Kapan Jamaah Shalat
Dipersilakan Membuat Shaf Baru?
Pertanyaan:
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Kami ingin menanyakan tentang dua hal yang berkaitan dengan barisan shaf pada
shalat jamaah. Pertama, sebatas mana suatu barisan dianggap sempurna sehingga
diperbolehkan membuat barisan baru? Kedua, mana yang lebih
diprioritaskan, antara memenuhi masjid atau menempati shaf awal yang menyamping
ke kanan dan ke kiri masjid (serambi masjid)?
lyntssholihah**** at gmail.com
Jawaban:
Wa'alaikumussalam warahmatullahi
wabarakatuh. Terima kasih atas pertanyaan yang diajukan, semoga Anda selalu
dalam lindungan Allah subhanahu wa ta’ala.
Tidak diragukan lagi bahwa menyempurnakan
shaf merupakan salah satu anjuran dalam
melaksanakan shalat berjamaah. Rasulullah dalam salah satu haditsnya
pernah bersabda:
أَتِمُّوْا
الصُّفُوْفَ فَإِنِّيْ أَرَاكُمْ خَلْفَ ظَهْرِيْ
“Sempurnakanlah barisan (shalat jamaah),
sesungguhnya aku dapat melihat kalian di belakang punggungku” (HR Muslim).
Terkait hadits di atas, Al-Munawi menjelaskan
dalam kitabnya, Faid al-Qadir:
(أتموا)
أيها المصلون ندبا مؤكدا (الصفوف) – أكملوها الأول بالأول فلا يشرع في الصف الثاني
حتى يتم الأول ولا يقف في صف حتى يتم ما قبله فإن وجد في صف أمامه فرجة اخترق الصف
الذي يليه فما فوقه إليها لتقصيرهم بتركها
“Sempurnakanlah shaf-shaf kalian wahai orang-orang
yang shalat. Sempurnakanlah shaf pertama dengan shaf yang mendekatinya. Maka
tidak diperbolehkan melaksanakan (shalat) di shaf kedua sampai sempurna shaf
yang pertama. Dan tidak diperkenankan berdiri pada suatu barisan sampai ia
menyempurnakan shaf sebelumnya. Jika masih menemukan tempat yang renggang pada
shaf di depannya, maka orang yang menempati shaf di dekatnya harus menempati
tempat yang renggang tersebut, sebab ia dianggap ceroboh karena tidak menempati
shaf di depannya” (Al-Munawi, Faid al-Qadir, juz 1, hal. 189)
Berdasarkan penjelasan tersebut, dapat
dipahami bahwa shaf dianggap sempurna ketika dalam barisan shaf sudah tidak
ditemukan lagi celah yang dapat ditempati untuk shalat, sebab jika masih
ditemukan celah dan seseorang terburu-buru membuat barisan baru, maka ia
dianggap ceroboh karena tidak menyempurnakan terlebih dahulu shaf yang ada di
depannya.
Namun, ketentuan ini rupanya dibatasi selama
seseorang menempati barisan di belakang shaf yang masih kosong bukan karena
faktor uzur. Jika terdapat kendala yang menuntut seseorang tidak menempati shaf
kosong di depannya, maka ia tidak termasuk menyalahi kesunnahan menyempurnakan
shaf. Misalnya shaf di depan terkena panas matahari atau terdapat tetesan air
hujan, maka dalam keadaan demikian tidak makruh baginya menempati shaf yang ada
di belakang. Hal ini seperti yang dijelaskan dalam kitab Tuhfah al-Muhtaj:
إنْ
كَانَ تَأَخُّرُهُمْ لِعُذْرٍ كَوَقْتِ الْحَرِّ بِالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ فَلَا
كَرَاهَةَ وَلَا تَقْصِيرَ –
(الحر) أي ونحو
المطر قوله: (فلا كراهة إلخ) أي فلا تفوتهم الفضيلة
“Jika para jamaah mengakhirkan shaf shalatnya
karena uzur, seperti melaksanakan shalat pada musim panas di Masjidil Haram,
maka hal demikian tidak dihukumi makruh dan tidak dianggap ceroboh. Sama halnya
dengan alasan terkena air hujan atau hal-hal semacamnya. Ketidakmakruhan ini
memastikan tidak hilangnya keutamaan shalat jamaah,” (Syekh Ibnu Hajar
al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz 8, hal. 157)
Dalam himpunan fatwanya, Imam Ibnu Hajar juga
menjelaskan bahwa hal-hal lain yang memperbolehkan seseorang untuk tidak
menempati shaf yang ada di depannya adalah ketika terdapat hal-hal yang
menyebabkan hilangnya khusyu’ atau berkurangnya kehusyu’an shalat manakala
menempati shaf tersebut. Jika demikian, justru lebih baik ia pilih adalah
menempati shaf di belakangnya, sehingga tidak ada gangguan yang dapat
mengurangi kekhusyu’an shalatnya di shaf tersebut. Berikut penjelasannya:
وَسُئِلَ
رضي اللَّهُ عنه عَمَّنْ صلى في الصَّفِّ الْأَوَّلِ ولم يُمْكِنْهُ التَّجَافِي
في الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ أو حَصَلَ رِيحٌ كَرِيهٌ أو رُؤْيَةُ من يَكْرَهُهُ أو
نَظَرُ ما يُلْهِيه فَهَلْ يَكُونُ الصَّفُّ الثَّانِي أو غَيْرُهُ إذَا خَلَا عن
ذلك أَفْضَلُ أو لَا فَأَجَابَ بِقَوْلِهِ مُقْتَضَى قَوْلِهِمْ الْمُحَافَظَةُ
على الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِذَاتِ الْعِبَادَةِ أَوْلَى من
الْمُحَافَظَةِ على الْفَضِيلَةِ الْمُتَعَلِّقَةِ بِمَكَانِهَا أَنَّ الصَّفَّ
الثَّانِيَ أو غَيْرَهُ إذَا خَلَا عَمَّا ذُكِرَ في السُّؤَالِ أو نَحْوِهِ
يَكُونُ أَفْضَلَ من الصَّفِّ الْأَوَّلِ وهو ظَاهِرٌ حَيْثُ حَصَلَ له من نَحْوِ
الزَّحْمَةِ وَرُؤْيَةِ ما ذَكَرَ ما يَسْلُبُ خُشُوعَهُ أو يُنْقِصُهُ
“Ibnu Hajar ditanya tentang seseorang yang
melaksanakan shalat di shaf awal, tidak dapat melipat tubuhnya pada saat ruku’
dan sujud, atau ia akan mencium bau yang tidak sedap, atau ia akan melihat
orang yang ia benci, atau ia akan melihat benda yang dapat mengganggu
(pikirannya). Apakah dalam keadaan demikian menempati shaf kedua atau shaf yang
lain ketika sepi dari hal-hal di atas dianggap lebih baik atau tidak? Ibnu
Hajar menjawab, ‘Berdasarkan tuntutan redaksi para ulama yang menjelaskan bahwa
‘menjaga keutamaan (fadhilah) yang berhubungan dengan pelaksanaan ibadah lebih
utama daripada menjaga keutamaan yang berhubungan dengan tempat ibadah’.
Redaksi tersebut memastikan bahwa shaf kedua atau shaf yang lain, ketika tidak
terdapat hal-hal yang disebutkan dalam soal, maka dinilai lebih utama daripada
menempati shaf awal. Hal ini sangatlah jelas selama hal-hal di atas akan
menyebabkan hilangnya khusyu’ atau mengurangi kekhusyu’an dalam shalat” (Syekh
Ibnu Hajar al-Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra, juz 1, hal. 181)
Dengan demikian, pertanyaan pertama dapat
dijawab bahwa suatu shaf dianggap sempurna ketika sudah tidak ada celah dalam
shaf tersebut yang dapat ditempati oleh seseorang untuk melaksanakan shalat.
Maka seseorang boleh membuat shaf tersendiri ketika shaf di depannya sudah
tidak mungkin lagi ia tempati atau ketika shaf di depannya masih dapat ditempati
tapi terdapat uzur atau hal-hal yang mengurangi kekhusyuan ibadahnya. Jika
kendala-kendala itu ada, baru ia dipersilakan membuat barisan tersendiri.
Sedangkan jawaban dari pertanyaan kedua,
secara tegas dijelaskan dalam kitab ‘Umdah al-Mufti wa
al-Mustafti berikut ini:
وصرح
اصحابنا بان الصف الاول هو الذي يلي الامام وان طال وخرج عن المسجد فهو افضل من
الصف الثاني وان قرب من الامام.
“Para ashab kami (murid Imam
As-Syafi’i) menegaskan bahwa shaf awal adalah barisan yang mengiringi imam,
meskipun panjang dan sampai keluar masjid. Shaf awal ini lebih utama
dibandingkan menempati shaf kedua, meskipun dekat dengan imam” (Jamaluddin
Muhammad bin ‘Abdurrahman al-Ahdal,‘Umdah al-Mufti wa al-Mustafti, juz 1, hal.
132)
Sehingga hal yang lebih diprioritaskan bagi
para jamaah adalah menempati shaf awal meskipun berada di serambi masjid atau
bahkan keluar dari bangunan masjid daripada menempati bagian dalam masjid
meskipun lebih dekat dengan jarak imam shalat. Wallahu a’lam. []
Ustadz M. Ali Zainal Abidin, Pengajar di
Pondok Pesantren Annuriyah, Kaliwining, Rambipuji, Jember
Tidak ada komentar:
Posting Komentar