KHUTBAH JUMAT
Musibah, Muhasabah, dan Mahabbah
Khutbah I
الحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَنْزَلَ السَّكِيْنَةَ عَلَى قُلُوْبِ
اْلمُسْلِمِيْنَ المُؤْمِنِيْنَ، وَجَعَلَ الضِّياَقَ عَلَى قُلُوْبِ
الْمُنَافِقِيْنَ وَالْكَافِرِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
الْمَلِكُ اْلحَقُّ اْلمُبِيْنُ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ الصَّادِقُ الْوَعْدِ الأَمِيْنِ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلمِّ عَلَى
سَيِّدِنَا وَمَوْلَانَا مُحَمَّدٍ المَبْعُوْثِ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ وَعَلَى
آلِهِ وَصَحْبِهِ وَالتَّابِعِيْنَ لَاحَوْلَ وَلَاقُوَّةَ إِلَّا بِاللهِ
اْلعَلِيِّ اْلعَظِيْمِ. أَمَّا بَعْدُ.
أَيُّهاَ
اْلحَاضِرُوْنَ اْلمُسْلِمُوْنَ حَفِظَكُمُ اللهُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ
بِتَقْوَى اللهِ. قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: وَمَن يَتَّقِ
اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Khatib mengajak diri sendiri dan para jamaah sekalian untuk senantiasa
meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah subhanahu
wata’ala, mempertajam kesadaran ilahiah, mempertebal sikap
berserah diri kepada-Nya.
Hadirin,
Tak ada manusia yang tak membutuhkan rasa aman. Namun dalam realitas
kehidupan, kesulitan, musibah, atau kondisi tak aman mustahil dihindari.
Manusia memang hidup dalam serba-dua kemungkinan: siang dan malam, sehat dan
sakit, hidup dan mati, aman dan taka man, dan sebagainya.
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (٤٩)
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat
kebesaran Allah” (QS Adz-Dzariat[51]: 49).
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan, ayat tersebut bermakna bahwa pencipta segala yang berpasangan
adalah satu, yakni Allah, maka sembahlah Allah (Syekh Jalaluddin, h. 377).
Artinya, di balik keberpasangan setiap kondisi tersebut ada Dzat Tunggal yang
perlu disadari. Allah subhanahu wata’ala adalah satu-satunya tempat bergantung, kembali, dan berserah diri.
Bersamaan dengan datangnya tahun baru, Indonesia mengalami berbagai
musibah, mulai dari angin besar, banjir, tanah longsor, kecelakaan, dan
lainnya. Yang perlu disikapi dari musibah ini adalah mengembalikan semuanya
kepada Yang Maha Memiliki, Allah subahanhu wata’ala. Bumi, langit, dan seisinya adalah milik Allah maka Allah berhak mau
menjadikannya seperti apa. Bahkan seandainya seluruhnya diluluhlantakkan
manusia tidak akan bisa berbuat apa-apa.
Namun demikian, manusia juga harus bermuhasabah (introspeksi), apakah
musibah yang ia terima merupakan bentuk ujian, peringatan, atau yang lain.
Sehingga, manusia lebih berhati-hati dalam menjaga amanah alam ini.
Allah berfirman:
ظَهَرَ
الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ
لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (٤١)
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan
tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat)
perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).(QS. Ar-rum[30]:
41).
Imam Jalaludin dalam Tafsir Jalalain menjelaskan lafal بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ (karena perbuatan tangan manusia) dengan arti مِنَ
الْمَعَاصِى, yang berarti “karena maksiat”.
Artinya bahwa kerusakan di bumi ataupun di langit timbul karena ulah
manusia, persisnya sebab kemaksiatan yang mereka lakukan.
Kemaksiatan di sini tentu bukan hanya berbentuk pelanggaran atas norma “halal-haram”
yang biasa kita dengar, seperti minuman keras, berjudi, zina, atau sejenisnya.
Selain berkenaan dengan urusan privat, kemaksiatan juga bisa berupa dosa yang
berkaitan dengan masyarakat dan lingkungan. Segala bentuk perbuatan merusak
alam adalah kemaksiatan. Karena dengan merusak alam secara tidak langsung telah
mengurangi keseimbangan alam, sehingga akan menyebabkan masalah pada hari ini
dan masa-masa yang akan datang.
Tanah longsor terjadi bisa jadi sebab adanya penebangan pohon secara
brutal. Banjir dating karena dipicu perilaku buang sampah sembarangan,
sungai-sungai menyempit karena bangunan pemukiman, area resapan air berkurang
drastis akibat kian meluasnya aspal dan beton, dan lain sebagainya.
Jamaah shalat Jumat hafidhakumullah,
Orang yang berilmu dan beriman akan menjadikan musibah sebagai momentum
meningkatkan kebaikan. Baik kebaikan itu tertuju kepada Allah maupun kepada
makhluk itu sendiri. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
مَنْ
يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُصِبْ مِنْهُ رواه البخاري
“Barangsiapa yang Allah kehendaki baginya kebaikan maka Allah akan
memberikan musibah/cobaan” (HR Bukhari).
Segala musibah yang menimpa menjadi alat untuk berdzikir dan muhasabah
diri, sehingga manusia dapat mengambil sisi positif terutama dalam meningkatkan
kualitas keimanan dan ketakwaan kepada Allah subhanahu
wata’ala. Bukan sebaliknya: saling menghujat, saling menyalahkan
antarsesama, rakyat dengan pemerintahnya, atasan dengan bawahannya, dan
sebagainya. Namun benar-benar menjadikan musibah sebagai pembenahan terhadap
diri dan lingkungan agar tercipta kehidupan yang lebih baik, aman, dan
tenteram.
Sebagaimana kisah Rabiah Al-Adawiyah yang selama hidupnya mengalami
kesulitan demi kesulitan, dengan dasar iman maka diraihlah ahwal hubb atau kecintaan kepada Allah yang tiada tara. Hal ini membuktikan bahwa di
setiap musibah atau kesulitan ada kebaikan yang Allah selipkan di dalamnya.
Hanya orang-orang yang sadar dan sabarlah yang akan meraih kebaikan tersebut.
Dengan bahasa lain, musibah pun bisa memicu mahabbah (rasa cinta).
Selain dari kebaikan-kebaikan yang bersifat relatif, kesabaran dalam
menerima musibah adalah cara Allah menghapuskan dosa-dosa.
مَايُصِيْبُ
الْمُؤْمِنَ مِنْ نَصَبٍ وَلَاوَصَبٍ وَلَاهَمٍّ وَلَاحُزْنٍ حَتَّى الشَّوْكَةَ
يُشَاقُّهَا اِلَّا كَفَّرَ اللهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ رواه البخاري
“Tidak ada yang menimpa seorang mukmin dari kelelahan, penyakit, kesusahan,
kesedihan, hingga duri yang menusuk tubuhnya, kecuali Allah menghapus
kesalahan-kesalahannya” (HR. Bukhari).
Yang ditekankan dalam konteks musibah adalah kesabaran menghadapinya.
Memang, di kalangan ulama berbeda pendapat apakah kesabaran atau musibah itu
sendiri yang menyebabkan terhapusnya dosa-dosa.
Menurut Syekh Izuddin bin Salam sebagaimana dijelaskan dalam kitab Irsyadul
Ibad, sesungguhnya musibah yang menimpa orang mukmin tidak
mengandung pahala, sebab musibah bukanlah atas usahanya. Akan tetapi, pahala
itu terletak pada kesabaran atas musibah tersebut.
Namun, dijelaskan berikutnya bahwa musibah adalah pelebur dosa sekalipun
orang mukmin yang ditimpanya tidak sabar, sebab tidak ada syarat bagi pelebur
dosa untuk diusahakan oleh seorang mukmin.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa apa pun bentuknya
musibah adalah sebuah cobaan dari Allah untuk makhluknya yang di dalamnya
mengandung maksud dan tujuan baik bagi yang menerimanya. Tinggal bagaimana
menyikapinya: sabar atau justru ingkar.
Dengan demikian, musibah adalah sarana untuk mengingat sang pemberi
musibah, upaya untuk meningkatkan kualitas keimanan, yang pada akhirnya
menumbuhkan rasa cinta yang mendalam kepada Allah setelah merasakan kenikmatan
di balik musibah yang menimpanya. Mahasuci Allah yang senantiasa memberikan
yang terbaik untuk makhluk-Nya.
Semoga kita semua senantiasa dijadikan orang-orang yang mampu menyikapi
segala musibah sebagai sarana peningkatan iman dan takwa. Sehingga hilangnya
musibah berbekas kebahagiaan baik untuk dunia maupun akhirat. Wallahu
a’lam bish shawab.
بَارَكَ
اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ اْلكَرِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا
فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ
تِلَاوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ اْلعَلِيْمُ وَأَقُوْلُ قَوْلِي هَذَا
فَأسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
أَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيَّةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَاإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرْ
Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar