit pertukaran gagasan, penyerbukan silang budaya, dan kreativitas
warga. Dalam studi terkini, psikolog Marily Oppezzo dan Daniel Schwartz dari
Universitas Stanford berusaha menginvestigasi hubungan antara kebiasaan
bergerak-berjalan dan kreativitas.
Dari eksperimen terhadap dua kelompok, 'pejalan' (walkers) dan
'penduduk' (sitters), terungkap bahwa perbedaan level kreativitas kelompok
pejalan yang secara signifikan dan konsisten jauh di atas kelompok penduduk
(malas gerak).
Demi keterlibatan positif dan produktif di ruang publik, warga
dituntut memiliki kecerdasan. Bukan sekadar kecerdasan personal, melainkan
terutama dalam 'kecerdasan kewargaan' (civic intelligence): kompeten mengemban
tugas kewargaan, memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan
pribadi dalam harmoni kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam
perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara
sukacita.
Orang-orang Athena menyebut mereka yang tidak memiliki komitmen
dan kecerdasan untuk terlibat dalam urusan publik sebagai idiotes. Dari sanalah
asal kata 'idiot' untuk menyebut keterbelakangan mental.
Demi mengembangkan kecerdasan kewargaan, perlu diciptakan iklim
kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan diri. Kebebasan juga memberi
ruang toleransi yang memungkinkan berkembangnya kesediaan mengapresiasi
pendapat dan karya orang lain.
Corak politik sangat menentukan. Demokrasi prosedural yang
berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti
peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi
kecerdasan dan kreativitas kewargaan.
Eric Weiner (2016) menengarai tidak ada korelasi antara era
keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan ialah kebebasan
kreatif, bukan demokrasi semata. Bahkan, Tiongkok yang tidak memiliki
demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi
warga untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan.
Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan yang lebih
luas dan sehat. Dalam demokrasi sungguhan, kota-kota kreatif tumbuh menjadi
magnet berkumpulnya orang-orang kreatif, genius, eksentrik, dan visioner dengan
semangat menghormati nalar dan moral publik.
Di kota-kota seperti itu, budaya literasi kuat, semangat mencintai
tanah air menjadi kebajikan kewargaan, pemimpin menjadi penuntun, serta warga
menjadi garda republik.
Kota-kota menjelma menjadi pusat teladan keadaban, mewarisi
tradisi besar umat manusia yang selalu memaknai kota (polis, civic, madina)
dalam konotasi positif; keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan
keteraturan (order).
Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. "Menjadi
manusia beradab," ujar Fernand Braudel, "Berarti memuliakan tingkah
laku, menjadi lebih tertib-taat hukum (civil), dan ramah (sociable)." Max
Weber mendefinisikan kota sebagai 'suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok
berbudaya dan rasional'.
Politik sebagai usaha budaya
Dengan demikian, urusan penyehatan politik itu tidak melulu
mengandalkan tanggung jawab para politikus di ranah pemerintahan, tetapi juga
menuntut kepedulian seluruh warga di berbagai urusan kehidupan publik.
Beruntunglah, ilmu sosiologi politik baru, yang meluaskan cakupan
wacana politik dari perhatian tradisionalnya terhadap relasi kuasa antara
negara dan masyarakat, menuju relasi sosial dalam medan kebudayaan--dalam
kehidupan sehari-hari, dalam media, dan dalam praktik institusional--membantu
memahami politik sebagai suatu kemungkinan yang ada dalam setiap aspek
kehidupan sosial. Politik dalam artian ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang
bersifat kultural. Karena kehidupan sosial didasarkan pada pemaknaan
(signification), pemanipulasian dan pertarungan makna dalam segala kehidupan
sosial dengan sendirinya bersifat politis (Nash, 2000).
Analisis politik yang tidak terbatas pada peristiwa 'murni'
politik dan lembaga-lembaga politik formal ini seturut dengan tanggung jawab
politik dalam kehidupan republik. Istilah republik, 'res publica' (urusan
publik) meliputi seluruh institusi, komunitas, dan wacana yang membentuk
tatanan kehidupan publik; berarti jauh lebih luas ketimbang ranah pemerintahan.
David Hollenbach berargumen, jika yang dimaksud dengan ranah politik
itu meliputi keseluruhan aktivitas manusia dalam kehidupan publik, hal itu jauh
lebih luas ketimbang sebatas institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Dengan demikian, institusi civil society--media, komunitas agama,
dan lembaga swadaya masyarakat lainnya--memiliki peran publik yang dapat
memengaruhi kebijakan publik dan kehidupan republik melalui pengaruhnya
terhadap berbagai komunitas, wacana, serta pada pemahaman budaya warga negara.
Dengan menyodorkan peran politik dari lembaga-lembaga non-politik,
usaha pencerahan atas kegelapan jagat politik itu tidak bisa didelegasikan
kepada masyarakat politik sendirian, yang sejauh ini terbukti kurang bisa
diandalkan. Peran politik masyarakat sipil diharapkan bisa mengembangkan
reservoir nilai-nilai budaya politik yang positif seraya melancarkan kontrol
vertikal atas kebijakan dan perilaku masyarakat politik.
Bagaimanapun juga, watak dan perilaku masyarakat politik merupakan
pantulan dari nilai-nilai budaya dan perangai masyarakat sipil. Dengan kata
lain, sejauh masih ada nilai-nilai dan ide-ide positif dalam lingkungan
masyarakat sipil, sejauh itu pula masih ada harapan bagi perbaikan masyarakat
politik.
Oleh karena itu, tatkala publik mulai jenuh dengan cerita-cerita
negatif dari dunia politik, perhatian media dan opini publik sebaiknya mulai
diarahkan pada ide-ide segar serta perjuangan dan keberhasilan orang-orang
dalam kehidupan sosial yang meniti perubahan secara positif.
Hal ini rasio antara informasi permasalahan dan informasi
penyelesaian masalah perlu lebih diseimbangkan agar sisi-sisi gelap dalam
kehidupan publik mendapatkan kemungkinan pencerahannya.
Dengan realitas pemberitaan yang tidak terlampau terdistorsikan,
ternyata banyak tersembunyi kisah kepahlawanan yang membangkitkan harapan,
yakni meluasnya lanskap inovator yang mengandung potensi transformasi
masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. "Dua puluh tahun yang lalu,
hanya ada satu organisasi lingkungan yang independen di Indonesia. Hari ini,
setidaknya ada lebih dari 2000 organisasi sejenis itu," tulis David
Bornstein dalam How to Change the World.
Apa yang diungkapkan oleh Bornstein itu merupakan pertanda dari
kebangkitan social entrepreneur di negeri ini. Orang-orang dengan ide-ide
transformatif untuk mengatasi masalah-masalah besar yang tidak kenal lelah
berjuang merealisasikan visinya. Program talk show Kick Andy secara regular
mengungkap kisah kepahlawanan para inovator ini.
Masalahnya, ada kesenjangan antara gagasan inovatif dan
transformatif di tingkat masyarakat dengan kelembaman dan kejumudan di dunia
politik. Ide-ide konstruktif dalam wacana masyarakat sipil tidak bersambung
dengan kebijakan politik. Diperlukan kekuatan broker kultural yang bisa membuat
ide-ide transformatif di tingkat masyarakat itu diperhitungkan dan
diimplementasikan oleh lembaga-lembaga politik.
Ormas-ormas besar dengan warisan legitimasi kultural yang kuat,
semacam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, mestinya bisa mengemban peran
penghubung ini. Masalahnya, bagaimana ormas-ormas ini bisa terus menjaga
kredibilitas legitimasi budayanya. Penyusupan interes politik kekuasaan serta
kepentingan uang merupakan faktor yang bisa mendeligitimasikan kewibawaan dan
eksistensinya.
Per definisi, masyarakat sipil ialah asosiasi yang muncul dengan
prinsip kesukarelaan (voluntarism). Prinsip kesukarelaan ini akan hancur,
sekiranya uang dan politik kekuasaan mendikte pilihan-pilihan kebijakan dan
kepemimpinannya.
Distorsi-distorsi dalam masyarakat sipil harus diatasi agar
kepeloporan para inovator dalam kehidupan sosial itu mendapatkan artikulatornya
untuk bisa bertautan dengan inovasi dan transformasi di bidang politik. Dengan
begitu, masih ada kabar baik yang bisa membangkitkan harapan dari jagat politik
Indonesia.
teaser :
"Distorsi-distorsi dalam masyarakat sipil harus diatasi agar
kepeloporan para inovator dalam kehidupan sosial itu mendapatkan artikulatornya
untuk bisa bertautan dengan inovasi dan transformasi di bidang politik. Dengan
begitu, masih ada kabar baik yang bisa membangkitkan harapan dari jagat politik
Indonesia." []
MEDIA INDONESIA, 13 Januari 2020
Yudi Latif | Cendekiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar