Tidak Ada Islamofobia di Indonesia
Oleh: Moh Mahfud MD
Jika islamofobia diartikan sebagai rasa benci atau takut terhadap
Islam yang menimbulkan sikap diskriminasi dan represi terhadap umat Islam oleh
pemerintah, dapat dipastikan saat ini tak ada islamofobia di Indonesia.
Begitu juga jika di sisi lain dipandang bahwa sebagai akibat
dibenci dan ditakutinya Islam kemudian menyebabkan orang Islam malu atau takut
mengaku sebagai Islam, di Indonesia tak ada juga Islamofobia.
Sebagaimana didefinisikan oleh Runnymede Trust (1997), islamofobia
adalah rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga kepada
semua orang Islam. Perasaan itu kemudian menimbulkan praktik diskriminasi
terhadap orang-orang Islam dengan cara memisahkan kehidupan mereka dari
kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.
Di dalam islamofobia dikembangkan opini bahwa budaya Islam adalah
rendah dan tak mampu beradaptasi dengan kehidupan modern sehingga banyak orang
Islam merasa malu jika mengaku Islam. Nah, jika islamofobia diasosiasikan
dengan pengertaian trust,
sekarang ini tak ada islamofobia di Indonesia.
Pada saat ini tidak ada diskriminasi terhadap umat Islam untuk
ikut mengurus negara melalui kompetisi yang fair
dengan mekanisme demokrasi. Kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya
sekarang ini sudah digeluti dan dinikmati oleh umat Islam di Indonesia tanpa
fobia sedikit pun. Ideologi Pancasila dan konstitusi kita memberi lahan yang
subur untuk tidak adanya fobia itu.
Di Indonesia sekarang ini, dari pusat sampai ke
daerah-daerah, banyak sekali orang Islam yang tampil sebagai pejabat atau
pegawai, negeri atau swasta, tanpa minder atau malu dengan keislamannya dan
mereka bekerja dengan tetap bisa beribadah sebagai Muslim (Muslimah) dengan
wajar, tanpa takut atau malu.
Di institusi Polri, misalnya, mulai dari Kapolri sampai
prajurit-prajuritnya sekarang ini yang Muslim pada umumnya rajin shalat, bahkan
jika ada demo, ikut shalat berjamaah dengan para pendemo yang dijaganya.
Di Polri juga ada seragam khusus untuk polisi wanita (polwan) yang
Muslimah. Ketika Tito Karnavian menjadi kapolri, saya pernah melihat sendiri
ada pengajian ibu-ibu yang sekaligus mengumpulkan santunan untuk anak yatim di
rumah dinas kapolri.
Kepala BIN Budi Gunawan yang jenderal polisi itu juga mendirikan
dan memakmurkan sebuah masjid di Salatiga, Masjid Baitus Syakur. Mereka
melakukan itu tanpa fobia sedikit pun.
Di kalangan TNI pun begitu. Saya sering memergoki Moeldoko
melaksanakan shalat di kompleks Istana. Panglima TNI Hadi Tjahjanto selalu
mencari tempat shalat di bandara jika tiba waktunya shalat.
Jika ada sidang kabinet Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati
juga selalu shalat di mushala Istana, bahkan rajin berpuasa Senin dan Kamis,
mengikuti sunah Nabi. Pejabat-pejabat yang lain pun melakukan hal sama.
Selain sering mendengar, misalnya dari Jusuf Kalla, Alwi Shihab,
dan lain-lain bahwa Presiden Jokowi rajin menjaga shalat dengan puasa wajib dan
sunah, saya sering menyaksikannya sendiri. Pak Jokowi sering shalat dengan
menskors rapat kabinet lebih dulu jika masuk waktu shalat.
Bahkan saya mempunyai pengalaman pribadi ketika saya harus
menggantikan duduk di kursi Presiden Jokowi di forum internasional karena kursi
itu ditinggalkan oleh Pak Jokowi untuk salat dzuhur.
Pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN Plus, 4 November 2019 di
Thailand yang dihadiri 18 kepala negara dan pemerintahan, ketika forum sedang
berjalan resmi tiba-tiba Jokowi minta izin keluar dari ruang sidang yang dijaga
ketat itu untuk shalat. Menlu Retno Marsudi berbisik kepada saya agar saya
menempati kursi Presiden karena secara protokoler jika kursi Presiden kosong
harus ditempati dulu oleh anggota delegasi yang senior.
Setelah shalat, sekitar 10 menit, Pak Jokowi kembali ke forum itu.
Para pejabat dan pegawai di lembaga-lembaga negara dan pemerintahan di
Indonesia juga hampir semua melakukan hal yang sama.
Pada bulan Ramadhan di kalangan pejabat tinggi bahkan ada tradisi
“berbuka bersama” di rumah secara bergantian. Di mana islamofobianya? Tidak
ada, kan?
Warisan kolonial
Pada zaman penjajahan, dulu, memang ada praktik diskriminasi
terhadap umat Islam karena Islamofobia. Pada saat itu umat Islam diisolasi
sedemikian rupa dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sehingga menjadi
sangat terbelakang.
Orang Islam tidak bisa memperoleh pendidikan yang layak, ditindas,
dan dipecah-belah sehingga menjadi lemah dan tak berdaya. Di bidang hukum,
misalnya, pernah ada teori yang bagus mengenai hukum islam dan hukum adat,
yakni teori receptio in
complexu dari Van den Berg.
Dengan teorinya tersebut Van den Berg mengatakan bahwa hukum-hukum
Islam telah diterima dan bersenyawa dengan hukum adat di Indonesia. Tetapi
teori itu dilawan oleh Snouck Hurgronje yang didukung Van Vollenhoven dengan
teori receptio yang
mengatakan hukum Islam hanya bisa menjadi hukum adat sepanjang diterima oleh
masyarakat adatnya.
Snouck Hurgronje mencoba mempertentangkan antara hukum adat dan
hukum Islam atau antara masyarakat Islam dan masyarakat adat. Politik kolonial
Belanda memang didasarkan pada islamofobia dan devide et impera sehingga umat Islam
benar-benar terbelakang dan terisolasi dari kehidupan modern.
Lulusan sekolah-sekolah agama (madrasah dan pesantren) tak
dihargai sama sekali. Pengaruh keadaan itu berlangsung sampai beberapa tahun
setelah Indonesia merdeka: umat Islam sulit menduduki jabatan-jabatan atau
menjadi pegawai di institusi-institusi pemerintahan.
Adalah Menteri Agama KH Wachid Hasyim dan Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan yang pada awal 1950-an melahirkan
politik inklusi dengan membuat kebijakan bersama bahwa lulusan sekolah agama
dan sekolah umum disetarakan dalam administrasi pemerintahan.
Kebijakan itu kemudian menjadikan alur pilihan pendidikan menjadi
terbuka dan inklusif, banyak kaum santri yang masuk ke sekolah dan universitas
umum dengan ijazah sekolah agama, banyak juga orang-orang non santri yang masuk
ke sekolah agama dengan ijazah sekolah umum. Politik Inklusi itu membuka
ruang luas bagi umat Islam untuk dapat pendidikan secara baik.
“Wasathiyyah” Islam
Hasil politik inklusi bisa dilihat sekarang ini. Umat Islam bisa
bergandengan dengan umat-umat lain untuk ikut menyelenggarakan pemerintahan dan
berbagai sektor kehidupan lain secara kosmopolit dan tanpa ada Islamofobia.
Tak ada rasa takut atau benci terhadap Islam, tak ada rasa takut
atau malu disebut Islam, bahkan Islam jadi gaya hidup di kalangan
milenial. Umat Islam bisa tampil percaya diri lewat wawasan Moderasi
Islam (Wasathiyyah Islam, Islam Wasathiyyah).
Moderasi Islam mengharuskan umat Islam yakin akan kebenaran
agamanya dan melaksanakan ajaran-ajarannya tanpa harus menyalahkan atau
memusuhi umat-umat lain yang meyakini kebenarannya sendiri-sendiri. Salah satu
kata kuncinya toleransi, menerima perbedaan antarmanusia sebagai fitrah dari
Allah dan karenanya siap bersatu dan berkerja sama dengan penuh persaudaraan.
[]
KOMPAS, 10 Januari 2020
Moh Mahfud MD | Menteri Kordinator Polhukam; Ketua MK periode
2008-2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar