Rabu, 22 Januari 2020

Yudi Latif: Menjadikan Politik Bermakna


Menjadikan Politik Bermakna
Oleh: Yudi Latif

APALAGI yang pantas dikabarkan dari centang perenang jagat politik, persoalan banjir, hingga skandal korupsi yang tak kenal ujung? Bukankah sekalipun lautan dijadikan tinta niscaya akan habis airnya sebelum tuntas dituliskan berbagai masalah dan sengkarut kenegaraan kita.

Dengan analisis politik yang membatasi perhatian pada perilaku dan kinerja lembaga-lembaga politik formal serta pada katalogisasi peristiwa-peristiwa rutin politik praktis, nyaris tak ada kisah yang bisa membangkitkan harapan.

Rutinitas pemberitaan berbagai kesalahan tata kelola, permusuhan, dan skandal politik membuat istilah 'politik' dalam bayangan banyak orang mulai bergeser konotasinya menjadi sesuatu yang penuh kengerian dan kerisauan, seperti konflik identitas, perpecahan partai, mahar politik, pemborosan dana, perluasan korupsi, mediokritas pemimpin, dan ingkar janji.

Bayangan politik dalam konotasi negatif itu seperti layang-layang putus dari pangkal tali pegangan. Pangkal pengertian politik itu bermula dari istilah 'polis' (kota) dalam tradisi Athena, yakni tempat segala sesuatu diputuskan dengan jalan nalar permusyawaratan (bukan lewat jalan irasionalitas dan kekerasan). Berkat keberadaan dan keterlibatan warga kota yang berbudaya dan rasional, Aristoteles menggambarkan politik sebagai seni mulia mengelola republik demi kebajikan kolektif.

Pengertian politik yang tergelincir ke dalam kata-kata kotor berkembang dalam suasana kehidupan kota yang disesaki artifisialitas tampilan permukaan, tanpa kedalaman substansi. Warga kota (republik) di Indonesia saat ini seakan-akan hidup di zaman buih keterapungan. Ucapan dan janji bergelembung tanpa isi yang bisa ditangkap. Makna menguap dalam keriuhan viral maya. Tindakan tersandera di belantara media sosial; nalar kritis teringkus sebatas caci maki tanpa solusi.

Memulihkan kesejatian politik

Untuk memulihkan kesejatian politik, kita perlu memahami terlebih dahulu bahwa dasar mengada dari politik itu sesungguhnya ialah budaya kewargaan (budaya kota). Warga kota-negara menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota dan republiknya, bukan sekadar penduduk yang menumpang tidur demi mencari makan. Aktif terlibat, bergerak, dan berbaur dengan keragaman di ruang publik--tidak "mager" (malas gerak) dan terisolasi di bungker identitas masing-masing.

Pergerakan dan perjumpaan di ruang publik itulah yang menjadi pengungkit pertukaran gagasan, penyerbukan silang budaya, dan kreativitas warga. Dalam studi terkini, psikolog Marily Oppezzo dan Daniel Schwartz dari Universitas Stanford berusaha menginvestigasi hubungan antara kebiasaan bergerak-berjalan dan kreativitas.

Dari eksperimen terhadap dua kelompok, 'pejalan' (walkers) dan 'penduduk' (sitters), terungkap bahwa perbedaan level kreativitas kelompok pejalan yang secara signifikan dan konsisten jauh di atas kelompok penduduk (malas gerak).

Demi keterlibatan positif dan produktif di ruang publik, warga dituntut memiliki kecerdasan. Bukan sekadar kecerdasan personal, melainkan terutama dalam 'kecerdasan kewargaan' (civic intelligence): kompeten mengemban tugas kewargaan, memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik secara sukacita.

Orang-orang Athena menyebut mereka yang tidak memiliki komitmen dan kecerdasan untuk terlibat dalam urusan publik sebagai idiotes. Dari sanalah asal kata 'idiot' untuk menyebut keterbelakangan mental.

Demi mengembangkan kecerdasan kewargaan, perlu diciptakan iklim kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan diri. Kebebasan juga memberi ruang toleransi yang memungkinkan berkembangnya kesediaan mengapresiasi pendapat dan karya orang lain.

Corak politik sangat menentukan. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual-ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik tidak memiliki signifikansi bagi kecerdasan dan kreativitas kewargaan.

Eric Weiner (2016) menengarai tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan ialah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. Bahkan, Tiongkok yang tidak memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warga untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan.

Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan yang lebih luas dan sehat. Dalam demokrasi sungguhan, kota-kota kreatif tumbuh menjadi magnet berkumpulnya orang-orang kreatif, genius, eksentrik, dan visioner dengan semangat menghormati nalar dan moral publik.

Di kota-kota seperti itu, budaya literasi kuat, semangat mencintai tanah air menjadi kebajikan kewargaan, pemimpin menjadi penuntun, serta warga menjadi garda republik.

Kota-kota menjelma menjadi pusat teladan keadaban, mewarisi tradisi besar umat manusia yang selalu memaknai kota (polis, civic, madina) dalam konotasi positif; keberadaban (civility), kemuliaan (nobility), dan keteraturan (order).

Menjadi warga kota berarti menjadi manusia beradab. "Menjadi manusia beradab," ujar Fernand Braudel, "Berarti memuliakan tingkah laku, menjadi lebih tertib-taat hukum (civil), dan ramah (sociable)." Max Weber mendefinisikan kota sebagai 'suatu tempat yang direncanakan bagi kelompok berbudaya dan rasional'.

Politik sebagai usaha budaya

Dengan demikian, urusan penyehatan politik itu tidak melulu mengandalkan tanggung jawab para politikus di ranah pemerintahan, tetapi juga menuntut kepedulian seluruh warga di berbagai urusan kehidupan publik.

Beruntunglah, ilmu sosiologi politik baru, yang meluaskan cakupan wacana politik dari perhatian tradisionalnya terhadap relasi kuasa antara negara dan masyarakat, menuju relasi sosial dalam medan kebudayaan--dalam kehidupan sehari-hari, dalam media, dan dalam praktik institusional--membantu memahami politik sebagai suatu kemungkinan yang ada dalam setiap aspek kehidupan sosial. Politik dalam artian ini bisa dilihat sebagai sesuatu yang bersifat kultural. Karena kehidupan sosial didasarkan pada pemaknaan (signification), pemanipulasian dan pertarungan makna dalam segala kehidupan sosial dengan sendirinya bersifat politis (Nash, 2000).

Analisis politik yang tidak terbatas pada peristiwa 'murni' politik dan lembaga-lembaga politik formal ini seturut dengan tanggung jawab politik dalam kehidupan republik. Istilah republik, 'res publica' (urusan publik) meliputi seluruh institusi, komunitas, dan wacana yang membentuk tatanan kehidupan publik; berarti jauh lebih luas ketimbang ranah pemerintahan.

David Hollenbach berargumen, jika yang dimaksud dengan ranah politik itu meliputi keseluruhan aktivitas manusia dalam kehidupan publik, hal itu jauh lebih luas ketimbang sebatas institusi legislatif, eksekutif, dan yudikatif.

Dengan demikian, institusi civil society--media, komunitas agama, dan lembaga swadaya masyarakat lainnya--memiliki peran publik yang dapat memengaruhi kebijakan publik dan kehidupan republik melalui pengaruhnya terhadap berbagai komunitas, wacana, serta pada pemahaman budaya warga negara.

Dengan menyodorkan peran politik dari lembaga-lembaga non-politik, usaha pencerahan atas kegelapan jagat politik itu tidak bisa didelegasikan kepada masyarakat politik sendirian, yang sejauh ini terbukti kurang bisa diandalkan. Peran politik masyarakat sipil diharapkan bisa mengembangkan reservoir nilai-nilai budaya politik yang positif seraya melancarkan kontrol vertikal atas kebijakan dan perilaku masyarakat politik.

Bagaimanapun juga, watak dan perilaku masyarakat politik merupakan pantulan dari nilai-nilai budaya dan perangai masyarakat sipil. Dengan kata lain, sejauh masih ada nilai-nilai dan ide-ide positif dalam lingkungan masyarakat sipil, sejauh itu pula masih ada harapan bagi perbaikan masyarakat politik.

Oleh karena itu, tatkala publik mulai jenuh dengan cerita-cerita negatif dari dunia politik, perhatian media dan opini publik sebaiknya mulai diarahkan pada ide-ide segar serta perjuangan dan keberhasilan orang-orang dalam kehidupan sosial yang meniti perubahan secara positif.

Hal ini rasio antara informasi permasalahan dan informasi penyelesaian masalah perlu lebih diseimbangkan agar sisi-sisi gelap dalam kehidupan publik mendapatkan kemungkinan pencerahannya.

Dengan realitas pemberitaan yang tidak terlampau terdistorsikan, ternyata banyak tersembunyi kisah kepahlawanan yang membangkitkan harapan, yakni meluasnya lanskap inovator yang mengandung potensi transformasi masyarakat Indonesia ke arah yang lebih baik. "Dua puluh tahun yang lalu, hanya ada satu organisasi lingkungan yang independen di Indonesia. Hari ini, setidaknya ada lebih dari 2000 organisasi sejenis itu," tulis David Bornstein dalam How to Change the World.

Apa yang diungkapkan oleh Bornstein itu merupakan pertanda dari kebangkitan social entrepreneur di negeri ini. Orang-orang dengan ide-ide transformatif untuk mengatasi masalah-masalah besar yang tidak kenal lelah berjuang merealisasikan visinya. Program talk show Kick Andy secara regular mengungkap kisah kepahlawanan para inovator ini.

Masalahnya, ada kesenjangan antara gagasan inovatif dan transformatif di tingkat masyarakat dengan kelembaman dan kejumudan di dunia politik. Ide-ide konstruktif dalam wacana masyarakat sipil tidak bersambung dengan kebijakan politik. Diperlukan kekuatan broker kultural yang bisa membuat ide-ide transformatif di tingkat masyarakat itu diperhitungkan dan diimplementasikan oleh lembaga-lembaga politik.

Ormas-ormas besar dengan warisan legitimasi kultural yang kuat, semacam Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, mestinya bisa mengemban peran penghubung ini. Masalahnya, bagaimana ormas-ormas ini bisa terus menjaga kredibilitas legitimasi budayanya. Penyusupan interes politik kekuasaan serta kepentingan uang merupakan faktor yang bisa mendeligitimasikan kewibawaan dan eksistensinya.

Per definisi, masyarakat sipil ialah asosiasi yang muncul dengan prinsip kesukarelaan (voluntarism). Prinsip kesukarelaan ini akan hancur, sekiranya uang dan politik kekuasaan mendikte pilihan-pilihan kebijakan dan kepemimpinannya.

Distorsi-distorsi dalam masyarakat sipil harus diatasi agar kepeloporan para inovator dalam kehidupan sosial itu mendapatkan artikulatornya untuk bisa bertautan dengan inovasi dan transformasi di bidang politik. Dengan begitu, masih ada kabar baik yang bisa membangkitkan harapan dari jagat politik Indonesia.

teaser :
"Distorsi-distorsi dalam masyarakat sipil harus diatasi agar kepeloporan para inovator dalam kehidupan sosial itu mendapatkan artikulatornya untuk bisa bertautan dengan inovasi dan transformasi di bidang politik. Dengan begitu, masih ada kabar baik yang bisa membangkitkan harapan dari jagat politik Indonesia." []

MEDIA INDONESIA, 13 Januari 2020
Yudi Latif | Cendekiawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar