Islam dan Penguatan Hak Penyandang Disabilitas
Oleh: KH Said Aqil Siroj
Telah
dimaklumi, Islam diturunkan untuk menciptakan tata kehidupan dunia yang damai
dan penuh kasih sayang (rahmatan
lil alamin). Visi ini terefleksi keseluruhan teks-teks ilahiyah,
baik yang berkenaan dengan masalah aqidah, syariah, maupun tasawuf atau etika. Konsep rahmatan lil alamin ini secara tidak langsung
menekakan peran Islam dalam memenuhi hak-hak dasar manusia (huququl insan).
Islam sebagai agama samawi tidak terlepas dari empat
tujuan berikut: pertama,
untuk mengenal Allah subhanahu
wata’ala (ma’rifatullah)
dan mengesakan-Nya (tauhid); kedua,
menjalankan segenap ritual dan ibadah kepada Allah subhanahu wata’ala sebagai manisfestasi rasa
syukur kepada-Nya; ketiga,
untuk mendorong amar ma’ruf nahi munkar (menganjurkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran), serta menghasilkan hidup manusia dengan etika dan akhlak mulia
(tasawuf); dan, keempat,
untuk menetapkan peraturan-peraturan yang berkaitan dengan hubungan sosial (mu’amalah) di antara
sesama manusia. Keempat poin inilah yang disebut oleh Syekh Ali AhmadAl-Jurjawi
sebagai maksud dan hikmah diturunkannya hukum Islam (hikmatut tasyri’). Dan
salah satu aspek kehidupan manusia yang sangat diperhatikan oleh Islam sejak
diturunkannya adalah masalah pemenuhan hak-hak dasar manusia, terutama bagi
penyandang disabilitas.
Misi Islam dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas,
dimulai dari contoh teladan umat Islam, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terdapat riwayat, ketika sahabat Abdullah Ibnu Umi Maktum mendatangi Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam untuk memohon bimbingan Islam, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
mengabaikannya, karena Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam sedang sibuk mengadakan rapat bersama petinggi
kaum Quraisy tentang hal yang sebenarnya merupakan prioritas, karena terkait nasib
kaum muslimin secara umum. Kemudian, turun Surat ‘Abasa sebagai peringatan agar
Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam lebih memperhatikan Abdullah Ibnu Umi Maktum yang
diasbilitas netra, daripada para pemuka Quraisy itu. Sejak saat itu, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam sangat memuliakan Ibnu Ummi Maktum dan bila menjumpainya
langsung menyapa dengan kalimat:
مَرْحَبًا بِمَنْ عَاتَبَنِي
فِيْهِ رَبِّي
Artinya : “Selamat berjumpa wahai orang yang karenanya
aku telah diberi peringatan oleh Tuhanku.”
Melihat asbābun
nuzūl (sebab turun) Surat ‘Abasa, Islam sangat memperhatikan
penyandang disabilitas, menerimnya setara sebagaimana manusia lainnya dan
bahkan memprioitaskannya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam sendiri terhadap penyandang disabilitas melakukan
pemberdayaan dan pengembangan potensinya. Hal ini setidaknya terjadi terhadap
sahabat Ibnu Ummi Maktum, yang dapat berkembang sebagai individu penyandang
tunanetra yang tangguh dan mandiri serta mempunyai skill kepemimpinan yang kuat. Terbukti,
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam pernah mengangkat sahabat Ibnu Ummi Maktum untuk
mewakilinya menjadi imam di Madinah ketika Nabi Muhammad sedang bepergian ke
luar Madinah.
Demikian ajaran Islam dalam pemenuhan hak dan
pemberdayaan penyandang disabilitas. Namun, ajaran seperti ini belum digunakan
secara maksimal sebagai spirit untuk melakukan upaya-upaya pemenuhan hak
penyandang disabilitas oleh umat Islam, termasuk umat Islam di Indonesia. Hal
ini dapat dibuktikan, sekalipun jumlah penyandang disabilitas di Indonesia
cukup besar, yakni lebih dari 6 (enam) juta jiwa, namun perhatian masyarakat
Indonesia yang mayoritas muslim, terhadap penyandang disabilitas masih
tergolong rendah. Tak sedikit para penyandang disabilitas yang mengalami
perlakuan dikriminatif, mulai dari lingkungan keluarga hingga masyarakat.
Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi sosial keagamaan
(jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah) telah merespon masalah disabilitas ini dengan
sejumlah aksi dan tindakan, termasuk membahas permasalahan disabilitas dengan
melibatkan para kiai. Nahdlatul Ulama memandang penyandang disabilitas bukan
sebagai persoalan medis, melainkan merupakan persoalan sosial. Oleh karena itu
Nahdlatul Ulama merasa perlu terlibat dalam penguatan hak dan pemberdayaan
penyandang disabilitas secara serius dan berkeadilan. Nahdlatul Ulama harus
selalu hadir dalam upaya menyelesaikan masalah tersebut guna menciptakan
kemaslahatan. Responss Nahdlatul Ulama yang demikian itu merupakan salah satu
bentuk kepeduliannya terhadap masalah-masalah sosial yang tidak hanya sebagai
mandat jam’iyah tetapi juga perintah agama. Allah berfirman dalam Al-Qur’an
Surat Al-Baqarah ayat 143:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ
شَهِيدًا
Artinya :“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu
(umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas
(perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu”.
Untuk menjadi saksi disyaratkan adanya kehadiran (hudlur). Artinya, harus
ada keterlibatan secara aktif dalam kehidupan sehingga spiritualitas Islam
sebagai agama yang rahmatan
lil ‘alamin bisa mewujud dan mengada dalam bentuk kepedulian
terhadap persoalan yang menyelimuti masyarakat. Seorang saksi tidak bisa hanya
bertindak sebagai penonton. Ia punya hak untuk mengawal, mengarahkan dan
mengoreksi segala apa yang disaksikan demi kemaslahatan yang bertumpu pada perlindungan
agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.
Selain itu, Islam sangat menganjurkan umatnya untuk
solidaritas terhadap sesama Muslim, dan bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memberikan peringatan keras; bukan muslim jika tidak peduli terhadap persoalan
muslim lainnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
من لم يهتم بأمر المسلمين فليس
منهم
Artinya : “Barangsiapa yang tidak peduli dengan urusan
kaum Muslimin, maka dia tidak termasuk dalam golongan mereka.”
Melalui Lembaga Bahtsul Masail PBNU, responس NU terhadap masalah disabilitas dilakukan. Pembahasan
penting mengenai penyandang disabilitas mendapat perhatian serius kalangan
jamiyyah dan jamaah NU di sejumlah daerah. Rabitah Ma’ahid Islamiyah (RMI)
turut menaruh perhatian pada persoalan tersebut dengan menyelenggarakan
peluncuran paradigma pesantren inklusif di Pondok Pesantren Luhur Tsaqafah,
Jagakarsa. Dalam forum peluncuran paradigma pesantren inklusif tersebut, saya
sampaikan bahwa komitmen NU dalam memperkuat kapasitas, mendorong penerimaan
(rekognisi), dan mengupayakan sejumlah kebijakan inklusif yang dirumuskan pada
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama (Munas NU) pada 23-25 November
2017 di Lombok, NTB telah kami lakukan. Pembahasan atas pertanyaan yang
berkembang di masyarakat kami jawab dalam sidang bahtsul masail, jawaban atas
pertanyaan tersebut sudah terumuskan dengan amat sangat baik dan mendudukkan
penyandang disabilitas setara. Saya percaya, saudara- saudara kita penyandang
disabilitas mampu bahkan bisa jauh lebih baik dari saya dan lainnya.
Sebagai contoh, banyak sekali orang hebat yang menoreh
sejarah dalam Islam, padahal tunanetra atau tidak bisa melihat. Sejarah
kontemporer mencatat, Prof Dr Thoha Husain dari Mesir. Beliau sejak kecil
tunanetra, kemudian menempuh studi ke al Azhar Kairo untuk studi kesastraan
Arab. Melanjutkan pendidikan doktoralnya di Sorbonne Paris dan menikah dengan
warga negara Perancis. Ketika menulis disertasi, dia sudah punya satu anak.
Dalam proses penulisan itu, Thaha Husain berbagi tugas: ia menggendong anaknya
dan istrinya membacakan literatur. Beliau menyimpulkan, dan istri yang
menuliskannya. Pulang dari sana, nama beliau mulai populer dan diberi gelar sebagai
amidul adabi arabi
sebagai pelopor sastra Arab yang melakukan perombakan dalam gaya sastra Arab.
Mulanya sastra Arab berakhir pada sajak-sajak, namun beliau melakukan
transformasi dalam tradisi literatur sastra Arab dengan tidak melupakan aspek
estetikanya. Thaha Husein tidak hanya dikagumi tapi juga dikenang sebagai amidul adabi arabi yang
berkontribusi bagi kesusastraan Arab.
Kemudian presiden kita KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Beliau punya keterbatasan dalam penglihatan, namun beliau berjasa sangat besar
bagi bangsa dan negara. Salah satunya, dalam politik internasional beliau
menyampaikan kepada sejumlah negara di Eropa agar Papua tidak lepas dari NKRI
yang berniat membuat referendum kemerdekaan. Gus Dur membuat
kesepakatan-kesepakatan yang meyakinkan agar Papua tetap menjadi bagian dari
NKRI. Apabila Gus Dur ke sejumlah negara di Timur Tengah, beliau meyakinkan
para kepala negara tersebut untuk tetap mendukung kemajuan masyarakat Aceh
namun tetap dalam satu bagian dari NKRI. Begitu juga sejumlah provinsi lainnya
yang berupaya memisahkan diri dari Indonesia, tidak henti-hentinya Gus Dur
membagun keyakinan internasional bahwa Indonesia tetap negara kesatuan. Gus Dur
dengan keahlian dan upayanya mampu menjaga dan tetap mempersatukan Indonesia.
Gus Dur yang tunanetra mampu menyelamatkan Indonesia dari disintegrasi, serta
memastikan keselamatan bangsa dan negara dari bahaya perang saudara.
Gus Dur presiden pertama yang membentuk kementerian
bidang perikanan dan kelautan. Dengan Indonesia yang luas wilayahnya terbesar
adalah lautan. Gus Dur sangat sadar bahwa kekayaan bangsa yang bersumber dari
lautan sangat luar biasa. Jutaan ton ikan tuna yang dihasilkan bisa menjadi
amat bernilai ekonomi untuk kebutuhan dalam negeri dan pasar internasional.
Dengan lautan yang sangat luas, butuh kemampuan sehingga masyarakat mendapat
manfaat. Begitu juga kebijakan lainnya, Gus Dur membentuk Direktorat Pesantren
yang sebelumnya di bawah Direktorat Bimas Islam. Gus Dur berkuasa hanya 23
bulan namun prestasinya sangat luar biasa. Hingga saat ini, para pemimpin di
dunia internasional mengakui kehebatan Gus Dur. Rakyat Indonesia pun menjadi
bangga sebagai bangsa yang bermartabat meskipun tengah menghadapi cobaan
gelombang krisis ekonomi dan politik.
NU berkomitmen dan mendorong penerimaan (rekognisi)
terhadap saudara-saudara kita penyandang disabilitas, menggerakkan masyarakat
agar lebih peka dengan persoalan yang dialami penyandang disabilitas. Terutama
yang tidak kalah penting, upaya pemerintah mengambil peran sentral melalui
kebijakan dalam rangka pemenuhan hak seluruh warga negara. []
NU
ONLINE, 3 Desember 2019
KH Said Aqil Siroj | Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama tahun 2010-sekarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar