Kado Tahun Baru
Oleh: Komaruddin Hidayat
MAAF, saya ingin menafsirkan banjir Rabu, 1 Januari 2020, kemarin sebagai kado awal tahun bagi warga DKI Jakarta dan bangsa Indonesia tanpa menganggap ringan derita warga akibat banjir. Ini sebuah kado pahit peringatan dari alam yang teraniaya atau dizalimi manusia yang tinggal di planet bumi tanpa cinta kasih dan hormat kepada ibu pertiwinya.
Banyaknya pantai dan curah hujan itu anugerah Tuhan yang disalurkan lewat alam. Namun kita tidak pandai bersyukur dengan cara menjaga dan menata lingkungan yang sehat serta bersahabat, maka alam murka dan pasti posisi manusia yang kalah.
Saya jadi teringat celotehan orang Belanda. Katanya, Tuhan telah menyiapkan daratan bumi untuk semua bangsa dan negara di muka bumi ini, kecuali Belanda. Kami orang Belanda mesti lebih dahulu melakukan reklamasi, menguruk pantai, dan menjinakkan lautan agar kami punya daratan dan negara kami tidak diterjang banjir.
Jadi, belajar dari masyarakat Belanda, mestinya pemerintah bisa
menjinakkan banjir yang masuk Jakarta yang tahun ini muncul dalam volume besar
dan menelan banyak kerugian. Atau belajar dari Jepang yang menjadi langganan
gempa bumi, lalu mereka canggih menciptakan teknologi manajemen gempa.Hari ini
media sosial (medsos) pun masih ramai dengan komentar dan foto-foto dari yang
mengundang iba sampai yang jenaka. Keluwesan dan keluasan hati warga Jakarta
dalam menghadapi musibah sudah cukup terlatih.Kondisi derita bisa dimanipulasi
sebagai bahan tertawaan meskipun mungkin sekali hatinya kecut dan mengumpat.
Kita bisa melihat beredarnya foto-foto jenaka ketika Jakarta dilanda banjir.
Misalnya, kalimat Welcome to Waterpark City yang menyertai foto wilayah Jakarta
terendam air.
Ada lagi video ibu rumah tangga sedang tiduran di atas kasur yang mengapung di dalam rumah yang kebanjiran sambil berucap, “Sekarang kami punya kolam renang di dalam rumah,” dan masih banyak lagi foto-foto serta kalimat satire yang pastinya membuat pemerintah malu ketika melihatnya. Saya kira hati mereka menangis karena mereka dipilih oleh rakyat dengan ongkos sosial-material yang amat mahal dan mereka pun bekerja didukung oleh gaji dan fasilitas cukup.Mengingat Pilkada Jakarta 2017 sangat heboh dan mengoyak emosi masyarakat, wajar-wajar saja jika netizen baik yang pro maupun yang kontra terlibat perdebatan sengit. Warga yang merasa jadi korban banjir lalu menagih janji gubernur untuk mengatasi banjir serta kemacetan Jakarta.
Tidak hanya menagih, ada pula yang bernada mengumpat. Lalu muncul pembelaan dari pihak pendukung bahwa ini bukan hanya musibah warga Jakarta, tetapi banjir terjadi dan menimpa berbagai warga di provinsi lain. Jadi jangan hanya Gubernur DKI yang disalahkan.
Namun ada juga postingan bernada bangga dan gembira dari warga Surabaya bahwa wali kotanya sangat gesit dan antisipatif menghadapi banjir sehingga Kota Surabaya tenang-tenang saja. Bahkan mereka kasihan campur heran, mengapa Jakarta selalu heboh soal banjir. Mengapa tidak mau belajar dari Pemerintah Kota Surabaya?
Demikianlah, di luar isu besar lain, siapa pun yang jadi gubernur Jakarta, warganya mengamanatkan dua tugas utama: mengatasi banjir dan menghalau kemacetan lalu lintas. Kalau soal pembinaan moral keagamaan, justru peran masyarakat semakin aktif tanpa bantuan negara.
Kita hargai kesabaran dan partisipasi warga dalam mengatasi musibah banjir dan kita perlu juga pahami serta dengarkan berbagai kritik dan kemarahan warga yang menderita akibat banjir. Yang kita juga heran, waktu pilkada dulu warga memilih pasangan cagub dan cawagub. Lalu mengapa kok kursi wagub masih kosong? Ada apa dan mengapa? []
KORAN SINDO, 3 Januari 2020
Komaruddin Hidayat | Rektor Universitas Islam Internasional
Indonesia (UIII)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar