Dualisme Kepemimpinan dalam
Fiqih Politik
Presiden, gubernur, bupati, walikota, dan
pemimpin lain ke bawah hanya boleh ada satu dalam sebuah periode kepemimpinan
dan dalam sebuah teritorial. Tidak boleh ada matahari kembar atau bahkan lebih
dari dua matahari secara syariat sebagaimana keterangan Imam Al-Mawardi berikut
ini:
فأما
إقامة إمامين أو ثلاثة في عصر واحد ، وبلد واحد فلا يجوز إجماعا
Artinya, “Adapun pengangkatan dua atau tiga
pemimpin pada periode pemerintahan yang sama dan untuk wilayah tertorial yang
sama tidak boleh menurut ijmak ulama,” (Lihat Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad
Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman 97).
Imam Al-Mawardi mengutip pandangan mayoritas
ulama bahwa pengangkatan dua pemimpin atau lebih di satu periode kepemimpinan
dilarang dalam agama. Mereka mendasarkan pandangannya pada hadits Rasulullah
SAW berikut ini:
وذهب
الجمهور إلى أن إقامة إمامين في عصر واحد لا يجوز شرعا لما روي عن النبي صلى الله
عليه وسلم أنه قال: إذا بويع أميران فاقتلوا أحدهما.
Artinya, “Mayoritas ulama mengatakan bahwa
pengangkatan dua pemimpin pada periode pemerintahan yang sama tidak boleh
menurut syariat Islam karena ada riwayat hadits dari Nabi Muhammad SAW bahwa ia
bersabda, ‘Jika dua pemimpin dibaiat, maka bunuhlah salah satunya,’” (Lihat
Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H],
halaman 97).
Larangan Islam atas keberadaan matahari
kembar jelas menyebabkan kaos karena adanya dualisme kepemimpinan. Dualisme
kepemimpinan jelas menyebabkan kaos karena adanya dua orang pemimpin yang
memiliki kewenangan dan otoritas yang sama.
Kita sulit membayangkan bagaimana jika
terdapat lebih dari dua pemimpin yang memiliki otoritas yang sama dalam periode
kepemimpinan yang sama.
Sejarah juga membuktikan bahwa dualisme
kepemimpinan berujung pada perebutan pengaruh dengan segala cara, kaos atau
kacau-balau. Pasalnya, dalam dualisme kepemimpin tentu terdapat konflik
kepentingan yang hampir tidak mungkin didamaikan.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW
mengisyaratkan bahaya dualisme kepemimpinan dengan mengingatkan agar
menciptakan kondisi kepemimpinan tunggal dengan cara mematuhi seorang pemimpin
yang sah di zamannya.
وروي
عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: إذا وليتم أبا بكر تجدوه قويا في دين الله
عز وجل ضعيفا في بدنه. وإذا وليتم عمر تجدوه قويا في دين الله عز وجل قويا في
بدنه، وإن وليتم عليا تجدوه هاديا مهديا.
Artinya, “Diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW
bahwa ia bersabda, ‘Jika kalian mengangkat Abu Bakar RA, niscaya kalian akan
menemukan pemimpin yang kuat dalam agama Allah SWT dan lemah fisiknya. Tetapi
jika kalian mengangkat Umar RA, niscaya kalian mendapati orang yang kuat
agamanya dan kuat fisiknya. Sedangkan jika kalian mengangkat Ali RA, niscaya
kalian menemukan pemimpin yang dapat memberi petunjuk dan pemimpin yang
mendapat petunjuk (dari Allah),’” (Lihat Imam Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din,
[Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman 97).
Menurut Al-Mawardi, hadits ini memberikan
amanat secara tersurat bahwa pengangkatan dua atau bahkan lebih pemimpin
dilarang dalam agama karena mudharatnya akan berpulang kepada semua pihak,
termasuk masyarakat umum.
فبين
بظاهر هذا الكلام أن إقامة جميعهم في عصر واحد لا يصح، ولو صح لأشار إليه، ولنبه
عليه
Artinya, “Dengan hadits tersebut, Rasulullah
SAW menjelaskan bahwa pengangkatan mereka sekaligus sebagai pemimpin dalam satu
periode kepemimpinan tidak sah. Andaikata pengangkatan mereka sekaligus itu
sah, niscaya Rasulullah SAW memberi isyarat dan mengingatkan,” (Lihat Imam
Al-Mawardi, Adabud Dunia wad Din, [Beirut, Darul Fikr: 1992 M/1412 H], halaman
97).
Dari sini kemudian, ulama Ahlussunnah wal
Jamaah hanya mengakui satu kepemimpinan yang sah dan legal menurut mekanisme
demokrasi dan peraturan suksesi yang berlaku. Para ulama mendukung upaya
pemerintah dalam menguatkan lembaga pemilu yang netral.
Ulama Ahlussunnah wal Jamaah mendorong
terciptanya kepemimpinan tunggal yang terlegitimasi karena ongkos kaos yang
dialami masyarakat terlampau mahal untuk dipertaruhkan.
Padahal kaos karena kekosongan pemimpin atau
dualisme kepemimpinan biasanya memakan korban jiwa dan menciptakan situasi
sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang tidak menentu sebagaimana konflik
berkepanjangan yang terjadi di berbagai negara di Timur Tengah.
Konflik-konflik tersebut melumpuhkan
aktivitas yang menjadi kebutuhan masyarakat seperti kegiatan pendidikan,
pertanian, kesehatan, olahraga, pasar, dan pelbagai aktivitas penting
masyarakat lainnya. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar