Senin, 20 Januari 2020

Pesantren Citangkolo dan Jejaring Pangeran Diponegoro


Pesantren Citangkolo dan Jejaring Pangeran Diponegoro

Dua buah pohon sawo di depan masjid pesantren Citangkolo, menjadi penanda jejaring Diponegoro. Pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) berpencar ke seluruh Jawa, mendirikan pesantren. Kode di antara para mantan prajurit itu adalah dua pohon sawo di depan pesantren.

Pesantren Citangkolo dirintis oleh Kiai Marzuki (1875-1968) yang hijrah dari Kebumen pada 1911. Ia putra dari Kiai Mad Salam, prajurit Diponegoro yang tinggal di Bulus Pesantren, Kebumen. Kiai Mad Salam adalah putra Mbah Karyajaya, pengawal Syaikh Marwan Ali Menawi, ulama Kebumen yang merupakan keturunan dari Syaikh Abdul Kahfi Awal, ulama yang mengislamkan Kerajaan Panjer (Kebumen), yang semasa dengan Sunan Ampel.

Citangkolo merupakan daerah rawa yang lokasinya masih bersambung dengan Rawa Lakbok yang terkenal angker, banyak binatang buas dan siluman. Wilayah inilah yang oleh Bupati Tasikmalaya R. Wiratanuningrat, dibuka untuk memperluas persawahan. Dibantu oleh Abah Sepuh (KH Abdullah Mubarok) dari Suryalaya, Rawa Lakbok kemudian menjadi lumbung padi. Kehadiran Marzuki muda yang membuka pengajian di Citangkolo, direstui dan didukung oleh Bupati Tasikmalaya. Pada masa itu, wilayah Banjar dan sekitarnya berada dalam wilayah kabupaten Tasikmalaya. Mushola kecil yang didirikan oleh Kiai Marzuki kemudian dikembangkan menjadi masjid jamik pada 1926.

Sebelum Marzuki hijrah ke Citangkolo, terlebih dahulu datang Kiai Utsman (1800 – 1962), prajurit Diponegoro yang berjuang bersama Kiai Mad Salam.

“Masyarakat di sini ini memang turunan pelarian Pasukan Diponegoro,” ujar KH Muharrir Abdurrohim, salah seorang pengasuh Pesantren Citangkolo.

“Hampir semuanya bersambung silsilah kepada Mbah Utsman,” sambungnya.

Tak lama setelah tiba di Citangkolo, Kiai Marzuki menikah dengan Nyai Aisyah binti Utsman. Dari pasangan inilah lahir Badrun, lalu berganti nama Abdurrohim (1911-1997) yang berhasil mengembangkan pesantren Citangkolo. Melihat kemajuan pesantren menantunya, Kiai Utsman yang sebelumnya tinggal di Langkap Lancar kemudian pindah ke Citangkolo hingga wafatnya.

Pada masa perjuangan, Pesantren Citangkolo menjadi basis pasukan Hizbullah dalam perjuangan melawan Belanda. Dari pasukan Hizbullah inilah asal mula tentara Siliwangi untuk wilayah Banjar dan sekitarnya. Namun, akibat dibombardir pasukan Belanda, pesantren terpaksa ditutup. Selain bangunan rusak juga para santri harus dipulangkan dengan alasan keamanan. Badrun mengungsi sambil mengaji kembali di Pesantren Kesugihan Cilacap. Ia mengaji kepada Kiai Badawi Hanafi sampai akhirnya diambil menantu dengan menikahi Nyai Ma’unah. Ketika istri pertama ini wafat, ia lalu menikahi adiknya, Nyai Munbasitoh binti Kiai Badawi.

Pada 1960, Kiai Badrun kembali ke Citangkolo untuk menghidupkan kembali pengajian yang sudah dirintis oleh ayahnya. Namanya lalu berganti menjadi Kiai Abdurrohim. Nama pesantren pun berubah menjadi Miftahul Huda. Dari pernikahannya dengan Nyai Munbasitoh, lahir 13 putra dan puteri yang ikut mengembangkan dan membesarkan pesantren Miftahul Huda.

Setelah putra sulungnya yang bernama Munawwir kembali dari kuliah di Al-Azhar Mesir pada 1987, nama pesantren menjadi Miftahul Huda Al-Azhar. Pesantren terus berkembang. Pada 1996, Kiai Muharrir mendirikan Sekolah Tinggi Islam Miftahul Huda Al-Azhar (STAIMA) dengan dukungan KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PBNU) dan KH. Said Aqil Siraj (Katib Syuriyah PBNU).

Kini pesantren terbesar di Kota Banjar ini melayani pendidikan dari tingkat PAUD hingga Perguruan Tinggi dengan jumlah siswa dan santri tak kurang dari 9.000 orang. 2.000 di antaranya tinggal di pesantren. Nama pesantren ini semakin dikenal publik karena menjadi tuan rumah Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar PBNU 2019, dari 27 Februari hingga 1 Maret 2019. []

(Iip Yahya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar