Nafi’
al-Madani, Imam Qira'at yang Berguru pada 70 Tabi'in
Pada masa Nabi,
Madinah merupakan pusat peradaban dan ilmu pengetahuan. Karena ia merupakan
madrasah pertama tentang pengajaran Al-Qur’an juga qira’atnya kepada para
sahabat. Dari sanalah muncul para sahabat ahli Al-Qur’an dan qira’at semisal
Utsman bin Affan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit.
Setelah Nabi wafat,
pengajaran Al-Qur’an dan qira’atnya tetap berlangsung dan eksis dilaksanakan
oleh para sahabat kepada para tabi’in. Dari para sahabat itulah para tabi’in
memperoleh ilmu dan bacaan Al-Qur’an secara mutawatir dari Nabi. Sebagian dari
tabi’in inilah ada yang memiliki perhatian yang sangat besar terhadap Al-Qur’an
dan qira’atnya, hingga kemudian dikenal sebagai ahli qira’at, salah satunya
adalah Imam Nafi’. Nama lengkapnya Nafi’ bin Abdurrahman bin Abu Nu‘aim
al-Madani atau biasa dikenal dengan julukan Abu Ruwaim.
Pada masa
pemerintahan Abdul Malik bin Marwan (salah satu khalifah dari Bani Umayyah),
Imam Nafi’ yang dilahirkan sekitar tahun tujuh puluh hijriah adalah salah satu
ahli qira’at dari tujuh imam qira’at mutawatirah dan termasuk ulama yang
berjuluk Al-Allamah, saleh serta memiliki kredibilitas dan kapabelitas
yang sangat tinggi.
Imam Nafi’ ini
sebenarnya berasal dari Negara Asbahan, namun beliau tumbuh besar dan menetap
di Madinah hingga ajal menjemputnya.
Dari segi fisik,
beliau memiliki tipikal kulit hitam legam, namun memancarkan aura wajah yang
menawan serta budi pekerti yang luhur penuh wibawa.
Perjalanan
Intelektual
Imam Nafi’ dalam
pengakuannya—sebagaimana diceritakan oleh Abu Qurrat Musa bin Thariq—dikatakan
bahwa beliau berguru kepada tujuh puluh tabi’in, di antaranya adalah Imam Abu
Ja’far (imam qira’at kedelapan), Syaibah bin Nashah, Muslim bin Jundub, Yazid
bin Ruman, Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri, Abdurrahman bin Hurmuz
al-A’raj.
Dari sekian banyak
gurunya inilah, Imam Nafi’ melakukan seleksi bacaan, yaitu mengambil bacaan
yang sama di antara guru-gurunya, dan meninggalkan bacaan yang berbeda. Hasil
dari penyeleksian inilah kemudian dijadikan kaidah tersendiri oleh Imam Nafi’,
yang kemudian dikenal luas oleh para generasi berikutnya sebagai qira’at Imam
Nafi’.
Dalam perjalanan
hidupnya, Imam Nafi’ merupakan salah satu dari sekian banyak ulama yang
mencurahkan waktunya untuk berkhidmah kepada Al-Qur’an dan qira’atnya. Sebagai
buktinya, beliau telah mengajarkan Al-Qur’an beserta qira’atnya dalam kurun
waktu lebih dari tujuh puluh tahun dan menjadi rujukan utama dalam bidang
qira’at di Madinah setelah kepulangan salah satu gurunya, Imam Ja’far bin
al-Qa’qa’.
Dalam bidang hadits,
beliau sangat sedikit sekali meriwayatkan hadits Nabi. Namun hal tersebut tidak
mengurangi kredibilitas dan kapabilitas beliau sebagai ahli qira’at. Karena hal
ini justru menunjukkan konsistensi beliau dalam mengabdikan hidup untuk
menyelami lautan ilmu qira’at.
Karamah Imam Nafi’
Imam Nafi’ adalah
seorang ahli Al-Qur’an yang dianugerahi Allah beberapa karamah. Di antaranya,
beliau memiliki bau harum yang keluar dari lisannya.
Diceritakan bahwa
jika beliau berbicara, maka terciumlah aroma harum minyak misk yang keluar dari
lisannya. Ketika ditanya oleh salah seorang muridnya, “Apakah Guru memakai
minyak wangi jika hendak mengajar?” Beliau menjawab, “Aku tidak pernah
mendekati minyak wangi apalagi menyentuhnya. Suatu saat aku bermimpi bertemu
dengan Rasulullah dan beliau membaca Al-Qur’an persis di depan lisanku. Sejak
saat itulah keluar bau harum dari lisanku.”
Selain kelebihan
tersebut, Imam Nafi’ juga memiliki kelebihan yang lain, yaitu wajah yang selalu
berseri-seri dan budi pekerti yang luhur. Imam al-Musayyibi berkata, ketika
ditanyakan kepada Imam Nafi’ tentang hal tersebut (wajahnya yang selalu
berseri-seri), beliau menajawab: “Bagaimana aku tidak berseri-seri, sementara
Rasul menyalamiku dalam mimpi dan kepada Beliau aku membaca Al-Qur’an.”
Komentar Ulama
Terdapat banyak komentar
dari para ulama, baik yang semasa maupun yang hidup setelahnya, perihal pribadi
dan bacaan Imam Nafi’. Namun, komentar-komentar yang ditujukan kepada beliau
mengarah pada satu kesimpulan, yaitu pujian. Dalam istilah ilmu hadits disebut
dengan ta’dil. Di antara komentar-komentar tersebut ialah:
Imam Ibnu Mujahid
berkata: “Imam Nafi’ adalah orang yang eksis dalam bidang qira’at setelah
periode tabi’in di Madinah. Ia sangat mahir dan teliti dalam bidang wajah-wajah
qira’at dengan mengikuti jejak imam-imam terdahulu di Negaranya”.
Imam Sa’id bin Mansur
berkata: Saya mendengar Malik bin Anas berkata: “Bacaan ahli Madinah adalah
sunnah (yang dipilih). Kemudian ditanyakan kepada beliau: “Apakah yang dimaksud
(bacaan ahli Madinah) adalah bacaan imam Nafi’? Beliaupun menjawab: ya.
Imam ‘Abdullah bin
Ahmad bin Hanbal berkata: saya bertanya kepada bapakku (Imam Ahmad) “bacaan
siapakah yang bapak sukai? Beliau menjawab: “Bacaan ahli Madinah (Imam Nafi’).
Selain itu, bacaan siapa yang bapak sukai? Beliau menjawab: Qira’at Imam ‘Asim.
Komentar tentang
beliau tidak hanya datang dari orang lain, namun juga datang dari anak tiri
beliau yang sekaligus menjadi perawinya yang terkenal, yaitu: imam Qalun.
Beliau berkata: Imam Nafi’ termasuk dari orang-orang yang memliki akhlak yang
baik dan sangat baik bacaanya, zuhud serta dermawan. Ia menjadi Imam di masjid
Nabi selama enam puluh tahun.
Murid-murid Imam
Nafi’
Kealiman dan
keistiqamahan yang dimiliki Imam Nafi’, mengantarkan beliau menjadi seorang
maha guru yang disenangi oleh para murid-muridnya. Hal ini tandai oleh
banyaknya murid beliau dari berbagai Negara seperti Mesir, Sham, Madinah dan
lainnya. Di antara murid beliau yang terkenal adalah: Imam Malik bin Anas, Imam
Laits bin Sa’ad, Abi Amr bin al-Ala’, Isa bin Wardan, Sulaiman bin Muslim bin
Jammaz dan kedua putra gurunya (Imam Ja’far), yaitu Ismail dan Ya’qub.
Namun, di antara
sekian banyak murid beliau, yang paling terkenal dan kemudian menjadi perawi
Imam Nafi’adalah Imam Qolun dan Imam Warsy.
Setelah mengabdikan
jiwa dan raganya berkhidmah untuk Al-Qur’an, Imam Nafi’ dipanggil untuk
menghadap Tuhannya pada tahun 169 H di Madinah.
Semoga Allah
memberikan kemudahan kepada kita untuk meneladani beliau. Amin.
Wallahu A’lam bi
Al-Shawab.*****
Tulisan ini disadur
dari kitab "Siyar ‘A’lam al-Nubala’" karya Imam Al-Dzhabi, juz II,
hal 336; dan kitab "Makrifat al-Qurra’ al-Kibar ‘Ala Al-Tabaqat wa
al-A’shar" karya Imam Al-Dzhabi juz II, hal. 64. []
Ustadz Moh.
Fathurrozi, Pecinta Ilmu Qira’at, Kaprodi Ilmu Al-Qur'an dan Tafsir IAI Al
Khoziny Buduran Sidoarjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar