Jumat, 17 Januari 2020

Mahfud MD: Tidak Ada Islamofobia di Indonesia


Tidak Ada Islamofobia di Indonesia
Oleh: Moh Mahfud MD

Jika islamofobia diartikan sebagai rasa benci atau takut terhadap Islam yang menimbulkan sikap diskriminasi dan represi terhadap umat Islam oleh pemerintah, dapat dipastikan saat ini tak ada islamofobia di Indonesia.

Begitu juga jika di sisi lain dipandang bahwa sebagai akibat dibenci dan ditakutinya Islam kemudian menyebabkan orang Islam malu atau takut mengaku sebagai Islam, di Indonesia tak ada juga Islamofobia.

Sebagaimana didefinisikan oleh Runnymede Trust (1997), islamofobia adalah rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan oleh karena itu juga kepada semua orang Islam. Perasaan itu kemudian menimbulkan praktik diskriminasi terhadap orang-orang Islam dengan cara memisahkan kehidupan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan politik.

Di dalam islamofobia dikembangkan opini bahwa budaya Islam adalah rendah dan tak mampu beradaptasi dengan kehidupan modern sehingga banyak orang Islam merasa malu jika mengaku Islam. Nah, jika islamofobia diasosiasikan dengan pengertaian trust, sekarang ini tak ada islamofobia di Indonesia.

Pada saat ini tidak ada diskriminasi terhadap umat Islam untuk ikut mengurus negara melalui kompetisi yang fair dengan mekanisme demokrasi. Kehidupan politik, sosial, ekonomi, dan budaya sekarang ini sudah digeluti dan dinikmati oleh umat Islam di Indonesia tanpa fobia sedikit pun. Ideologi Pancasila dan konstitusi kita memberi lahan yang subur untuk tidak adanya fobia  itu.

Di Indonesia  sekarang ini, dari pusat sampai ke daerah-daerah, banyak sekali orang Islam yang tampil sebagai pejabat atau pegawai, negeri atau swasta, tanpa minder atau malu dengan keislamannya dan mereka bekerja dengan tetap bisa beribadah sebagai Muslim (Muslimah) dengan wajar, tanpa takut atau malu.

Di institusi Polri, misalnya, mulai dari Kapolri sampai prajurit-prajuritnya sekarang ini yang Muslim pada umumnya rajin shalat, bahkan jika ada demo, ikut shalat berjamaah dengan para pendemo yang dijaganya.

Di Polri juga ada seragam khusus untuk polisi wanita (polwan) yang Muslimah. Ketika Tito Karnavian menjadi kapolri, saya pernah melihat sendiri ada pengajian ibu-ibu yang sekaligus mengumpulkan santunan untuk anak yatim di rumah dinas kapolri.

Kepala BIN Budi Gunawan yang jenderal polisi itu juga mendirikan dan memakmurkan sebuah masjid di Salatiga, Masjid Baitus Syakur. Mereka melakukan itu tanpa fobia sedikit pun.

Di kalangan TNI pun begitu. Saya sering memergoki Moeldoko melaksanakan shalat di kompleks Istana. Panglima TNI Hadi Tjahjanto selalu mencari tempat shalat di bandara jika tiba waktunya shalat.

Jika ada sidang kabinet Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga selalu shalat di mushala Istana, bahkan rajin berpuasa Senin dan Kamis, mengikuti sunah Nabi. Pejabat-pejabat yang lain pun melakukan hal sama.

Selain sering mendengar, misalnya dari Jusuf Kalla, Alwi Shihab, dan lain-lain bahwa Presiden Jokowi rajin menjaga shalat dengan puasa wajib dan sunah, saya sering menyaksikannya sendiri. Pak Jokowi sering shalat dengan menskors rapat kabinet lebih dulu jika masuk waktu shalat.

Bahkan saya mempunyai pengalaman pribadi ketika saya harus menggantikan duduk di kursi Presiden Jokowi di forum internasional karena kursi itu ditinggalkan oleh Pak Jokowi untuk salat dzuhur.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN Plus, 4 November 2019 di Thailand yang dihadiri 18 kepala negara dan pemerintahan, ketika forum sedang berjalan resmi tiba-tiba Jokowi minta izin keluar dari ruang sidang yang dijaga ketat itu untuk shalat. Menlu Retno Marsudi berbisik kepada saya agar saya menempati kursi Presiden karena secara protokoler jika kursi Presiden kosong harus ditempati dulu oleh anggota delegasi yang senior.

Setelah shalat, sekitar 10 menit, Pak Jokowi kembali ke forum itu. Para pejabat dan pegawai di lembaga-lembaga negara dan pemerintahan di Indonesia juga hampir semua melakukan  hal yang sama.

Pada bulan Ramadhan di kalangan pejabat tinggi bahkan ada tradisi “berbuka bersama” di rumah secara bergantian. Di mana islamofobianya? Tidak ada, kan?

Warisan kolonial

Pada zaman penjajahan, dulu, memang ada praktik diskriminasi terhadap umat Islam karena Islamofobia. Pada saat itu umat Islam diisolasi sedemikian rupa dari kehidupan sosial, ekonomi, dan politik sehingga menjadi sangat terbelakang.

Orang Islam tidak bisa memperoleh pendidikan yang layak, ditindas, dan dipecah-belah sehingga menjadi lemah dan tak berdaya. Di bidang hukum, misalnya, pernah ada teori yang bagus mengenai hukum islam dan hukum adat, yakni teori receptio in complexu dari Van den Berg.

Dengan teorinya tersebut Van den Berg mengatakan bahwa hukum-hukum Islam telah diterima dan bersenyawa dengan hukum adat di Indonesia. Tetapi teori itu dilawan oleh Snouck Hurgronje yang didukung Van Vollenhoven dengan teori receptio yang mengatakan hukum Islam hanya bisa menjadi hukum adat sepanjang diterima oleh masyarakat adatnya.

Snouck Hurgronje mencoba mempertentangkan antara hukum adat dan hukum Islam atau antara masyarakat Islam dan masyarakat adat. Politik kolonial Belanda memang didasarkan pada islamofobia dan devide et impera sehingga umat Islam benar-benar terbelakang dan terisolasi dari kehidupan modern.

Lulusan sekolah-sekolah agama (madrasah dan pesantren) tak dihargai sama sekali. Pengaruh keadaan itu berlangsung sampai beberapa tahun setelah Indonesia merdeka: umat Islam sulit menduduki jabatan-jabatan atau menjadi pegawai di institusi-institusi pemerintahan.

Adalah Menteri Agama KH Wachid Hasyim dan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Bahder Johan yang pada awal 1950-an melahirkan politik inklusi dengan membuat kebijakan bersama bahwa lulusan sekolah agama dan sekolah umum disetarakan dalam administrasi pemerintahan.

Kebijakan itu kemudian menjadikan alur pilihan pendidikan menjadi terbuka dan inklusif, banyak kaum santri yang masuk ke sekolah dan universitas umum dengan ijazah sekolah agama, banyak juga orang-orang non santri yang masuk ke sekolah agama dengan ijazah sekolah umum.  Politik Inklusi itu membuka ruang luas bagi umat Islam untuk dapat pendidikan secara baik.

“Wasathiyyah” Islam

Hasil politik inklusi bisa dilihat sekarang ini. Umat Islam bisa bergandengan dengan umat-umat lain untuk ikut menyelenggarakan pemerintahan dan berbagai sektor kehidupan lain secara kosmopolit dan tanpa ada Islamofobia.

Tak ada rasa takut atau benci terhadap Islam, tak ada rasa takut atau malu disebut Islam, bahkan Islam jadi gaya hidup di kalangan milenial.  Umat Islam bisa tampil percaya diri lewat wawasan Moderasi Islam (Wasathiyyah Islam, Islam Wasathiyyah).

Moderasi Islam mengharuskan umat Islam  yakin akan kebenaran agamanya dan melaksanakan ajaran-ajarannya tanpa harus menyalahkan atau memusuhi umat-umat lain yang meyakini kebenarannya sendiri-sendiri. Salah satu kata kuncinya toleransi, menerima perbedaan antarmanusia sebagai fitrah dari Allah dan karenanya siap bersatu dan berkerja sama dengan penuh persaudaraan. []

KOMPAS, 10 Januari 2020
Moh Mahfud MD | Menteri Kordinator Polhukam; Ketua MK periode 2008-2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar