Kisah Orang Meninggal yang Kembali Dihidupkan
Dikisahkan, pada zaman dahulu ada sekelompok orang dari kaum Bani Israil yang ingin sekali mengetahui perihal kematian dan rasanya sakaratul maut. Karenanya, mereka memohon agar Alah menghidupkan kembali satu mayat yang ada di kompleks pemakaman mereka. Allah pun mengabulkannya. Mayat di salah satu kuburan dihidupkan kemudian bercerita kepada mereka tentang panasnya kematian yang belum juga hilang rasanya hingga hari itu. Padahal, kematian yang dialaminya sudah berlangsung seratus tahun.
Berikut adalah hadits shahih yang
menyampaikan kisah tersebut.
خَرَجَتْ
طَائِفَةٌ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ حَتَّى أَتَوْا مَقْبَرَةً مِنْ مَقَابِرِهِمْ
فَقَالُوا: لَوْ صَلَّيْنَا وَدَعَوْنَا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يُخْرِجُ لَنَا
رَجُلًا مِمَّنْ قَدْ مَاتَ، فَنُسَائِلَهُ عَنِ الْمَوْتِ فَفَعَلُوا،
فَبَيْنَاهُمْ كَذَلِكَ إِذْ طَلَعَ رَجُلٌ رَأْسَهُ مِنْ قَبْرٍ مِنْ تِلْكَ
الْمَقَابِرِ حُلَاسِيُّ بَيْنَ عَيْنَيْهِ أَثَرُ السُّجُودِ فَقَالَ: يَا
هَؤُلَاءِ مَا أَرَدْتُمْ إِلَيَّ لَقَدْ مُتُّ مِنْ مِائَةِ عَامٍ، فَمَا سَكَتَ
عَنِّي حَرَارَةُ الْمَوْتِ إِلَّا الْآنَ، فَادْعُوا اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَنْ
يَرُدَّنِيَ لِمَا كُنْتُ “
Suatu ketika ada sekelompok orang dari Bani
Israil yang datang ke sebuah kuburan. Mereka berkata, ‘Andai kita shalat dan
berdoa kepada Allah agar mengeluarkan seorang yang sudah meninggal kepada kita,
kemudian kita bertanya kepadanya tentang kematian.” Akhirnya, mereka shalat dan
berdoa. Dalam pada itu, tiba-tiba ada satu mayat mengeluarkan kepalanya dari
dalam kubur. Tampak di antara kedua matanya ada bekas sujud. Ia lalu bertanya,
‘Wahai orang-orang, apa yang kalian inginkan? Aku meninggal seratus tahun yang
lalu. Namun, panasnya kematian belum hilang hingga sekarang. Maka berdoalah
kalian agar mengembalikanku kepada keadaanku semula’.”
Dari hadits di atas, kita tahu bahwa Allah
pernah menghidupkan mayat atas permohonan sejumlah orang dari kalangan Bani
Israil. Mereka meminta hal itu karena ingin bertanya kepada si mayat perihal
kematian dan sakaratul maut.
Allah pun mengeluarkan kepala si mayat dari
kuburnya. Bahkan, seperti yang digambarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, mayat tersebut tak ada bedanya dengan orang hidup di hadapan mereka.
Dan di antara kedua matanya terlihat bekas sujud. Uniknya lagi, ia bisa
berbincang dan mengingkari apa yang mereka lakukan terhadap dirinya. Ia mengaku
telah meninggal seratus tahun yang lalu. Dan hingga Allah menghidupkan kembali
dirinya, panasnya kematian masih dirasakannya. Kemudian, sang mayat meminta
mereka berdoa kepada Allah agar dirinya dikembalikan seperti semula.
Sesungguhnya apa yang disampaikan sang mayat
itu menunjukkan betapa beratnya yang dirasakan seorang hamba pada saat
kematian, termasuk oleh orang saleh sekalipun. Sebab, berdasarkan informasi
hadits, mayat yang dihidupkan itu termasuk orang yang rajin beribadah.
Buktinya, ada bekas sujud di antara kedua matanya.
Kisah serupa juga pernah terjadi pada zaman
Nabi Ibrahim ‘alaihissalam. Beliau diminta memperlihatkan bagaimana Allah
menghidupkan orang yang sudah meninggal. Maka Allah pun memerintahnya untuk
memotong-motong empat ekor burung yang telah disembelih. Keempatnya lalu
dipisahkan di puncak-puncak gunung. Setelah itu, semuanya dipanggil. Uniknya,
bagian dari burung-burung tersebut kembali berkumpul dan membentuk lagi
tubuhnya. Ruh-ruhnya juga kembali datang, hingga burung-burung itu terbang lagi
seraya bertasbih kepada Tuhannya.
Pada zaman Nabi Isa, orang-orang Bani Israil
juga pernah menyaksikan bagaimana Allah menghidupkan kembali orang yang sudah
meninggal. Mereka adalah orang-orang yang keluar dari kampung mereka dengan
ribuan jumlahnya karena takut kematian.
Bahkan, kekuasaan Allah subhanahu wata’ala
untuk menghidupkan kembali hamba yang telah meninggal ini juga dikisahkan dalam
Al-Qur’an, Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu
negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana
Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?" Maka Allah
mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah
bertanya, “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya tinggal
di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah
tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu
yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi
tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia;
dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya
kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata
kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata, “Saya
yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu,” (QS al-Baqarah [2]: 259.
Dari kisah di atas, dapat dipetik beberapa
pelajaran penting bagi kita:
Pertama, Allah Mahakuasa menghidupkan orang
yang sudah meninggal. Contohnya seperti yang diceritakan dalam beberapa kisah
di atas. Salah satunya mayat yang berbicara tentang kematian kepada orang-orang
Bani Israil. Begitu pun mudah dan kuasanya Allah membangkitkan seluruh makhluk
pada hari Kiamat untuk dikumpulkan di padang mahsyar dan dihisab seluruh amal
perbuatannya.
Kedua, betapa berat dan panasnya kematian
yang dialami seorang hamba. Seorang hamba mukmin dan ahli sujud saja merasakan
betapa berat dan panasnya kematian tersebut. Padahal, ia meninggal sudah
seratus tahun yang lain. Bagaimana yang dirasakan oleh seorang hamba yang kufur
dan zalim?
Ketiga, terbuktilah bahwa karamah orang-orang
saleh itu ada. Salah satunya Allah menghidupkan orang yang sudah meninggal dan
berbicara kematian kepada mereka.
Keempat, Allah senantiasa mengabulkan doanya
orang-orang saleh walaupun bentuknya bertentangan dengan adat dan kebiasaan
manusia.
Kelima, seorang yang ingin memohon perkara
besar dianjurkan menunaikan shalat dua rakaat terlebih dahulu, sebagaimana
orang-orang yang dikisahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Keenam,
kita diperbolehkan menyampaikan informasi atau kisah yang berhubungan dengan
orang-orang Bani Israil selama itu bersumber dari Al-Qur’an dan hadits sahih.
Namun bila tidak, seperti bersumber dari kitab, buku, atau cerita rakyat,
sebaiknya diperiksa kembali. Jika kandungannya bertentangan dengan apa yang
sudah menjadi hak Allah dan rasul-Nya, maka tidak boleh disampaikan, kecuali
jika tujuannya untuk menunjukkan penyimpangan di dalamnya sambil dijelaskan
kemaslahatannya. (Lihat: Dr. Sulaiman al-Asyqar, Shahîh al-Qashash al-Nabawî,
[Oman: Daru al-Nafa’is], 1997, cet. pertama, hal. 183).
Hadits di atas diriwayatkan oleh Imam Abu
Dawud, (lihat: Sunan-nya, jilid 2, hal. 126); Imam Ahmad (lihat: al-Zuhd, hal.
16-17); Imam Ibnu Abi Syaibah (lihat: al-Mushannaf, jilid 9, hal. 62); Imam
al-Bazar (lihat: Musnad-nya, jilid 1, hal. 108 dan 192); Imam ‘Abdu ibn Humaid
(lihat: al-Muntakhab min al-Musnad, jilid 1, hal. 152); Imam Ibnu Abi Dawud
(lihat: al-Ba‘ts, jilid 5, hal. 30). Walllahu a’lam. []
Ustadz M. Tatam Wijaya, Alumni Pondok
Pesantren Raudhatul Hafizhiyyah Sukaraja-Sukabumi, Pengasuh Majelis Taklim
“Syubbanul Muttaqin” Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar