Pesantren Citangkolo
dan Jejaring Pangeran Diponegoro
Dua buah pohon sawo di depan masjid pesantren Citangkolo, menjadi penanda jejaring Diponegoro. Pasukan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825-1830) berpencar ke seluruh Jawa, mendirikan pesantren. Kode di antara para mantan prajurit itu adalah dua pohon sawo di depan pesantren.
Pesantren Citangkolo
dirintis oleh Kiai Marzuki (1875-1968) yang hijrah dari Kebumen pada 1911. Ia
putra dari Kiai Mad Salam, prajurit Diponegoro yang tinggal di Bulus Pesantren,
Kebumen. Kiai Mad Salam adalah putra Mbah Karyajaya, pengawal Syaikh Marwan Ali
Menawi, ulama Kebumen yang merupakan keturunan dari Syaikh Abdul Kahfi Awal,
ulama yang mengislamkan Kerajaan Panjer (Kebumen), yang semasa dengan Sunan
Ampel.
Citangkolo merupakan
daerah rawa yang lokasinya masih bersambung dengan Rawa Lakbok yang terkenal
angker, banyak binatang buas dan siluman. Wilayah inilah yang oleh Bupati
Tasikmalaya R. Wiratanuningrat, dibuka untuk memperluas persawahan. Dibantu
oleh Abah Sepuh (KH Abdullah Mubarok) dari Suryalaya, Rawa Lakbok kemudian
menjadi lumbung padi. Kehadiran Marzuki muda yang membuka pengajian di
Citangkolo, direstui dan didukung oleh Bupati Tasikmalaya. Pada masa itu,
wilayah Banjar dan sekitarnya berada dalam wilayah kabupaten Tasikmalaya.
Mushola kecil yang didirikan oleh Kiai Marzuki kemudian dikembangkan menjadi
masjid jamik pada 1926.
Sebelum Marzuki
hijrah ke Citangkolo, terlebih dahulu datang Kiai Utsman (1800 – 1962),
prajurit Diponegoro yang berjuang bersama Kiai Mad Salam.
“Masyarakat di sini
ini memang turunan pelarian Pasukan Diponegoro,” ujar KH Muharrir Abdurrohim,
salah seorang pengasuh Pesantren Citangkolo.
“Hampir semuanya
bersambung silsilah kepada Mbah Utsman,” sambungnya.
Tak lama setelah tiba
di Citangkolo, Kiai Marzuki menikah dengan Nyai Aisyah binti Utsman. Dari
pasangan inilah lahir Badrun, lalu berganti nama Abdurrohim (1911-1997) yang
berhasil mengembangkan pesantren Citangkolo. Melihat kemajuan pesantren
menantunya, Kiai Utsman yang sebelumnya tinggal di Langkap Lancar kemudian
pindah ke Citangkolo hingga wafatnya.
Pada masa perjuangan,
Pesantren Citangkolo menjadi basis pasukan Hizbullah dalam perjuangan melawan
Belanda. Dari pasukan Hizbullah inilah asal mula tentara Siliwangi untuk
wilayah Banjar dan sekitarnya. Namun, akibat dibombardir pasukan Belanda,
pesantren terpaksa ditutup. Selain bangunan rusak juga para santri harus
dipulangkan dengan alasan keamanan. Badrun mengungsi sambil mengaji kembali di
Pesantren Kesugihan Cilacap. Ia mengaji kepada Kiai Badawi Hanafi sampai
akhirnya diambil menantu dengan menikahi Nyai Ma’unah. Ketika istri pertama ini
wafat, ia lalu menikahi adiknya, Nyai Munbasitoh binti Kiai Badawi.
Pada 1960, Kiai
Badrun kembali ke Citangkolo untuk menghidupkan kembali pengajian yang sudah
dirintis oleh ayahnya. Namanya lalu berganti menjadi Kiai Abdurrohim. Nama
pesantren pun berubah menjadi Miftahul Huda. Dari pernikahannya dengan Nyai
Munbasitoh, lahir 13 putra dan puteri yang ikut mengembangkan dan membesarkan
pesantren Miftahul Huda.
Setelah putra
sulungnya yang bernama Munawwir kembali dari kuliah di Al-Azhar Mesir pada
1987, nama pesantren menjadi Miftahul Huda Al-Azhar. Pesantren terus
berkembang. Pada 1996, Kiai Muharrir mendirikan Sekolah Tinggi Islam Miftahul
Huda Al-Azhar (STAIMA) dengan dukungan KH. Abdurrahman Wahid (Ketua Umum PBNU)
dan KH. Said Aqil Siraj (Katib Syuriyah PBNU).
Kini pesantren
terbesar di Kota Banjar ini melayani pendidikan dari tingkat PAUD hingga
Perguruan Tinggi dengan jumlah siswa dan santri tak kurang dari 9.000 orang.
2.000 di antaranya tinggal di pesantren. Nama pesantren ini semakin dikenal
publik karena menjadi tuan rumah Munas Alim Ulama dan Konferensi Besar PBNU
2019, dari 27 Februari hingga 1 Maret 2019. []
(Iip Yahya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar