Perjalanan Kiai Marzuki
Mendapatkan Citangkolo
Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, berawal dari perjalanan seorang pemuda yang telah berumah tangga bernama Marzuki bin Madsalam. Ia berasal dari Grumbul Kelawan, Desa Gung Agung, Kecamatan Bulus, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah tengah sekarang.
Marzuki lahir dari
keluarga miskin. Memang saat itu, tetangganya juga dalam keadaan serupa karena
dalam belenggu penjajahan Belanda. Rumah orang tuanya, Madsalam berada di
pinggir sungai yang sekarang tidak bisa ditemukan lagi jejaknya karena longsor.
Meski demikian,
Marzuki memiliki darah pejuang sebab ayahnya prajurit Pangeran Diponegoro.
Selain itu, leluhurnya juga memiliki jejak sebagai pengawal ulama penyebar
Islam. Bisa dirunut silsilahnya ke atas ada sebagai berikut: Kiai Mad Salam
adalah putera Mbah Karyajaya, pengawal Syekh Marwan Ali Menawi, ulama Kebumen
yang merupakan keturunan dari Syaikh Abdul Kahfi Awal, ulama yang mengislamkan
Kerajaan Panjer (Kebumen), yang semasa dengan Sunan Ampel.
Jadi, Marzuki tidak
tinggal diam dengan keadaan yang menimpanya. Ia berusaha mencari hal baru untuk
kehidupan baru. Demi tujuan tersebut, ia pergi ke arah barat. Kemudian berhenti
di daerah Gombong. Ia berhenti di daerah tersebut selama 40 hari sambil bermunajat
dan beristikharah meminta petunjuk dari Allah SWT. Kemudian ia mendapat
petunjuk bahwa tempat tersebut tidak cocok untuknya.
Kemudian ia
melanjutkan lagi perjalanan ke arah barat hingga berhari-hari dan
berminggu-minggu. Tibalah ia di daerah Tambak. Ia kemudian bermunajat dan
melakukan istikharah di tempat tersebut selama 40 hari. Ia mendapatkan petunjuk
bahwa itu bukan tempat untuknya.
Ia berjalan lagi ke
arah barat berhari-hari. Tibalah di sebuah tempat bernama Sikampuh, (Kroya,
CIlacap). Di situ ia melakukan istikharah sebagaimana yang ia lakukan di
tempat-tempat sebelumnya.
Ia berjalan
Sitinggil, Cilacap. Ia melakukan hal serupa. Namun belum ada petunjuk untuk
kecocokan tempat tinggalnya. Kemudian ia melanjutkan lagi hingga tiba di
Sukaratu. Melakukan hal serupa. Berjalan lagi. Tibalah ia di sebuah tempat yang
penuh dengan pohon tangkolo yang besar-besar. Saking besarnya, pada waktu itu
ada tangkolo yang dipeluk empat orang dewasa saja, tidak cukup.
Di situ, ia melakukan
hal yang sema sebagaimana tempat-tempat sebelumnya. Barulah dari hasil
istikharahnya kali ini, ia mendapatkan petunjuk bahwa tempat tersebut sangat
cocok untuk dia dan keturunannya.
Jika dihitung jumlah
hari dari keberangkatan hingga tiba di Citangkolo, Marzuki menghabiskan waktu
selama setahun. Tiap perjalanan ke satu tempat bisa berbeda-beda. Namun,
lamanya tinggal biasanya 40 hari.
Pada 10 Muharam 1911
mendirikan mushala panggung ukuran 2x3 meter dan sebuah beduk yang terbuat dari
kayu tangkolo yang banyak tumbuh di sekitar tempat tinggalnya. Hingga sekarang
beduk tersebut masih ada dan berfungsi sebagaimana fungsi awalnya, yaitu
memberi tahu waktu tibanya shalat.
Marzuki tinggal di
situ tanpa keluarganya selama lima tahun. Dalam masa selama itu, ia
mempersiapkan segala sesuatu untuk keluarganya yang akan diboyong ke situ.
Mulai tempat tinggal hingga lahan sumber makanan.
Pada tahun 1916, ia
memboyong keluarganya dari Grumbul ke Citangkolo dengan membawa bayi laki-laki
berumur 100 hari bernama Badrun, putra keenamnya. Karena membawa keluarganya,
ia memperbaiki mushalanya, yang semula panggung itu menjadi lemprakan atau
lesehan dengan ukuran 5x9 meter.
Tahun 1923 mushala
itu pun diperbaiki menjadi masjid jami’ dengan penunjukan dari Sinuhun Bupati
Tasikmalaya tahun 1926. Pada saat itu, ia mulai dikenal sebagai pemuka agama
sehingga pemuda-pemudi terdekat menjadi santri kalong. Hal itu menjadi
permulaan berdirinya Pondok Pesantren Citangkolo sekarang. Saat itu, aktivitas
mengajar dibantu putranya, Kiai Mad Sholeh (wafat tahun 1950) dan seorang
menantunya.
Pada masa
prakemerdekaan sampai dengan tahun 1950-an, masjid dan pondok pesantren
Citangkolo menjadi basis pergerakan membantu para pejuang merebut kemerdekaan
dari tangan kolonial Belanda. Dengan semangat Aswaja dan senjata bambu runcing
yang telah disuwuk kiai, mereka bergabung dengan laskar Hizbullah yang
dikomandani anaknya sendiri, seorang kiai muda, Badrun Bin Marzuki. Wilayah
pergerakan Kiai Badrun meliputi Ciamis, Tasikmalaya, dan daerah sekitarnya.
Pergerakan Badrun
menyebabkan masjid dan pesantren menjadi sasaran tembak meriam Belanda yang
dibidikan dari Banjar. Pasukan Belanda melakukan itu karena pasukan Hizbullah
menggulingkan kereta api di jembatan Cibeureum, Desa Mulyasari, Kecamatan
Pataruman. Letaknya 1,5 km sebelah utara pondok pesantren Citangkolo. []
Tulisan ini disarikan
dari wawancara kepada KH Munawir Abdurrohim, cucu KH Marzuki Mad Salam
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar