Jumat, 24 Januari 2020

Perjalanan Kiai Marzuki Mendapatkan Citangkolo


Perjalanan Kiai Marzuki Mendapatkan Citangkolo

Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, berawal dari perjalanan seorang pemuda yang telah berumah tangga bernama Marzuki bin Madsalam. Ia berasal dari Grumbul Kelawan, Desa Gung Agung, Kecamatan Bulus, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah tengah sekarang.

Marzuki lahir dari keluarga miskin. Memang saat itu, tetangganya juga dalam keadaan serupa karena dalam belenggu penjajahan Belanda. Rumah orang tuanya, Madsalam berada di pinggir sungai yang sekarang tidak bisa ditemukan lagi jejaknya karena longsor.

Meski demikian, Marzuki memiliki darah pejuang sebab ayahnya prajurit Pangeran Diponegoro. Selain itu, leluhurnya juga memiliki jejak sebagai pengawal ulama penyebar Islam. Bisa dirunut silsilahnya ke atas ada sebagai berikut: Kiai Mad Salam adalah putera Mbah Karyajaya, pengawal Syekh Marwan Ali Menawi, ulama Kebumen yang merupakan keturunan dari Syaikh Abdul Kahfi Awal, ulama yang mengislamkan Kerajaan Panjer (Kebumen), yang semasa dengan Sunan Ampel.

Jadi, Marzuki tidak tinggal diam dengan keadaan yang menimpanya. Ia berusaha mencari hal baru untuk kehidupan baru. Demi tujuan tersebut, ia pergi ke arah barat. Kemudian berhenti di daerah Gombong. Ia berhenti di daerah tersebut selama 40 hari sambil bermunajat dan beristikharah meminta petunjuk dari Allah SWT. Kemudian ia mendapat petunjuk bahwa tempat tersebut tidak cocok untuknya.

Kemudian ia melanjutkan lagi perjalanan ke arah barat hingga berhari-hari dan berminggu-minggu. Tibalah ia di daerah Tambak. Ia kemudian bermunajat dan melakukan istikharah di tempat tersebut selama 40 hari. Ia mendapatkan petunjuk bahwa itu bukan tempat untuknya.

Ia berjalan lagi ke arah barat berhari-hari. Tibalah di sebuah tempat bernama Sikampuh, (Kroya, CIlacap). Di situ ia melakukan istikharah sebagaimana yang ia lakukan di tempat-tempat sebelumnya.

Ia berjalan Sitinggil, Cilacap. Ia melakukan hal serupa. Namun belum ada petunjuk untuk kecocokan tempat tinggalnya. Kemudian ia melanjutkan lagi hingga tiba di Sukaratu. Melakukan hal serupa. Berjalan lagi. Tibalah ia di sebuah tempat yang penuh dengan pohon tangkolo yang besar-besar. Saking besarnya, pada waktu itu ada tangkolo yang dipeluk empat orang dewasa saja, tidak cukup.

Di situ, ia melakukan hal yang sema sebagaimana tempat-tempat sebelumnya. Barulah dari hasil istikharahnya kali ini, ia mendapatkan petunjuk bahwa tempat tersebut sangat cocok untuk dia dan keturunannya.

Jika dihitung jumlah hari dari keberangkatan hingga tiba di Citangkolo, Marzuki menghabiskan waktu selama setahun. Tiap perjalanan ke satu tempat bisa berbeda-beda. Namun, lamanya tinggal biasanya 40 hari.

Pada 10 Muharam 1911 mendirikan mushala panggung ukuran 2x3 meter dan sebuah beduk yang terbuat dari kayu tangkolo yang banyak tumbuh di sekitar tempat tinggalnya. Hingga sekarang beduk tersebut masih ada dan berfungsi sebagaimana fungsi awalnya, yaitu memberi tahu waktu tibanya shalat.

Marzuki tinggal di situ tanpa keluarganya selama lima tahun. Dalam masa selama itu, ia mempersiapkan segala sesuatu untuk keluarganya yang akan diboyong ke situ. Mulai tempat tinggal hingga lahan sumber makanan.

Pada tahun 1916, ia memboyong keluarganya dari Grumbul ke Citangkolo dengan membawa bayi laki-laki berumur 100 hari bernama Badrun, putra keenamnya. Karena membawa keluarganya, ia memperbaiki mushalanya, yang semula panggung itu menjadi lemprakan atau lesehan dengan ukuran 5x9 meter.

Tahun 1923 mushala itu pun diperbaiki menjadi masjid jami’ dengan penunjukan dari Sinuhun Bupati Tasikmalaya tahun 1926. Pada saat itu, ia mulai dikenal sebagai pemuka agama sehingga pemuda-pemudi terdekat menjadi santri kalong. Hal itu menjadi permulaan berdirinya Pondok Pesantren Citangkolo sekarang. Saat itu, aktivitas mengajar dibantu putranya, Kiai Mad Sholeh (wafat tahun 1950) dan seorang menantunya.

Pada masa prakemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an, masjid dan pondok pesantren Citangkolo menjadi basis pergerakan membantu para pejuang merebut kemerdekaan dari tangan kolonial Belanda. Dengan semangat Aswaja dan senjata bambu runcing yang telah disuwuk kiai, mereka bergabung dengan laskar Hizbullah yang dikomandani anaknya sendiri, seorang kiai muda, Badrun Bin Marzuki. Wilayah pergerakan Kiai Badrun meliputi Ciamis, Tasikmalaya, dan daerah sekitarnya.

Pergerakan Badrun menyebabkan masjid dan pesantren menjadi sasaran tembak meriam Belanda yang dibidikan dari Banjar. Pasukan Belanda melakukan itu karena pasukan Hizbullah menggulingkan kereta api di jembatan Cibeureum, Desa Mulyasari, Kecamatan Pataruman. Letaknya 1,5 km sebelah utara pondok pesantren Citangkolo. []

Tulisan ini disarikan dari wawancara kepada KH Munawir Abdurrohim, cucu KH Marzuki Mad Salam

(Abdullah Alawi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar