Kalimat Tauhid Saja Tak
Cukup, Lima Aspek Ini Wajib Dipenuhi
Secara umum, bertauhid dipahami dengan
berikrar bahwa tiada Tuhan selain Allah atau mengucap kalimat Lâ ilâha illallâh
dengan penuh keyakinan akan maknanya. Namun dalam perspektif Ahlussunnah wal
Jama’ah (Asy’ariyah-Maturidiyah), mengucap kalimat tauhid saja tak cukup
membuat seseorang bertauhid kecuali jika ia memenuhi lima aspek teologis.
Kelimanya diterangkan oleh Imam al-Halimy (338-403 H), seorang pakar hadits
terkemuka dan sekaligus teolog besar dalam Islam, sebagaimana dinukil oleh Imam
al-Baihaqi (384-458 H) dalam karyanya yang berjudul Syu’ab al-Imân berikut:
وَالْعَمَلُ
الصَّالِحُ بِالِاعْتِقَادِ، وَالْإِقْرَارِ مَجْمُوعُ عِدَّةِ أَشْيَاءَ
أَحَدُهَا إِثْبَاتُ الْبَارِئِ جَلَّ جَلَالُهُ لِيَقَعَ بِهِ مُفَارَقَةُ
التَّعْطِيلِ، وَالثَّانِي: إِثْبَاتُ وَحْدَانِيَّتِهِ لِتَقَعَ بِهِ
الْبَرَاءَةُ مِنَ الشِّرْكِ، وَالثَّالِثُ: إِثْبَاتُ أَنَّهُ لَيْسَ بِجَوْهَرٍ
وَلَا عَرَضٍ لِيَقَعَ بِهِ الْبَرَاءَةُ مِنَ التَّشْبِيهِ، وَالرَّابِعُ:
إِثْبَاتُ أَنَّ وُجُودَ كُلِّ مَا سِوَاهُ كَانَ مَعْدُومًا مِنْ قَبْلِ
إِبْدَاعِهِ لَهُ وَاخْتِرَاعِهِ إِيَّاهُ لِيَقَعَ بِهِ الْبَرَاءَةُ مِنْ قَوْلِ
مَنْ يَقُولُ بِالْعِلَّةِ وَالْمَعْلُولِ وَالْخَامِسُ: إِثْبَاتُ أَنَّهُ
مُدَبِّرٌ مَا أَبْدَعَ، وَمُصَرِّفُهُ عَلَى مَا يَشَاءُ لِيَقَعَ بِهِ
الْبَرَاءَةُ مِنْ قَوْلِ الْقَائِلِينَ بِالطَّبَائِعِ، أَوْ تَدْبِيرِ
الْكَوَاكِبِ أَوْ تَدْبِيرِ الْمَلَائِكَةِ،
“Amal shalih dengan beraqidah dan memberikan
pengakuan [terhadap Allah] adalah kumpulan dari beberapa hal berikut;
• Pertama, menetapkan adanya Sang
Maha-Pencipta, supaya bebas terlepas dari peniadaan Tuhan (ateisme).
• Kedua, menetapkan keesaan-Nya, supaya bebas
terlepas dari syirik.
• Ketiga, menetapkan bahwa Allah bukanlah
jauhar (substansi; materi) atau ‘aradh (aksiden; atribut materi), supaya bebas
terlepas dari penyerupaan Allah dengan makhluk (tasybîh)
• Keempat, menetapkan bahwa apa pun selain
Allah asalnya adalah tidak ada sebelum Allah mencipta dan membuatnya ada,
supaya bebas terlepas dari pendapat yang menyatakan adanya ‘illah (sebab) dan
ma’lûl (akibat).
• Kelima, menetapkan bahwa Allah
Maha-Mengatur apa Ia ciptakan dan mengontrolnya sesuai kehendak Allah, supaya
bebas terlepas dari pendapat yang menyatakan adanya thabâ’i (hukum alam yang
berlaku dengan sendirinya)” (al-Baihaqi, Syu’ab al-Imân, I, 190-191)
Penetapan kelima aspek tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:
Aspek pertama, seseorang harus meyakini bahwa
alam semesta ini mempunyai Tuhan sebagai penciptanya. Tuhan ini benar-benar
ada, bukan sekedar konsep atau imaginasi belaka. Keberadaannya dapat diketahui
dengan keberadaan seluruh alam ini yang mustahil ada dengan sendirinya dari
ketiadaan tanpa ada sosok yang merancangnya. Dengan ini, orang tersebut sudah
berbeda dengan sebagian pemikir yang mengatakan bahwa alam semesta ini tak
punya Tuhan melainkan sudah ada dengan sendirinya dari unsur-unsur pembentuk,
seperti tanah, air, udara dan api, atau yang mengatakan bahwa yang ada di dunia
hanyalah materi yang kasat mata saja dan tak ada apa pun di balik itu.
Aspek kedua, seseorang harus meyakini bahwa
Allah itu Esa atau tunggal. Esa di sini berarti meyakini kesendirian Allah
sebagai Tuhan sejak masa yang tak punya awal mula. Dengan demikian, ia berlepas
diri dari pihak-pihak yang meyakini bahwa dalam semesta ini ada dua kekuatan
yang bertentangan dan saling menyeimbangkan di mana kekuatan pertama
menciptakan kebaikan dan kekuatan kedua menciptakan keburukan. Ia juga berlepas
dari keyakinan sebagian orang yang meyakini ada materi kekal yang ada bersama
Tuhan di mana Tuhan menciptakan alam semesta dari bahan baku materi tersebut.
Dengan demikian secara pasti ia juga berlepas diri dari keyakinan yang
menyatakan bahwa Allah punya saingan-saingan sebagai sesembahan.
Aspek ketiga adalah meyakini bahwa Dzat Allah
pasti bukanlah materi tunggal (jauhar) atau susunan materi sedemikian rupa
hingga membentuk rangkaian dan volume (jism) dan bukan pula berupa
atribut-atribut temporer yang menyatu pada Dzat (‘aradl) seperti: ukuran,
jumlah, warna, batasan tempat, batasan waktu, mekanisme, perbuatan fisik, efek
perbuatan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, ia sudah berbeda dengan
kalangan Mujassimah yang mengatakan bahwa Allah adalah jisim/sosok tiga dimensi
(mempunyai panjang, lebar dan tinggi) yang menempati ruang tertentu. Ia juga
berlepas diri dari pihak yang berkata bahwa Allah bergerak dengan mekanisme
(kaifiyah) tertentu atau duduk di atas Arasy dengan cara tertentu sebagaimana
Raja duduk di atas singgasana. Jauhar dan ‘aradl adalah sifat khas makhluk yang
berkonsekuensi pada adanya awal mula dan ketidakkekalan. Sebelumnya, penulis
telah menguraikan pendapat para ulama tentang batasan seseorang dianggap
menyerupakan Tuhan dengan makhluk pada artikel yang lain.
Aspek keempat adalah seorang mukmin harus
meyakini bahwa segala sesuatu selain Allah tidaklah ada dengan sendirinya
tetapi dibuat oleh Allah sesuai kehendak-Nya. Bila Allah berkehendak
menciptakannya, maka ia ada. Dan sebaliknya, bila Allah tak berkehendak
menciptakannya, maka ia takkan pernah ada. Dengan demikian, maka orang tersebut
sudah berbeda dari sebagian filsuf yang mengatakan bahwa keberadaan Allah
menjadi sebab utama (‘illah) bagi keberadaan makhluk, dalam arti bila Allah ada,
maka seketika itu juga makhluk juga akan ada sebagai akibatnya (ma’lûl) secara
berurutan dan terus menerus seperti sebuah mekanisme berantai. Keyakinan
semacam ini meniscayakan adanya materi kekal yang menjadi bahan baku bagi
terciptanya makhluk pertama supaya mekanisme berantai tersebut bisa
terjadi.
Aspek kelima adalah seorang mukmin wajib
meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya yang mengatur dan mengontrol alam semesta
ini. Dengan demikian, ia sudah berbeda dengan keyakinan sebagian orang yang
berkata bahwa Malaikatlah yang mengatur dunia ini hingga mereka menyebutnya
sebagai Dewa-dewa. Juga berbeda dengan keyakinan beberapa astrolog yang
meyakini bahwa kejadian di dunia diatur oleh pergerakan bintang dan planet
tertentu, atau dengan para agnostik yang mengatakan bahwa semua kejadian di
dunia diatur oleh hukum alam yang memang sudah ada dengan sendirinya di
alam.
Imam al-Halimy kemudian menjelaskan bahwa
kesemua aspek ini ada dalam satu pernyataan sederhana:
إِنَّ
اللهَ عَزَّ وَجَلَّ ثَنَاؤُهُ ضَمَّنَ هَذِهِ الْمَعَانِيَ كُلَّهَا كَلِمَةً
وَاحِدَةً، وَهِيَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ، وَأَمَرَ الْمَأْمُورِينَ
بِالْإِيمَانِ أَنْ يَعْتَقِدُوهَا وَيَقُولُوهَا
“Sesungguhnya Allah Yang Maha-Terpuji
mengumpulkan seluruh aspek makna ini dalam satu kalimat, yakni “Tiada Tuhan
selain Allah” dan memerintahkan manusia untuk meyakininya dan mengatakannya”.
(al-Baihaqi, Syu’ab al-Imân, I, 193)
Wallahu a'lam. []
Ustadz Abdul Wahab Ahmad, Wakil Katib PCNU
Jember dan Peneliti Bidang Aqidah di Aswaja NU Center Jawa Timur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar